Jumlah Terus Menyusut, Generasi Pewaris Penghayat Kepercayaan Terancam Hilang
Berbagai masalah dan kendala yang dihadapi pada masa lalu, yang masih berlangsung hingga hari ini, memengaruhi keberlangsungan penghayat kepercayaan di Tanah Air. Jumlahnya kiat menyusut dan terancam hilang penerusnya.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati undang-undang melindungi dan menjamin setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan sesuai dengan agama dan kepercayaannya tanpa pengecualian, hingga kini masyarakat penghayat kepercayaan masih mengalami diskriminasi, peminggiran, dan stigmatisasi. Akibatnya, penghayat kepercayaan tidak memiliki ruang partisipasi dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya.
Perlakuan yang tidak setara yang berlangsung lama membuat jumlah di setiap komunitas dan kelompok penghayat kepercayaan terus menyusut. Selain karena diskriminasi, peminggiran, dan stigmatisasi, regulasi-regulasi yang diskriminatif terhadap penghayat kepercayaan juga mengakibatkan penyusutan jumlah penghatan kepercayaan.
Yang paling kita rasakan adalah penyusutan dengan hilangnya generasi pewaris akibat tekanan-tekanan secara eksternal. ( Dian Jennie Cahyawati)
”Situasi ini sesungguhnya berdampak sangat panjang pada psikologi penghayat kepercayaan hingga hari ini sehingga dampaknya begitu luas. Dan, yang paling kita rasakan adalah penyusutan dengan hilangnya generasi pewaris akibat tekanan tekanan secara eksternal,” ujar Ketua Puanhayati Pusat, Dian Jennie Cahyawati, saat berbicara Festival Inklusif 100% dengan tema ”Di Mata Semesta Kau dan Aku Sama” yang berlangsung secara daring, Senin (21/9/2020).
Festival yang diselenggarakan oleh Yayasan Satunama, Pusat Rehabilitasi YAKKUM, Yayasan SAMIN yang tergabung dalam Program Peduli yang didukung oleh Pemerintah Australia di Indonesia, The Asia Foundation, berkolaborasi dengan Sanggar Inovasi Desa. Festival ini adalah tindak lanjut dari Kongres Kebudayaan Desa dan diselenggarakan pada 21-26 September 2020.
Dian berbicara pada webinar sesi kedua dengan topik ”Yang Beda, Yang Memberi Warna: Mewujudkan Pelayanan Publik yang Inklusif bagi kelompok Penghayat di Desa”. Sesi ini juga menghadirkan pembicara Amar Kazet (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia, Banyumas, Jateng), Dani Pristiawan (Kepala Desa Salamrejo, Kulon Progo, DIY), Kristofel Praing (Kadis Dukcapil Sumba Timur, NTT), dan Syamsul Hadi (Kemendikbud).
Menurut Dian, banyaknya masalah dan kendala yang dihadapi pada masa lalu, yang masih berlangsung hingga hari ini, memberikan dampak yang sangat signifikan bagi kelangsungan penghayat kepercayaan di Tanah Air.
Sebelum dan setelah lahirnya Undang-undang No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, menurut Dian, ada banyak situasi yang dialami penghayat kepercayaan, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun karena regulasi negara. Bentuknya, mulai dari diskriminasi, pengucilan, hingga radikalisme.
”Salah satu contohnya adalah penutupan penyegelan bahkan pembakaran dari tempat peribadatan kami dan berbagai stigma negatif yang ditujukan kepada penghayat kepercayaan yang dianggap tidak bertuhan,” kata Dian.
Diskriminasi ini menyulitkan penghayat kepercayaan untuk mendapatkan akses sosial, ekonomi, dan politik secara setara dengan kelompok lain. Adapun bentuk diskriminasi yang diterima penghayat kepercayaan, antara lain, kendala dalam mengakses identitas keyakinan, perkawinan, pendidikan, pekerjaan, kematian, pendirian tempat pasujudan, serta stigma/label negatif.
Pengucilan dipicu berbagai faktor
Pada pembukaan Festival Inklusif 100% yang dihadiri Sandra Hamid (Country Representative The Asia Foundation), Aedan Whyatt (Konselor untuk Kemiskinan dan Pembangunan Sosial Kedutaan Australia), dan Suprapedi (Staf Ahli Bidang Hubungan Lembaga Kemendes PDTT), Budi Wibowo, Staf Ahli Gubernur DIY Bidang Ekonomi dan Pembangunan menyampaikan sambutan Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X yang juga menyoroti soal pengucilan yang dialami kelompok marginal yang dipicu oleh berbagai faktor.
Menurut Gubernur DIY, pengucilan dipastikan dapat merampas martabat keamanan dan kesempatan individu untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Jika tidak ditangani secara dini, pengucilan kelompok akan menimbulkan kerusakan sosial dan pada akhirnya memakan biaya sosial, politik, atau ekonomi yang tinggi dalam upaya memulihkan stabilitas sosial masyarakat.
Adapun Sandra Hamid, Country Representative The Asia Foundation, mengungkapkan, pihaknya menggelar Program Peduli, sebuah program yang ditujukan pada kelompok pinggiran yang dikucilkan karena identitas yang melekat pada dirinya sehingga tidak bisa menikmati hasil pembangunan dengan pendekatan inklusi sosial.
Program Peduli fokus pada kelompok yang paling terpinggirkan, yaitu anak rentan, difabel, masyarakat adat, transDian, agama minoritas, dan korban pelanggaran hak asasi manusia berat. Sebelum tahun 2019, program Peduli fokus dengan pendekatan pada masing-masing sektor.
”Ada banyak keberhasilan yang dicapai, yakni kelompok marjinal kemudian diterima dan dirangkul kembali dalam masyarakat dengan dilibatkan dalam interaksi sehari-hari melalui kegiatan budaya dan sosial kemasyarakatan,” paparnya.