Yang Muda, Yang Menderita Jiwanya
Selama pandemi, anak muda paling rentan mengalami stres dan depresi. Persoalan mental yang mereka hadapi itu bisa berdampak panjang pada kesejahteraannya di masa depan.
Meski dianggap paling bandel dan sulit mematuhi protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19, nyatanya anak muda adalah kelompok yang paling menderita mentalnya selama pandemi. Stres, depresi, cemas, hingga kesepian yang mereka alami tak hanya mengancam kesejahteraan jiwanya, tetapi juga masa depannya.
Sejak pembelajaran jarak jauh diberlakukan Maret 2020, kebosanan dan stres dialami Mesya (16), siswi kelas XI IPA di salah satu SMA negeri di Jakarta Pusat. Rutinitas hidupnya berubah, belajar daring di depan komputer jinjing, mengerjakan tugas yang menggunung, atau meluangkan waktu sejenak demi mengurangi stres, baik menonton film, bermain gitar, maupun baca buku.
Berbagai aktivitas fisik yang dulu sering dilakukan bersama teman sepulang sekolah kini tinggal kenangan. Pergi ke mal bersama teman, ikut kegiatan ekstrakurikuler, hingga berlatih taekwondo jadi kegiatan yang sangat dirindukan Mesya.
Baca juga Laki-laki dan Anak Muda Sulit Patuhi Protokol Kesehatan
”Walau bisa menonton film di gawai, rasanya tetap stres, ingin ketemu dan bermain bersama teman-teman,” katanya, Jumat (18/9/2020). Pertemuan virtual melalui internet atau telepon pun tidak memberikan kepuasan yang sama dibandingkan dengan tatap muka langsung.
Ia pun berubah menjadi anak yang lebih sensitif dan mudah lelah. Waktu mulai tidurnya kini semakin malam hingga menjadi mudah mengantuk saat siang hari. Tenggat tugas sekolah yang berdekatan juga membuatnya sering lupa waktu, bahkan untuk sekadar makan dan shalat.
Proses pembelajaran daring yang singkat dan kesulitan pembelajaran daring yang dialami juga membuat Mesya waswas terhadap masa depannya kelak, terutama saat harus bersaing untuk masuk perguruan tinggi mulai tahun ajaran depan.
Kekhawatiran akan masa depan juga dialami Hendrawan Ari Pamungkas (21). Pandemi memaksanya mundur kuliah dari jurusan hubungan internasional dari salah satu universitas swasta di Jakarta Selatan. Diberhentikan dari tempat kerja, hilangnya peluang kerja sampingan sebagai pembaca acara atau moderator, dan tutupnya usaha wisata milik keluarga membuatnya terpuruk secara ekonomi.
”Untuk sekadar membayar uang cuti kuliah saja tidak bisa,” katanya. Memang ada bantuan keuangan dari saudara, tetapi uang itu difokuskan untuk pengobatan ibunya.
Ari sebenarnya memiliki pergaulan dan jejaring yang luas berkat keaktifannya dalam berbagai kegiatan dan organisasi sosial. Bahkan, ia pernah mewakili Indonesia dalam sejumlah forum pemuda internasional. Namun, pandemi nyatanya berimbas pada semua orang sehingga peluang kerja yang ia harapkan dari rekan-rekannya pun tak membuahkan hasil.
Baca juga Perbedaan Usia Pengaruhi Cara Merespons Pandemi
Kehilangan pekerjaan, penghasilan, dan pendidikan itu membuat kehidupan Ari benar-benar berada di titik nadir. Rasa tertekan, tidak berharga, tidak punya apa-apa, hingga tidak punya status yang jelas apakah sebagai karyawan atau mahasiswa membuatnya tertekan dan malu bertemu orang. Padahal, sebelum pandemi, Ari dianggap sebagai sosok yang tak bisa diam dan super sibuk.
Namun, bantuan seorang psikolog yang diperoleh secara percuma membuatnya mulai bangkit lagi. Rasa tidak aman, takut dengan segala hal, memikirkan sesuatu secara berlebihan sampai mual, hingga kesulitan tidur yang pernah dialami perlahan mulai teratasi. Kini, Ari sudah lebih bisa menerima kondisinya, bahkan mulai menyadari bahwa dirinya tetap berharga meski tak memiliki apa-apa.
Stres dan depresi
Risiko anak muda untuk mengalami keparahan atau meninggal akibat Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru memang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok lanjut usia (lansia). Namun, mereka menghadapi tekanan mental yang lebih besar daripada kelompok populasi lain.
Survei Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat yang dipublikasikan 14 Agustus 2020 menunjukkan, 62,9 persen orang dewasa muda berumur 18-24 tahun di negara itu mengalami kecemasan dan depresi selama pandemi. Prevalensi itu merupakan yang tertinggi daripada kelompok usia lain. Sebagai gambaran, hanya 8,1 persen penduduk berumur lebih dari 65 tahun mengalami gangguan itu.
Tingginya kecemasan dan depresi itu membuat munculnya ide bunuh diri atau melakukan hal-hal yang bisa merusak mental dan fisik pada orang muda paling tinggi ketimbang kelompok umur lain.
