Dana BOS Tidak Lagi Dihitung Berdasarkan Jumlah Siswa
Pemerintah berharap, dana Bantuan Operasional Sekolah Reguler bisa dioptimalkan untuk mendukung pemerataan pendidikan. Mulai 2021, perhitungan biaya satuan akan berbasis kebutuhan daerah.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana menetapkan perhitungan biaya satuan Bantuan Operasional Sekolah Reguler menjadi berbasis kondisi dan kebutuhan daerah pada tahun 2021. Perhitungan biaya satuan seperti itu mengubah mekanisme yang selama ini dilakukan, yakni berbasis jumlah siswa di tiap sekolah.
”Perhitungan satuan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Reguler berbasis jumlah murid kelihatannya adil. Padahal, realitasnya tidak,” ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim saat menghadiri rapat kerja dengan Komisi X DPR, Rabu (23/9/2020), di Jakarta.
Menurut dia, perhitungan biaya satuan BOS Reguler berbasis jumlah murid cenderung menguntungkan sekolah besar dengan jumlah total siswa banyak. Sekolah seperti itu semakin bisa menikmati kenaikan skala ekonomi. Mereka akhirnya mempunyai kelebihan finansial.
Perhitungan biaya satuan BOS Reguler menjadi berbasis kondisi dan kebutuhan daerah memakai dua indikator. Pertama, indeks kemahalan konstruksi (IKK) dari Badan Pusat Statistik. Kedua, indeks besaran peserta didik.
Nadiem memastikan, rencana perubahan perhitungan biaya satuan pendidikan tidak akan menurunkan total dana BOS Reguler secara nasional. Pemerintah akan merealokasi sekitar Rp 2,5 triliun anggaran BOS Kinerja dan BOS Afirmasi ke BOS Reguler.
BOS Reguler akan meningkat untuk sebagian besar daerah. Peningkatan tertinggi untuk kabupaten/kota yang paling membutuhkan.(Nadiem Makarim)
”BOS Reguler akan meningkat untuk sebagian besar daerah. Peningkatan tertinggi untuk kabupaten/kota yang paling membutuhkan,” katanya.
Nadiem lantas memberikan ilustrasi. Pada tahun 2021, untuk jenjang SD, total kabupaten/kota yang akan menerima kenaikan BOS Reguler sebanyak 377 kabupaten/kota, jenjang SMP 381 kabupaten/kota, SMA 386 kabupaten/kota, SMK 387 kabupaten/kota, dan SLB 390 kabupaten/kota.
”Selama ini banyak kabupaten/kota tidak dilihat kondisi khususnya. Dengan rencana perhitungan baru biaya satuan BOS Reguler, kami harap, kondisi seperti itu tak akan terjadi lagi,” ujarnya.
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Sofyan Tan, mengapresiasi rencana Kemendikbud tersebut. Masing-masing sekolah di kabupaten/kota mempunyai kemampuan berbeda-beda. Ada sekolah di wilayah pinggiran menerima dana BOS Reguler kecil karena jumlah siswanya sedikit. Sementara sekolah bersangkutan butuh dana untuk pembangunan sarana.
”Saya rasa, rencana perhitungan baru satuan biaya BOS Reguler bisa menjadi jawaban bagi sekolah- sekolah di desa miskin. Siswa di desa bersangkutan dapat layanan pendidikan yang layak,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf membenarkan, selama ini terdapat sejumlah sekolah berskala besar dan memiliki jumlah siswa banyak. Mereka memperoleh dana BOS Reguler dengan nilai besar sehingga membuat mereka semakin maju.
Masalah kompleks
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti, saat dihubungi Kamis (25/9/2020), di Jakarta, menjelaskan, Undang‐Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan dan peningkatan mutu. Besaran dana BOS Reguler yang diterima sekolah selama ini memang dihitung berdasarkan jumlah siswa masing-masing sekolah kali satuan. Namun, dalam pelaksanaan di lapangan, dia mengamati terdapat berbagai sejumlah permasalahan, yang salah satunya disampaikan Mendikbud.
”Jika besarnya dana BOS Reguler yang diberikan hanya berdasarkan jumlah siswa, maka sekolah akan tetap berlomba-lomba menerima siswa sebanyak banyaknya tanpa memperhitungkan peningkatan kualitasnya,” ujarnya.
Menurut Esther, pemberian dana BOS Reguler semestinya tidak hanya didasarkan pada jumlah siswa, tetapi juga didasarkan pada indikator performa sekolah.
Permasalahan berikutnya adalah penggunaan dana BOS Reguler seringkali tidak selalu sama dengan kenyataan kebutuhan sekolah. Persoalan lain ialah pengawasan pemakaian dana yang kurang optimal.
Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Tety Sulastri juga mempunyai pandangan senada. Realitasnya, penggunaan dana BOS Reguler di lapangan cenderung kompleks.
Relaksasi kebijakan pemakaian dana BOS Reguler yang diserahkan kepada kepala sekolah, misalnya. Relaksasi kebijakan ini diputuskan Kemendikbud untuk menyikapi pandemi Covid-19. Akan tetapi, Tety mengamati bahwa tak semua kepala sekolah siap dengan kebijakan tersebut. Hingga tujuh bulan pandemi, pemerintah belum membuka evaluasi atas relaksasi kebijakan itu.
Dia mengemukakan bahwa setiap sekolah menyikapi dana BOS Reguler berbeda-beda. Misalnya, ada sekolah tertentu yang dana BOS Reguler dipakai dominan untuk bayar honor guru sehingga pembiayaan operasional lainnya tersisih.
”Kami harap, keputusan apa pun yang menyangkut BOS harus memperhitungkan pemenuhan hak anak atas pendidikan. Pemerintah melihat dulu realitas di lapangan,” tuturnya.
Ketua Forum Aksi Guru Indonesia Iwan Hermawan menambahkan, realitas yang harus dipahami pemerintah adalah ada beberapa sekolah yang mendapat label ”favorit” dari masyarakat. Mereka ini biasanya menerima dana BOS Reguler, sumbangan sukarela orangtua, dan juga bantuan operasional pendidikan daerah.
Dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Sudiapermana berpendapat, kebijakan dana BOS Reguler harus lebih berkeadilan. Dia menyarankan agar pemerintah menggunakan perhitungan biaya satuan BOS Reguler berbasis biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel. Biaya fixed berdasarkan standar minimal operasional sekolah. Biaya variabel didasarkan jumlah siswa, keterpencilan/pinggiran, dan penugasan prestasi.