Setelah tiga tahun berusaha mendaftarkan anaknya ke sekolah luar biasa, Sarah Kumala Dewi lega dan bersyukur akhirnya ada sekolah yang bersedia menerima anaknya, Alanis, yang menyandang ”cerebral palsy” dan tunanetra.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
”Alhamdulillah Alanis bisa diterima di SLB ABCDE Lob Cibiru. Ini sangat berarti bagi Alanis,” kata Sarah Kumala Dewi (37) menceritakan anak sulungnya yang menyandang cerebral palsy dan tunanetra, ketika dihubungi Jumat (18/9/2020).
Sebelumnya, beberapa kali Sarah berusaha mendaftarkan Alanis (10) ke sejumlah sekolah luar biasa (SLB) di sekitar tempat tinggalnya di Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung, Jawa Barat. Namun, kondisi Alanis yang harus berada di kursi roda dan bergantung pada orang lain untuk mobilitas dan komunikasinya menjadi kendala. Pihak sekolah beralasan tidak bisa memfasilitasi Alanis.
”Ini kepala sekolahnya welcome banget, mau menerima Alanis. Alanis bisa ikut sekolah sepekan dua kali. Saya diberi bahan belajar lewat Whatsapp, untuk trial (uji coba) dulu, ya sebisanya Alanis saja,” kata Sarah.
Meski Alanis bisa diterima di SLB ABCDE Cibiru, Kota Bandung, Sarah belum mendaftarkan anaknya tersebut secara resmi. Selain masih mengumpulkan uang untuk biaya pendaftaran sebesar Rp 700.000, pembelajaran juga masih secara daring. Padahal, yang paling dibutuhkan Alanis ialah berinteraksi dengan teman-teman sebayanya.
Ini sangat bermakna untuk saya dan Alanis. Alanis bisa mendapatkan hak atas pendidikan.(Sarah Kumala Dewi)
”Karena itu sekarang Alanis sering tinggal di rumah bibi (pembantu rumah tangga), di sana ramai banyak anak-anak, jadi dia betah di sana. Mungkin saya tunda dulu (sekolah Alanis) sampai tahun depan, sampai sekolah dibuka (pembelajaran tatap muka) lagi. Tetapi, bagaimanapun, ini sangat bermakna untuk saya dan Alanis. Alanis bisa mendapatkan hak atas pendidikan,” kata ibu empat anak tersebut.
Kompas mengetahui kisah Alanis ketika mengikuti diskusi daring bertema ”Berbagi Kisah Pengasuhan Anak dengan Disabilitas” yang diselenggarakan Save the Children Indonesia pada 8 September 2020. Dalam diskusi daring tersebut, Sarah melalui rekaman suara menyampaikan testimoni soal kondisi Alanis dan upaya Sarah delapan kali berusaha mendaftarkan Alanis ke SLB agar bisa berada di antara teman-teman sebayanya.
Ketika mewawancarai Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Ditjen PAUD Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Samto, Kompas menyampaikan kisah Alanis. Samto mengatakan, seharusnya sekolah tidak boleh menolak, apa pun kondisi Alanis. Samto pun mengatakan akan berusaha membantu Sarah.
”Saya kontak Bu Sarah, saya sarankan untuk cari sekolah lain, coba tanya-tanya dulu ke kepala sekolahnya, cerita (kondisi Alanis) dulu, komunikasikan ke sekolah maksud Bu Sarah bagaimana. Kalau cerita dari hati ke hati, pasti mendapat dukungan. Saya hanya menyarankan begitu. Kalau saya intervensi, kalaupun Alanis diterima, bukan dari hati,” kata Samto, Jumat.
Hambatan
Samto bersyukur, akhirnya ada seolah yang bisa menerima Alanis. Kamis (17/9), Sarah memberitahu Samto bahwa Alanis bisa diterima di SLB ABCDE Lob Cibiru. Samto mengakui, masih ada sejumlah hambatan akses pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus seperti pernah dialami Alanis. Hambatan itu mulai dari kurangnya pemahaman masyarakat hingga keterbatasan sarana dan prasarana sekolah.
”Kalau hambatan (anak berkebutuhan khusus mengakses sekolah) ini dihilangkan, banyak dari mereka yang bisa berprestasi. Kami sedang berusaha agar asesmen untuk anak yang akan masuk SLB bisa dilakukan oleh guru-guru SLB, tidak harus psikolog. Asesmen ini penting untuk menemukan bakat dan hambatan anak karena kurikulum SLB ini spesifik, sesuai kondisi anak,” kata Samto.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 menunjukkan, sekitar 0,8 persen anak usia 7-18 tahun menyandang disabilitas, atau sekitar 460.000 anak. Hampir 3 dari 10 anak penyandang disabilitas tidak mengenyam pendidikan.
Dari 72 persen anak penyandang disabilitas yang pernah sekolah, hanya 56 persen yang tamat SD. Dari jumlah itu, hanya 46 persen yang melanjutkan ke SMP dan pada akhirnya hanya 40 persen yang tamat SMP. Dari jumlah itu, hanya 30 persen yang melanjutkan ke SMA dan hanya 26 persen yang tamat SMA.
Tantangan mewujudkan pendidikan inklusif di Indonesia, berdasarkan kajian Unicef Indonesia, antara lain, kurangnya pelatihan untuk guru, data anak penyandang disabilitas yang tidak lengkap terutama yang berada di luar sekolah, dan pandangan keluarga bahwa anak penyandang disabilitas tidak merasakan manfaat pendidikan sebesar anak tanpa penyandang disabilitas.
Perhatian serius
Saat meninjau pelaksanaan pembelajaran jarak jauh di SLB Negeri 1 Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (17/9), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim mengatakan, salah satu target utama Kemendikbud adalah memberikan perhatian yang lebih serius kepada SLB. Tim di Kemendikbud sedang mengkaji berbagai masukan masyarakat untuk merumuskan intervensi kebijakan sehingga dapat meningkatkan peran strategis SLB dan pendidikan khusus.
Kepala SLB Negeri 1 Bantul Sri Muji Rahayu menyampaikan pentingnya perubahan pola pikir di masyarakat mengenai pendidikan khusus. Persepsi masyarakat mengenai SLB sebagai sekolah anak cacat yang berkonotasi negatif harus diubah. Branding SLB perlu ditingkatkan lagi sehingga orangtua anak berkebutuhan khusus tidak malu anaknya bersekolah di SLB.
Muji juga berharap Kemendikbud dapat meningkatkan kompetensi para guru SLB. Saat ini, guru SLB yang memiliki kompetensi untuk menyelenggarakan program khusus masih sangat minim.
”Ketika kami menerima guru baru, mereka belum dibekali dengan kompetensi kekhususan misalkan orientasi mobilitas bagi tunanetra,” kata Muji dalam rilis tertulis Kemendikbud.
Banyak guru baru SLB belum dibekali dengan kompetensi kekhususan misalkan orientasi mobilitas bagi tunanetra. Guru-guru baru di SLB juga masih berlatar belakang nonpendidikan luar biasa (PLB) sehingga perlu mendapatkan kompetensi kekhususan.