Pelajaran sejarah untuk siswa sekolah menengah atas diakui masih dibutuhkan. Hanya saja, penyampaian subyek ini perlu dibuat menarik.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah wacana penyesuaian pelajaran sejarah pada kurikulum jenjang sekolah menengah atas, para siswa mengaku masih membutuhkan pelajaran sejarah tersebut. Subyek ini masih dianggap menarik, sejauh guru mampu menyajikan pembelajaran yang apik.
Wacana penyesuaian pelajaran sejarah di jenjang sekolah menengah atas pernah mengemuka dengan beredarnya draf sosialisasi penyederhanaan kurikulum dan asesmen nasional dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di situ, pelajaran sejarah pada SMA dan MA akan diubah menjadi pelajaran pilihan, sedangkan pada SMK bahkan dihilangkan.
Di tengah polemik tersebut, pelajaran sejarah rupanya masih dibutuhkan oleh para siswa. Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Ilham Mukhti (16), siswa kelas X SMK Sumpah Pemuda Jakarta. Meski duduk di bangku sekolah kejuruan, pelajaran sejarah tetap penting untuk ia pelajari.
”Dari pelajaran sejarah, kita bisa tahu peradaban bangsa dan perjuangan para pahlawan dalam memperebutkan kemerdekaan,” kata siswa jurusan multimedia ini saat dihubungi, Senin (21/9/2020).
Dari situ, Ilham berharap dapat mencontoh karakter para pahlawan melalui kisah-kisah heroik masa lalu. Hal itu, menurut dia, penting untuk menumbuhkan kisah cinta Tanah Air, rela berkorban, dan pantang menyerah dalam dirinya.
”Semangat para pahlawan seakan memotivasi kami agar semangat belajar. Harapannya agar bisa ikut membangun peradaban baru,” tambahnya.
Bagi Ilham, nilai-nilai pada materi pelajaran sejarah hanya bisa dipetik melalui penghayatan. Dalam hal ini, pemutaran film-film dokumenter pada pelajaran sejarah sangat membantunya untuk melakukan penghayatan tersebut.
Bahkan, Ilham tak segan datang sendiri ke museum atau monumen untuk memperkaya pengetahuan sejarahnya. Hal itu pernah ia lakukan saat sedang mempelajari materi sejarah tentang G30S/PKI.
”Kebetulan metode yang dilakukan guru di sekolah sudah cukup menarik. Selebihnya, saya datang ke monumen untuk mencari tahu lebih dalam,” ujarnya.
Rumor penyesuaian pelajaran sejarah di SMA juga didengar oleh Hazen Nabil Yudhanto (17), siswa kelas XII SMA Negeri 84 Jakarta. Menurut dia, belajar sejarah selama ini dapat memberikan manfaat, tetapi sekaligus dapat memberikan beban.
Dengan belajar sejarah, ia tidak khawatir akan buta akan sejarah Indonesia. Di sisi lain, belajar sejarah membuatnya terbebani lantaran materi yang harus dipelajari jumlahnya seabrek.
”Ada enak dan enggak enaknya, sih. Enggak enaknya, ya, kita jadi buta sejarah. Apalagi minat baca kita katanya rendah,” ujarnya.
Hazen sepakat metode pembelajaran sangat menentukan pemahaman siswa terhadap materi. Semakin menarik, siswa cenderung mudah paham. Namun, khusus untuk pelajaran sejarah, ada faktor lain yang menentukan yakni jam belajar.
”Kalau (pelajaran) sejarah tergantung jam pelajarannya. Kebetulan jam (pelajaran) sejarah saya di jam pagi menjelang siang jadi enggak terlalu bikin bosan," katanya.
Guru sejarah MAN 2 Banjarnegara, Zulvaeda Retnani, menyadari bahwa tidak mungkin guru dapat membuat 100 persen siswa menyukai pelajaran sejarah. Akan tetapi, setidaknya guru harus menyusun trik agar siswa selalu tertarik mempelajari sejarah.
