Resiliensi Menurun, Saling Mendukung Jadi Kekuatan
Pandemi Covid-19 memberikan dampak besar, tidak hanya kesehatan tapi juga dalam kehidupan keluarga. Dukungan dan penguatan bagi keluarga-keluarga untuk melewati krisis sangat dibutuhkan saat ini.
Pelajar didampingi orangtua dan petugas Pekerja Penanganan Sarana dan Prasarana Umum (PPSU) mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) dalam jaringan (daring) menggunakan fasilitas wifi gratis di saung Kelurahan Kuningan Barat, Jakarta Selatan, Jumat (28/8/2020). Pengurus kelurahan tersebut menyediakan fasilitas akses internet melalui WiFi secara gratis unutk memudahkan siswa mengikuti belajar mengajar secara daring selama masa pandemi Covid-19. Pelajar yang menggunakan fasilitas tersebut diwajibkan mengikuti protokol kesehatan.Kompas/Riza Fathoni (RZF)28-08-2020
Pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir tujuh bulan menghadirkan dampak serius bagi kehidupan keluarga. Daya tahan setiap keluarga dalam menghadapi krisis di masa pandemi, terus diuji, menyusul ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi Covid-19. Perbatasan sosial, apalagi berskala besar kini semakin menekan setiap keluarga.
Situasi ekonomi yang semakin sulit, yang berdampak pada penurunan pendapatan keluarga mulai menggoncang kehidupan rumah tangga, terutama pada keluarga ekonomi menengah ke bawah. Bagi pasangan keluarga muda yang memiliki anak yang masih kecil dan berusia sekolah, tinggal di rumah berbulan-bulan menjadi ujian tersendiri. Tanpa ada dukungan lingkungan dan keluarga, resiliensi keluarga tersebut akan terganggu, bahkan menurun.
Ketika semua anggota keluarga di rumah, suami, istri, dan anak-anak, biasanya beban terbesar akan bertumpu pada ibu/istri. Untuk keluarga-keluarga muda yang hidup terpisah dengan keluarga dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan, tidak mudah menghadapi situasi pandemi Covid-19. Beban ganda akan dialami seorang ibu, ketika pekerjaan domestik atau urusan rumah tangga (RT) harus ditanganinya sendirian, sementara pada saat yang sama harus merawat dan mendampingi anak-anak bersekolah dari rumah.
Baca juga: Dukungan Psikososial Orangtua Cegah Anak Jadi Korban Kekerasan
Kasus kematian KS, bocah berumur 8 tahun di Tangerang, Banten yang diduga meninggal setelah dipukul orangtuanya saat sedang belajar dari rumah menjadi peringatan bagi semua keluarga. Apalagi dari dugaan sementara, sang anak yang baru masuk kelas I sekolah dasar itu, KS dipukuli ibunya LH (26) sedang belajar daring di rumah, sehingga jatuh dan kepalanya terbentur lantai sehingga berujung kematian (Kompas, 17/9/2020).
Di tengah suara keprihatinan atas kasus tersebut, sejumlah kalangan memandang peristiwa tersebut dari sisi berbeda. Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati menilai latar belakang orangtua dari anak yang menjadi korban juga mempengaruhi tindakan kekerasan terhadap sang anak. Sebab, jika dilihat dari umurnya, orangtua korban menikah pada usia anak.
“Karena itu, perlu didalami mengapa ibu menjadi pelaku kekerasan. Kemungkinan besar ada faktor lain yang mendorong sang ibu melakukan tindakan tersebut,” papar Rita, Rabu (16/9/2020).
Menjadi orangtua sekaligus guru pada saat krisis pandemi Covid-19 bukanlah hal yang mudah bagi sejumlah orangtua. Retno Listyarti yang juga Komisioner KPAI bidang pendidikan mengungkapkan, kesabaran orangtua dalam membimbing anak belajar di rumah menjadi modal utama.
Beban bertumpu pada ibu
Tidak hanya itu, pengasuhan dan pendampingan terhadap anak saat belajar di rumah membutuhkan kerjasama kedua orangtua baik ayah maupun ibu. Survei KPAI beberapa waktu lalu menemukan pengasuhan terhadap anak selama pandemi dominan dilakukan oleh ibu. Sebanyak, 21 persen ayah tidak pernah mendampingi anak belajar. Itu artinya, selama pandemi Covid-19, beban berat domestik bertumpu pada ibu, termasuk tanggungjawab pengasuhan anak.
Kondisi ketidakadilan dalam urusan rumah tangga yang dialami ibu, dan kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama pandemi Covid-19 secara terus menerus, bisa berefek domino kepada anak.
Survei KPAI bahkan menemukan dalam situasi Covid-19 ibu lah yang menjadi tumpuan pengasuhan dengan beban domestik yang berlipat, serta beban ganda yang dialami. Situasi tersebut, mempengaruhi kondisi psikologis seorang ibu.
Baca juga: Mayoritas Warga Cemas Selama Pandemi Covid-19, Butuh Layanan Dukungan Psikososial
Beban kerja berlipat ganda dan kekerasan terhadap perempuan saat pandemi Covid-19 juga ditemukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam survei daring tentang Perubahan Dinamika Rumah Tangga dalam Masa Pandemi Covid-19 pada April hingga Mei 2020.
