Perempuan adat menghadapi perubahan-perubahan di wilayah adat yang membuat mereka kehilangan banyak hal. Selain penghancuran atas kemandirian dan kedaulatan pangan masyarakat adat, mereka juga mengalami dikriminasi.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati menghadapi berbagai tantangan yang berat dalam menghadapi berbagai perubahan drastis dan masif yang terjadi di dalam ruang hidupnya, hingga kini perempuan-perempuan adat tetap memiliki kekuatan menyesuaikan diri dengan seluruh perubahan yang terjadi. Mereka memiliki daya tahan yang sangat tinggi dan cepat menyesuaikan diri dengan proses perubahan.
”Kita harus belajar banyak dari perempuan adat. Perempuan adat dari hari ke hari memastikan apa yang kita sebut sebagai ketahanan hidup adat komunitas, bagaimana kemandirian pemenuhan atas kebutuhan hidup dilakukan oleh perempuan adat,” ujar Devi Anggraini, Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (Perempuan AMAN), saat menjadi pembicara pada ”Festival Inkslusif 100%”, Selasa (22/9/2020) secara daring.
Pada Festival yang mengusung tema ”Di Mata Semesta, Kau dan Aku Sama” Devi membawa materi berjudul ”Memulihkan Martabat Perempuan Adat” pada Webinar Seri 4 dengan topik ”Yang Tangguh, Tanpa Gaduh”.
Devi menegaskan, perempuan adat memiliki resiliensi yang kuat karena tidak bergantung sepenuhnya pada orang lain dan tidak bergantung pada produk-produk yang diproduksi di luar wilayah adatnya. Perempuan adat juga memiliki berbagai pengetahuan sehingga mampu bertahan di dalam wilayah adatnya.
Bagi perempuan adat, ruang dapur bukan hanya sekadar dapur di dalam rumah semata, tetapi wilayah ruang dapur perempuan adat melebihi dari ruang itu, bahkan dari halaman rumahnya kebun, ladang, dan hutan.
”Jadi proses-proses menyediakan makanan di dalam dapur itu hanya ujung dari seluruh proses pengetahuan yang mereka gunakan dalam keseharian hidup mereka. Proses di mana setiap keputusan mereka ambil, kapan mereka harus mulai menanam, kapan harus mencermati musim, menggunakan benih apa, pada tempat yang mana,” lanjut Devi.
Semua proses tersebut merupakan pengetahuan yang terus diproduksi dan dikembangkan oleh para perempuan adat dengan memperhatikan seluruh perubahan-perubahan yang terjadi dalam ruang hidupnya. Karena itulah, perempuan adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan seluruh perubahan yang terjadi.
Penghancuran
Dalam kenyataannya, hingga kini perempuan adat menghadapi perubahan-perubahan di wilayah adat yang membuat mereka kehilangan banyak hal dan mengalami penghancuran atas kemandirian dan kedaulatan pangan masyarakat adat. Perubahan juga menghancurkan pengetahuan perempuan serta hilangnya ragam jenis pangan di wilayah adat.
”Dari sesuatu yang sangat kaya di mana mereka menyandarkan seluruh hidupnya kemudian tiba-tiba semuanya menjadi hilang dan hanya berganti hanya pada satu komoditas,” papar Devi.
Dampak perusakan wilayah adat, bukan hanya menghilangkan wilayah adat dan tempat perempuan adat mencari makan, tetapi berdampak yang lebih parah. Berdasarkan survei Perempuan Aman, pemiskinan dan kemiskinan terus menghantui perempuan adat, dan mereka dikriminalisasi ketika melakukan praktik-praktik atas pengetahuan mereka sendiri.
Selain Devi, hadir juga berbicara Arimbi Heroeputri (Debt-Watch), Ahmad Arif (Peneliti Kemitraan), dan Luluk Uliyah (Madani Berkelanjutan). Senada dengan Devi, Arimbi menegaskan ada banyak undang-undang yang mengatur atau menyebutkan tentang masyarakat adat. Namun, sebutnya, tak satu pun yang mengatur atau menyebutkan tentang perempuan adat, apalagi pengetahuannya mengenai pangan yang merupakan area perempuan adat.
”Di sini masalahnya, cukup kita menghormati memuja betapa hebatnya pengetahuan yang dikelola dalam mengelola pangan. Perempuan adat yang menurut kita hebat itu, ternyata tidak ada dalam diksi, kosakata, dan rumusan undang-undang,” kata Arimbi.