”Mengejar ketertinggalan” tidak logis, kata ahli bahasa kesal. Alur logika mereka tampak jelas, langsung, dan tepat. Ketertinggalan dalam konteks perjalanan kebangsaan di tingkat dunia berarti hal-hal yang belum dipelajari, dikerjakan, atau diselesaikan, padahal seharusnya sudah dikerjakan atau diselesaikan sejak dahulu oleh anak-anak, bapa-bapa, dan ibu-ibu bangsa. Dalam garis waktu, posisi ketertinggalan ada di belakang titik sekarang. Sebaliknya mengejar adalah tindakan atau gerakan yang mengarah ke depan. Masa, sih, rakyat dan penguasa Indonesia disuruh mengejar hal yang tertinggal di belakang? Bukankah seharusnya ”mengejar kemajuan” di depan?
Toh, bagi orang banyak, rasa bahasa garis lurus macam begini rupanya dianggap tak kena di hati tak resap di dada. Lantas, selain berkeluh-kesah, bagaimanakah menjelaskan ketangguhan dan vitalitas ungkapan ini yang tidak mati-mati ditembaki penjaga bahasa? Marilah kita mencoba jawab dengan menganalisis kata ”mengejar” pada tiga paragraf berikut dan setelah itu ”ketertinggalan”.
Dua kata kerja frasal bahasa Inggris barangkali bisa menolong. Kata kerja frasal terdiri dari gabungan satu kata kerja utama dengan kata keterangan dan atau kata depan. Pertama, ”to catch up with”. Frase ini biasa diterjemahkan ”mengejar” atau ”menyusul” (yang ada di depan) sampai dapat, beres, atau tuntas. Misalnya, ”I will catch up with you at the station” berarti ’aku akan menyusulmu (sampai kita bertemu) di stasiun’. Makna ”mengejar” seperti inilah yang diacu ketika penolak mengurai ungkapan ”mengejar ketertinggalan”. Tidak mungkin itu terjadi. Mustahil.
Kedua, ”to catch up on”. Maknanya adalah ”melakukan (sesuatu) yang seharusnya sudah dilakukan dahulu”. ”I need to catch up on my homework from last week”, misalnya, berarti ’saya harus menyelesaikan pekerjaan rumah dari minggu lalu (yang belum saya kerjakan, padahal seharusnya sudah)’. Makna ”mengejar” seperti inilah yang tersirat dalam pemakaian proletar bahasa. Logikanya, ”ketertinggalan” adalah sesuatu yang seharusnya sudah selesai dikerjakan generasi lalu. Ternyata sampai sekarang tidak dikerjakan. Maka, saya perlu mengejar, yakni, berusaha keras bekerja atau belajar secepat-cepatnya, untuk membereskan urusan yang belum selesai itu.
Kedua paragraf di atas menunjukkan bahwa ”mengejar” di situ bisa dipahami sebagai baik ”to catch up with” maupun ”to catch up on”. Perhatian hanya pada salah satu bisa menimbulkan penyalahan, bahkan pengejekan.
Sekarang, bagaimana pula memahami ”ketertinggalan”? Kenormalan logika ”mengejar ketertinggalan” juga bisa ditangkap apabila kita menganggap ketertinggalan mengacu kepada ”keterlambatan”. Orang lain sudah sampai, kita masih jauh terlambat, tertinggal di belakang. Fokusnya bukan pada hal-hal (yang belum dikerjakan), melainkan pada waktu, yakni waktu yang terbuang sia-sia di masa lalu dan karena itu menjadi utang, sebab waktu itu harus dibayar kembali di masa depan. ”Mengejar ketertinggalan” dengan demikian berarti berupaya membayar atau mengangsur utang waktu yang dibutuhkan untuk mengejar hal-hal yang tertinggal itu, sampai pada suatu waktu nanti insyaallah semua hal yang tertinggal itu akan selesai dipelajari dan dikerjakan.
Bisa pula ”ketertinggalan” dalam konteks ini dipahami sebagai jarak antara ”yang ada” dan ”yang ideal”. Fokusnya, secara figuratif atau analogis, bersifat spasial. Orang lain sudah meluncur di jalan raya jelang finis, kita masih terhambat, tertinggal di lorong becek. ”Mengejar ketertinggalan” berarti mengurangi jarak. Dengan usaha gigih, lama-lama, jarak itu hapus. Dengan demikian terkejarlah, dan terhilanglah, ketertinggalan itu. Kelalaian, kebodohan, dan atau kejahatan pemimpin masa lalu pun pupus.
Samsudin Berlian
Penggelut Makna Kata