Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers belum bisa sepenuhnya menjamin kemerdekaan pers. Tekanan kepentingan ekonomi, politik, dan perkembangan teknologi menjadi kendala penegakan kemerdekaan pers.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Urgensi revisi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers masih diperdebatkan. Regulasi ini masih dianggap acuan utama yang menjamin kemerdekaan pers. Sementara di sisi lain, terdapat produk hukum serta perubahan lanskap industri yang cenderung berupaya melemahkan independensi pers.
Hal itu mengemuka dalam webinar ”21 Tahun UU Pers: Prospek dan Tantangan”, Rabu (23/9/2020), di Jakarta. Webinar ini diselenggarakan oleh Dewan Pers.
Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis mengatakan, jurnalis sampai sekarang masih bekerja di bawah ancaman yang menjurus ke pelanggaran hak asasi manusia, seperti perisakan dan pengungkapan data pribadi. Hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2020 yang dilakukan Dewan Pers menunjukkan kenaikan tipis 1,56 poin dibandingkan tahun 2019. Sepanjang 2016-2018, kategori IKP nasional adalah ”agak bebas”, lalu menjadi ”cukup bebas” pada 2019-2020.
Redaksi berada di bawah tekanan pemilik perusahaan. Mereka bahkan mengintervensi arah politik kebijakan editorial. Pemerintah daerah turut campur dalam pemberitaan.
Selama masa pandemi Covid-19, sejumlah jurnalis mengalami pemutusan hubungan kerja. Ini menambah deretan persoalan kesejahteraan yang dialami wartawan.
Politisi dan partai politik menjadikan sejumlah media massa sebagai alat propaganda politik menyambut pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2020. Pertarungan politik semakin pragmatis dan kedodoran menangani dampak pandemi Covid-19. Berangkat dari situasi ini, dia tidak bisa memercayai niat baik politisi, termasuk memberikan peluang revisi Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Saya tidak setuju. Revisi UU No 40/1999 untuk satu pasal pun akan berpotensi membuka kotak pandora, membawa hasrat politik ke revisi pasal-pasal lain, dan mengancam prinsip kemerdekaan pers.
”Saya tidak setuju. Revisi UU No 40/1999 untuk satu pasal pun akan berpotensi membuka kotak pandora, membawa hasrat politik ke revisi pasal-pasal lain, dan mengancam prinsip kemerdekaan pers,” ujar Uni.
Menurut dia, kewajiban jurnalis tidak berubah. Jaminan kemerdekaan tetap harus dipertahankan meski wartawan sekarang bekerja untuk multiplatform media. Pasal 2 UU No 40/1999 menyebut kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Substansi ini akan selalu relevan.
Revisi seharusnya mengarah kepada Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers tahun 2006. Uni memandang, substansi kode etik ini lebih mengakomodasi media cetak, padahal saat ini wartawan sudah bekerja dalam platform multimedia.
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Atal S Depari memiliki pandangan berbeda. UU No 40/1999 telah berusia 21 tahun. Selama 21 tahun pers mengalami berbagai macam dinamika. Oleh karena itu, UU mengenai pers semestinya harus relevan dan menjawab dinamika.
”Dunia pers sekarang membuat jurnalis tidak merdeka dalam memberitakan fakta. Ada fenomena buzzer dan influencer menyerang kerja jurnalistik. Ditambah lagi, fenomena pengungkapan data pribadi merajalela,” ucapnya.
Sejumlah pemangku kepentingan, seperti presiden, pernah menyebutkan, beberapa pemberitaan saat ini cenderung tidak profesional. Substansinya dianggap terlalu lancang.
Pasal 7 Ayat (1) UU No 40/1999 berbunyi, wartawan bebas memilih organisasi wartawan. Akan tetapi, kata Atal, ketentuan itu dimaknai sebaliknya oleh jurnalis. Kebanyakan tidak ikut organisasi yang menurut dia bisa memberikan jaminan pengakuan, menambah kompetensi, dan advokasi kepada dirinya sendiri.
Pasca-Reformasi, lanjut Atal, jumlah media massa daring terus bertambah menjadi sekitar 43.000. Namun, baru 1.000-an media yang sudah mengantongi verifikasi dari Dewan Pers.
Perusahaan pers harus mampu memberikan kesejahteraan cukup kepada wartawan. Dengan begitu, wartawan bisa mengerjakan pemberitaan secara profesional.
”Apabila UU No 40/1999 mau direvisi, saya harap drafnya dari para insan pers. Jadi, substansi revisi benar-benar sesuai kebutuhan pers sekarang,” ucapnya.
Terganjal regulasi
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin memandang, UU No 40/1999 sedang digerogoti oleh regulasi lain. Misalnya, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law dan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11/2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik.
Dia berharap, pemerintah meninjau kembali rancangan kebijakan atau peraturan yang berpotensi menjerat jurnalis. Jika ingin membuat regulasi, pemerintah harus memastikan substansinya konkret melindungi wartawan agar bebas dari jerat pidana saat menjalankan UU No 40/1999.
Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh menyampaikan, kemerdekaan pers bermuara ke kemerdekaan Republik Indonesia. Pers memegang tugas mulia yang akan selalu relevan, yakni jembatan antara yang seharusnya (comme il faut) dan realitas di masyarakat (comme il fait).