Kerentanan terutama dihadapi oleh perempuan dari keluarga yang berpenghasilan kurang dari Rp 5 juta per bulan, pekerja sektor informal, berusia antara 31- 40 tahun, berstatus menikah, memiliki anak lebih dari 3 orang, dan menetap di 10 provinsi dengan paparan tertinggi Covid-19. Selain terdampak kesehatan fisik dan psikis, sosial dan ekonomi, mereka rentan mengalami KDRT. Bahkan 1 dari 3 reponden melaporkan bahwa bertambahnya pekerjaan RT, membuat dirinya mengalami stres.
Dari survei itu juga diketahui tekanan ekonomi berpotensi terjadi KDRT. Selain kekerasan psikologis dan ekonomi, kekerasan fisik dan seksual meningkat, terutama pada rumah tangga dengan pengeluaran yang bertambah. Kendati demikian, perempuan yang melaporkan kekerasan yang dialaminya tidak sampai 10 persen. Sebagian besar lebih memilih sikap diam atau hanya memberitahukan kepada saudara, teman, atau tetangga.
Gonjangan ekonomi
Gonjangan ekonomi yang dihadapi keluarga selama pandemi Covid-19 juga terlihat dari Hasil Kajian Cepat Wahana Visi Indonesia mengenai Dampak Pandemi Covid-19 pada Anak dan Rumah Tangga pada bulan Mei 2020 lalu. Kajian tersebut menemukan 9 dari 10 RT mengakui sumber pendapatannya terdampak akibat Covid-19. Bahkan, 70 persen dari 900 RT yang menjadi responden terdampak parah.
Sumber pendapatan yang paling terdampak, untuk wilayah pedesaan adalah pertanian/peternakan untuk wilayah pedesaan dan untuk wilayah perkotaan adalah karyawan dengan gaji tetap dan pekerja harian. Sebagian besar orangtua dengan pendidikan rendah memiliki kesulitan saat mendampingi anak-anak belajar dari rumah. Sejumlah anak merasa mengalami kekerasan verbal (61,5 persen) dan kekerasan fisik (11,3 persen).
“Orangtua dan anak sama-sama terisolir dan beraktivitas dalam kondisi tidak ideal. Tidak hanya menimbulkan tekanan pada anak. Tidak semua orangtua memiliki kapasitas mengajar untuk materi pelajaran serta memiliki waktu dan cukup kesabaran selama proses belajar bersama anak,” ujar Ketua Tim Pendidikan WVI Mega Indrawati, Selasa (15/9)
Baca juga: Hadapi Beban Psikologis Hubungi Layanan Psikososial Kemensos
Situasi dan kondisi tersebut berpotensi menempatkan orangtua ke dalam kondisi rawan secara sosial dan emosional, sehingga dukungan terhadap orang tua terutama layanan psikososial sangat penting agar mereka mampu menghadapi tekanan emosi di saat pandemi.
Diena Haryana, Psikolog dari Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa) mengungkapkan pandemi memberikan dampak besar bagi semua orang dalam keluarga. Selama pandemi dia menerima keluhan sejumlah orangtua tentang kondisi anak-anak yang trauma selama pandemi. Begitu juga dengan orangtua yang juga dibayangi ketakutan.
Dia juga menggambarkan bagaimana situasi dan kondisi berat yang dihadapi istri atau ibu yang harus berhadapan dengan berbagai dinamika, saat semua berada di rumah.
“Bayangkan kalau seluruh peran di rumah harus dilakukan oleh ibu, mulai urus anak, urus rumah, dan urus suami juga. Siang dan malam. Pertanyaannya, apakah cukup dukungan untuk ibu. Misalnya ketika lelah, adakah waktu cukup untuk istirahat,” ujar Diena.
Diena menggambarkan tekanan berat yang dihadapi seorang perempuan di masa pandemi, bisa berdampak besar pada situasi psikologisnya, emosi menguasai dirinya dan bisa kehilangan nalar. “Kayak orang di satu ruangan yang tidak bisa keluar, padahal sudah sesak sekali. Untuk bisa menjalankan fungsi kehidupannya, dia perlu terkoneksi baik dengan lingkungan sekitarnya,” katanya.
Padahal, dalam situasi yang seperti itu, setidaknya seorang ibu memiliki empat kebutuhan (needs) yakni kebutuhan mental, fisik, sosial, dan spritual. Beban kerja yang berlipat ganda di masa pandemi membuat ibu membutuhkan dukungan, baik istirahat, maupun waktu untuk berbagi dengan orang lain. Kesadaran dari suami untuk tidak membebani istri juga menjadi penting.
Ketika kita disapa, situasinya akan berbeda. Kita tidak akan merasa tidak sendiri menghadapi kondisi saat ini. (Diena Haryana)
“Saat ini semua harus saling mendukung. Ketika kita disapa, situasinya akan berbeda. Kita tidak akan merasa tidak sendiri menghadapi kondisi saat ini. Orang yang sudah sumpek di rumah, kalau disapa seperti membangun harapan baru,” katanya.
Sebab, dukungan satu sama lain, akan melahirkan kekuatan bagi setiap keluarga, untuk bertahan dan melewati krisis saat ini.