”Trik ini harus disesuaikan dengan karakter kelas. Di kelas favorit, penyampaian materi pasti akan lebih mudah. Namun, kalau di kelas lain mungkin bisa sambil ngobrol santai, nonton film, atau buka media sosial,” ujarnya.
Jika sejarah menjadi pelajaran pilihan atau ditiadakan, Zulva ragu siswa mau belajar sejarah secara mandiri. Terlebih, saat ini minat baca masyarakat Indonesia tergolong rendah. Setidaknya jika pelajaran sejarah masih diajarkan, ada tuntutan bagi siswa untuk mengerjakan pekerjaan rumah atau tugas dari gurunya.
”Setidaknya kalau (pelajaran sejarah) masih diajarkan, para siswa bisa mendengarkan kisah sejarah dari guru. Apalagi kalau dikasih tugas, mereka bisa cari tahu secara mandiri,” katanya.
Secara umum, Zulva mengamati siswa-siswanya saat ini masih antusias menerima pembelajaran sejarah. Namun, untuk meningkatkan minat baca siswanya terhadap materi sejarah, ia tetap harus memakai trik khusus.
”Anak zaman sekarang enggak bisa disuruh baca dengan cara jadul. Mereka harus diajak belajar tanpa sadar. Misalnya dengan memanfaatkan media sosial,” tambahnya.
Intinya, Zulva ingin agar pelajaran sejarah tetap eksis pada jenjang sekolah menengah atas. Ia berharap agar pemerintah tidak mengorbankan pelajaran sejarah demi arah pendidikan yang lebih vokasional. Bahkan, menurut dia, siswa SMK pun masih relevan untuk belajar sejarah.
”Apa artinya orang pintar, terampil, dan sukses dengan identitas kebangsaan yang lemah,” katanya.
Setidaknya kalau (pelajaran sejarah) masih diajarkan, para siswa bisa mendengarkan kisah sejarah dari guru. Apalagi kalau dikasih tugas, mereka bisa cari tahu secara mandiri.
Melalui keterangan video di akun Instagramnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makariem mengklarifikasi bahwa tidak ada rencana untuk menghapus pelajaran sejarah dari kurikulum nasional. Menurut dia, komitmennya untuk melestarikan sejarah kebangsaan tidak perlu dipertanyakan.
”Padahal, misi saya adalah memajukan pendidikan sejarah agar kembali relevan dan menarik bagi anak-anak kita,” katanya.
Antusiasme ke museum
Antusiasme siswa belajar sejarah di luar sekolah dapat tecermin dari tren kedatangan para pelajar ke museum. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Unit Pengelola Museum Kesejarahan Jakarta, setidaknya 200.589 anak-anak dan pelajar mandiri yang berkunjung ke Museum Sejarah Jakarta, Museum Joang 45, Museum Prasasti, dan Museum MH Thamrin sepanjang tahun 2019.
Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan jumlah pengunjung kalangan anak-anak dan pelajar dari rombongan yakni 85.875 orang. Menariknya, tren kunjungan anak-anak dan pelajar mandiri tersebut mencapai puncaknya pada masa libur sekolah.
Pada Januari, pengunjung sebanyak 28.122 orang, Juni 40.726 orang, dan Desember 30.503 orang. Artinya, kedatangan anak-anak dan pelajar ke museum semata-mata bukan karena mendapatkan tugas dari guru sejarah di sekolah. Bisa jadi, mereka datang atas inisiatif pribadi.
Di sisi lain, jumlah pengunjung anak-anak dan pelajar mandiri juga melebihi jumlah pengunjung mahasiswa yang sebanyak 27.000 orang. Hanya saja, jumlah pengunjung anak-anak dan pelajar masih di bawah jumlah pengunjung dewasa yang sebanyak 424.826 orang.