Di Indonesia memang belum ada analisis gangguan mental selama pandemi berdasar kelompok umur. Namun, data swaperiksa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia menunjukkan, 69 persen responden mengalami masalah psikologis selama pandemi, berupa kecemasan, depresi, dan trauma psikologis.
Baca juga Kasus Covid-19 Kian Naik, Kongko-kongko Jalan Terus
Meski demikian, kondisi anak muda yang lebih rentan mengalami gangguan mental selama pandemi itu juga diyakini terjadi di Indonesia. Studi yang dilakukan dosen Fakultas Psikologi Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi, Muhammad Zein Permana, menunjukkan, 20 persen mahasiswa di Bandung dan sekitarnya mengaku depresi selama pandemi.
Dari analisis yang dilakukan, responden yang mengaku depresi itu umumnya masih sebatas stres. Adapun stres umumnya muncul sebagai rasa tertekan akibat kondisi tertentu, sedangkan depresi merupakan kondisi lebih lanjut dari stres yang membuat seseorang merasa tak berdaya serta kehilangan minat dan semangat melakukan hal-hal yang sebelumnya jadi kegemarannya.
Namun, jumlah mahasiswa yang melaporkan depresi itu terus meningkat dari tahun ke tahun. Studi serupa yang dilakukan pada 2017 menunjukkan, hanya 0,7 persen mahasiswa mengaku depresi. Selanjutnya, pada 2018, jumlahnya melonjak menjadi 7 persen.
Situasi itu juga dicermati psikiater di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, Lahargo Kembaren. Tanpa ada pandemi pun depresi di kalangan remaja akan terus meningkat. Gaya hidup modern, keterikatan yang tinggi pada internet dan media sosial, situasi tidak menentu, kurang tidur, dan kurang bersosialisasi langsung bisa meningkatkan risiko depresi remaja.
Gejala tersembunyi
Repotnya, gejala depresi pada remaja itu umumnya tersembunyi. Perubahan perilaku yang muncul kerap dianggap sebagai hal wajar dari perkembangan mereka atau mencari perhatian dari orang lain.
Baca juga Pelajar dan Mahasiswa Rentan Tertular
Maka, orangtua dan orang dewasa di sekitarnya perlu menyadari perubahan perilaku pada remaja mereka. ”Kesehatan jiwa remaja sama pentingnya dengan kesehatan fisiknya,” kata Lahargo.
Gejala depresi pada remaja itu meliputi, antara lain, suasana hati yang menjadi sedih atau mudah tersinggung, minat turun, konsentrasi terganggu, sulit membuat keputusan, hingga munculnya insomnia atau hipersomnia.
Kesehatan jiwa remaja sama pentingnya dengan kesehatan fisiknya.
Tanda lainnya yang muncul meliputi berubahnya nafsu makan, kelelahan berlebihan, rasa tidak berharga, gelisah, hingga munculnya pikiran tentang kematian atau keinginan bunuh diri. Berbagai gejala itu harus berlangsung selama dua minggu berturut-turut dan mengganggu fungsi sehari-hari.
Sementara itu, Zein menilai, munculnya stres dan depresi selama pandemi itu sulit dihindari karena mereka kehilangan kesempatan untuk mengeksplorasi dan bergerak (mobilitas) yang menjadi mekanisme alamiah perkembangan anak muda. Pandemi membuat peluang mengeksplorasi dan bergerak itu terputus hingga membuat anak muda tertekan, stres, dan kesepian.
Baca juga Istilah Normal Baru Melenakan Kawula Muda di Keramaian
Hilangnya kesempatan itulah yang berusaha dikompensasi anak muda dengan melakukan hal-hal yang menurut banyak orang dianggap melanggar protokol kesehatan, mulai dari bersepeda beramai-ramai, nongkrong di kafe, balap lari malam di jalanan, hingga bergerombol menerbangkan layangan di lapangan.
Tak hanya membuat mereka bergerak, kegiatan itu juga membuat mereka tetap bisa mengeksplorasi apa pun, termasuk pertemanan. ”Jika kebutuhan untuk mengeksplorasi dan bergerak itu tidak terpenuhi, mereka akan memberontak,” katanya.
Karena itu, Zein menilai, upaya mengajak anak muda mematuhi protokol kesehatan tidak bisa dilakukan dengan menyuruh atau menghukum mereka seperti yang dilakukan selama ini. Semangat mereka untuk mengeksplorasi dan bergerak bisa diwadahi dengan mengajak mereka menjadi sukarelawan, termasuk untuk mengampanyekan protokol kesehatan.
Namun, upaya mengajak anak muda itu saat ini sulit dilakukan akibat stigma yang dilekatkan pada mereka. Sebagai remaja, mereka belum dianggap dewasa yang bisa berpikir matang dan diajak mendiskusikan berbagai hal. Sebaliknya, saat bersikap dewasa, mereka justru sering diremehkan karena dianggap masih anak-anak.
”Perlakukan anak muda sebagai generasi tersendiri yang bisa berkontribusi pada masyarakat dan bangsa,” kata Zein.