Respons pemerintah untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 selama ini terbatas pada aspek ekonomi dan kesehatan. Ini membuat kelompok-kelompok rentan lainnya cenderung terabaikan.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah langkah dan kebijakan untuk merespons pandemi Covid-19 menunjukkan komitmen pemerintah untuk membantu warganya yang terdampak pandemi. Namun, kapasitas respons tersebut masih terbatas pada mereka yang miskin, sangat miskin, dan sakit akibat Covid-19.
Definisi kerentanan dalam program-program pemerintah banyak didasarkan pada faktor kemiskinan. Padahal, kerentanan dalam situasi Covid-19 ini bersifat dinamis sehingga makna kerentanan harus diperluas, mencakup banyak faktor, termasuk faktor sosial dan faktor khusus, seperti orang dengan disabilitas.
Kelompok yang selama ini tidak dianggap rentan dapat menjadi rentan pada masa pandemi ini, bergantung pada kebijakan yang dihasilkan. Respons yang tidak tepat juga berpotensi memunculkan kerentanan baru dan akan memperburuk kerentanan yang sudah ada.
Kita mesti fokus melihat kelompok-kelompok masyarakat yang rentan atas pandemi ini, termasuk dalam hal ini anak-anak. (Suharso Monoarfa)
”Kita mesti fokus melihat kelompok-kelompok masyarakat yang rentan atas pandemi ini, termasuk dalam hal ini anak-anak,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa saat peluncuran Kertas Kebijakan bertajuk ”Berkejaran dengan Waktu: Masukan Kebijakan untuk Mengatasi dan Mencegah Dampak Covid-19 pada Anak dan Individu Rentan” secara virtual, Senin (28/9/2020).
Peluncuran kertas kebijakan yang berisi kajian dan identifikasi anak-anak dan kelompok rentan serta risiko yang mereka hadapi selama pandemi ini menjadi momen untuk lebih fokus pada perlindungan kelompok rentan. Kajian ini disusun Bappenas bersama Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia, Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan Kemitraan Pemerintah Australia-Indonesia, serta Unicef Indonesia.
Perubahan lingkungan interaksi dan pengasuhan akibat pandemi dapat meningkatkan kerentanan anak-anak, orang dengan disabilitas, dan warga lansia. Tanpa respons yang tepat, sekitar 48 juta anak, orang dengan disabilitas, dan warga lansia terancam mengalami hambatan dalam kelangsungan hidup mereka. Anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terdampak pandemi, jumlahnya sekitar 29 juta.
Saat ini, kata Suharso, sekitar 42,1 persen anak usia 12-23 bulan tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Selain itu, dari 50,4 persen kasus tuberkulosis di Indonesia terjadi pada anak balita. Data pada 2019 juga menunjukkan, 467.383 anak dan balita juga mengidap pneumonia.
”Mereka sangat rentan tertular Covid-19,” kata Suharso. Berdasarkan data covid-19.go.id per 26 September 2020, kasus positif Covid-19 pada anak mencapai 9,9 persen.
Di bidang pendidikan, sekitar 22,5 juta siswa sekolah dasar hingga menengah diprediksi kehilangan kesempatan belajar karena berada dalam rumah tangga yang tidak memiliki akses internet. Pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 7,2 triliun untuk bantuan kuota internet bagi siswa dan tenaga pendidik. Namun, banyak siswa tidak mempunyai gawai dan tinggal di daerah tanpa akses internet.
Meningkatnya intensitas anak menggunakan gawai di sisi lain berpotensi memunculkan kasus perundungan daring dan kejahatan melalui media daring. Penutupan sekolah yang membuat anak harus belajar di rumah juga membuat kasus kekerasan terhadap anak meningkat.
Krisis akibat pandemi yang berdampak pada penurunan pendapatan keluarga membuat 5-7 juta anak berpotensi menjadi pekerja. Selain itu, 400-500 anak perempuan usia 10-17 tahun berpotensi dinikahkan untuk meringankan beban ekonomi keluarga.
Kendala data
Data tersebut memang masih sebatas estimasi berdasarkan data yang ada, antara lain data Susenas, data program, dan juga studi literatur. ”Basis data yang belum by-name by-address menjadi kendala dalam upaya merespons dampak pandemi pada kelompok rentan,” kata Subandi Sardjoko, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas.
Karena itu, meski pemerintah berkomitmen mengurangi penurunan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai program bantuan, ada kelompok masyarakat yang berpotensi luput mendapatkan bantuan. Mereka adalah keluarga miskin yang belum tercakup dalam Program Keluarga Harapan (PKH) atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), keluarga yang kehilangan mata pencarian, keluarga yang belum terdata di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), juga keluarga yang memiliki anggota keluarga yang sakit menahun/kronis.
Kajian kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan akses kelompok rentan, termasuk kepala keluarga perempuan, lansia, dan anak-anak, untuk mendapatkan bantuan yang dibutuhkan. Kajian ini bertujuan memberikan perspektif baru dalam melihat ruang lingkup kerentanan pada kelompok masyarakat dalam masa pandemi.
Selain data Susenas, kajian ini juga merujuk berbagai literatur yang mendiskusikan dampak Covid-19 terhadap anak-anak, seperti terabaikan akibat diskriminasi dan kekerasan. Kajian ini menunjukkan terdapat anak-anak dan individu rentan yang estimasinya tidak bisa diperoleh secara nasional, di mana gambaran tentang mereka hanya mengandalkan data sektor yang berhubungan langsung dengan mereka.
Kajian kebijakan ini juga berisi masukan yang mengurai pertimbangan-pertimbangan jangka pendek, menengah, dan panjang untuk digunakan berbagai kementerian/lembaga serta pemerintah daerah merencanakan kebijakan dan program yang inklusif dan responsif terhadap situasi setelah pandemi.
Nani Zulminarni, pendiri dan Direktur Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) menyambut baik hasil kajian tersebut. Apalagi selama ini respons pemerintah untuk mengatasi dampak pandemi lebih melihat pada aspek ekonomi dan kesehatan semata. ”Kekerasan terhadap anak dan perempuan yang merupakan dampak langsung pandemi, juga kesehatan mental, misalnya, kurang terlihat,” katanya.
Karena itu, dia berharap kertas kebijakan ini dapat menjadi panduan pemerintah dan lembaga terkait untuk fokus pada kelompok rentan. Tantangan terbesar memang pada tataran implementasi, untuk itu perlu pelibatan kelompok masyarakat guna menjembatani kesenjangan kebijakan dan implementasinya di lapangan.