Dukungan Psikososial Orangtua Cegah Anak Jadi Korban Kekerasan
Pembelajaran jarak jauh di masa pandemi Covid-19 membuat orangtua harus bertanggung jawab atas pendidikan anaknya selama di rumah. Padahal, di sisi lain, orangtua harus berjuang mencari nafkah.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR/MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 berdampak besar bagi masyarakat, terutama bagi sejumlah keluarga dengan anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah. Dukungan psikososial bagi keluarga (orangtua) dalam menghadapi situasi krisis saat ini sangat penting agar anak-anak tidak menjadi korban kekerasan.
Sejumlah kekerasan yang menimpa anak tersebut diduga karena tekanan sosial dan ekonomi yang berat yang dihadapi keluarga-keluarga saat pandemi. Terungkapnya kasus kematian seorang anak berusia delapan tahun di Larangan, Tangerang, yang diduga mengalami kekerasan dari orangtua pada saat anak belajar dari rumah, mengundang keprihatinan berbagai kalangan.
Hingga Rabu (16/9/2020), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terus berkoordinasi dengan kepolisian, menyusul laporan temuan jasad seorang anak di tempat pemakaman umum di Gunung Kendeng, Desa Cipalabuh, Kecamatan Cijaku, Kabupaten Lebak, Banten, Sabtu (12/9/2020).
”Kami sangat prihatin atas kejadian tersebut. Kasus ini terus kami pantau, setelah kami mendapatkan laporan penanganan kasus tersebut dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Lebak,” ujar Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar.
Menurut Nahar, informasi didapat dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lebak tentang kasus tersebut sejak Senin (14/9/2020). Nahar juga meminta kepada Dinas PPPA Kabupaten Lebak untuk melakukan pendampingan dan melakukan asesmen psikologis terhadap kedua orangtua korban guna mengetahui latar belakang kenapa peristiwa seperti itu bisa terjadi.
Dari informasi yang diperoleh P2TP2A Lebak, kasus tersebut diketahui saat warga di sekitar TPU Gunung Kendeng menemukan kuburan baru yang mencurigakan karena tanpa nisan. Setelah dilakukan penggalian, ternyata ada mayat anak perempuan sekitar yang dikubur dengan berpakaian lengkap.
Belakangan, mayat tersebut diketahui adalah KS (8), anak dari pasangan IS (27) dan LH (26) yang saat ini mengontrak rumah di Pejompongan, Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pasangan tersebut sebelumnya mengontrak rumah di daerah Tangerang. Informasi sementara, KS yang memiliki saudara kembar diduga menjadi korban kekerasan dari ibunya pada 26 Agustus saat mereka masih menempati kontrakan di Tangerang.
Sejauh ini, informasi yang diperoleh, korban yang masih duduk di kelas I sekolah dasar meninggal setelah sebelumnya dipukul ibunya dengan tangan di bagian belakang leher, kemudian ibunya mendorong ke lantai dan kepalanya terluka sehingga meninggal. Orangtuanya kemudian membawa korban ke TPU Gunung Kendeng dan menguburkannya diam-diam, setelah meminjam cangkul dari warga sekitar TPU. Kasus tersebut saat ini ditangani Kepolisian Resor Lebak. Ada dugaan, korban mengalami kekerasan fisik saat sedang belajar di rumah.
Kasus ini menjadi pengingat bagi seluruh orangtua khususnya dan penyelenggara pendidikan umumnya, untuk mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak selama mereka menjalani proses belajar dari rumah. (Rita Pranawati)
”Kasus ini menjadi pengingat bagi seluruh orangtua khususnya dan penyelenggara pendidikan umumnya, untuk mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak selama mereka menjalani proses belajar dari rumah,” ujar Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati yang menduga kedua orangtua korban menjalani perkawinan usia anak.
Sementara itu, anak-anak mengalami kebosanan yang luar biasa selama pandemi Covid-19 sehingga perlu pendampingan orangtua agar dapat menjalani proses pendidikan dan tumbuh kembangnya dengan baik. ”Dalam situasi pandemi, anak masih beradaptasi untuk mengerti bahwa sekolahnya sudah berganti, teman-temannya berganti, juga gurunya. Jika mengalami kesulitan, sebaiknya orangtua berkoordinasi dan berkomunikasi dengan guru agar anak tidak menjadi korban,” katanya.
Perlu perhatian serius
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menilai kasus yang menimpa KS menunjukkan bahwa metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) banyak memberikan dampak negatif dan membutuhkan penanganan lebih serius dari pemangku kepentingan terkait. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta Dinas Pendidikan (Disdik) di seluruh Indonesia diminta memantau pelaksanaan PJJ karena banyaknya kendala yang bisa memberikan tekanan psikis terhadap siswa, orangtua siswa, dan para guru.
”Kasus pembunuhan anak oleh seorang ibu yang kesal akibat anak kesulitan mengikuti PJJ harus menjadi peringatan keras bagi kita semua,” ujar Syaiful Huda yang menilai selain kendala PJJ, kondisi sosial-ekonomi juga memengaruhi kehidupan keluarga.
Ketua Tim Perlindungan Anak Wahana Visi Indonesia (WVI) Emmy Lucy Smith, Selasa (15/9/2020), mengatakan, peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa kekerasan anak nyata terjadi dan semakin meningkat di masa pandemi Covid-19. ”Peristiwa ini semestinya dapat dijadikan momentum bagi kita semua, baik orangtua, sekolah, maupun pemerintah untuk lebih memberikan perhatian pada upaya-upaya perlindungan anak di masa pandemi Covid-19 ini,” kata Emmy.
Orangtua memiliki peran lebih banyak dalam mendampingi anak belajar. Namun, tugas mendidik, mengasuh, dan mendampingi anak bukan hanya menjadi urusan ibu saja, melainkan juga ayah. Pihak sekolah perlu mendukung orangtua untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orangtua agar dapat mendampingi anak belajar tanpa kekerasan.