Kata ”mas” kini menjadi sapaan yang inklusif bersama beberapa kata sapaan lokal lainnya (seperti abang, akang, tètèh, uda, uni). Kata-kata ini bertahan sebagai penyintas di pusaran global.
Oleh
KASIJANTO SASTRODINOMO
·3 menit baca
Ketimbang disapa ”prof” atau ”bapak”, Profesor Cornelis Lay (wafat 5 Agustus 2020) lebih senang dipanggil ”mas” plus nama akrabnya Conny. Kata sapaan ”mas” sudah lama meluas, tapi tetap menarik dibincang ketika pemanfaatannya dianggap berbelok dari kelaziman. Saat mengumumkan susunan kabinet hampir setahun lalu, contoh lain, Presiden Joko Widodo sengaja memanggil ”Mas Nadiem Makarim” kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Muncul komentar publik bahwa terjadi semacam relaksasi, mungkin pula desakralisasi, terhadap sapaan hormat bagi pejabat tinggi negara.
Menurut rekan kerjanya di Universitas Gadjah Mada, dengan sapaan populernya itu Mas Conny—atau Connie menurut ejaan lain—menunjukkan sikapnya yang egaliter dan santai dalam relasi sosialnya (Kompas, 6/8/2020). Bisa juga dilihat bahwa Mas Conny telah terbiasa dan beradaptasi dengan sapaan baku yang berlaku umum di Yogyakarta karena sekitar 40 tahun dari 60 tahun masa hayatnya ia bermukim, belajar, dan berkarier di kota itu—jauh lebih lama dibandingkan dengan masa kecil dan remaja yang ia lalui di tepian Kali Dendeng, kampung kelahirannya di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Kata sapaan ”mas” berevolusi sangat panjang. Awalnya merupakan bagian dari ”radèn mas” (perempuan: ”radèn ajêng”), gelar kebangsawanan tertinggi segaris di bawah raja di keraton Jawa setidaknya sejak abad ke-17. Kemudian, ”mas” (tanpa ”radèn”) disematkan kepada priayi pejabat keraton yang berasal dari orang kebanyakan; istrinya menyandang ”mas ngantèn”; anak keturunannya berjuluk ”mas agus” dan ”mas lårå/rårå” (perempuan). Pada instansi ini, pemakaian ”mas” tidak memprasyaratkan turunan darah biru dan condong sebagai sapaan sopan santun (Van den Berg, ”De inlandsche rangen en titels op Java en Madoera”, 1887).
Di luar tembok istana, ”mas” tumbuh ”profan” sebagai terminologi pertalian keluarga Jawa yang merujuk pada saudara tua laki-laki—kandung ataupun bukan—seperti sebutan ”kakak” dalam Melayu dan Indonesia. Tak berhenti di lingkaran keluarga, ”mas” (berpasangan dengan ”mbak”) berkembang prolifik sebagai sapaan respek awam, tanpa memandang jenjang umur dan asal-usul sosial-kultural. Boleh jadi akibat lalu lintas silang budaya yang intensif. ”Mas Conny” bisa dilihat sebagai buah ”metamorfosis tingkat lanjut” ini.
Sapaan ”mas” yang melampaui sekat budaya eksklusif juga terbaca dalam takrif Kamus Besar Bahasa Indonesia Badan Bahasa: ”kata sapaan untuk saudara tua laki-laki atau laki-laki yang dianggap lebih tua”—tanpa menyebut kata itu ”milik” orang Jawa. Secara tersirat, definisi itu mengukuhkan ”mas” sebagai kata sapaan yang inklusif dan, bersama beberapa kata sapaan lokal lainnya (seperti abang, akang, tètèh, uda, uni), bertahan sebagai penyintas di pusaran global. Sementara itu, ”bro, sist”, dan ”guys” juga terus menggoda.
Setahun lalu, di Dusun Sumberejo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, digelar Festival Kampung Cempluk. Kata-kata sapaan dalam undangannya berbunyi, ”Ojo lali oket nggih, sam, ebes, paklik, buklik, sohib, prens, konco é ojob, . . .” [Jangan lupa datang ya mas, bapak, paklik, bulik, sahabat, teman-teman, temannya bojo]. Membersitkan kenangan bahasa gaul arèk-arèk Ngalam tempo dulu―kata tercetak miring harap dibaca dari arah kanan.