Cegah Perkawinan Anak, Hadirkan Kegiatan Kreatif untuk Anak
Situasi pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan berakhirnya meningkatkan risiko perkawinan anak. Salah satu cara mencegah perkawinan anak adalah kreativitas untuk menciptakan hal-hal produktif bagi anak.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
Masa pandemi Covid-19 yang memaksa semua keluarga diam di rumah selama hampir tujuh bulan meningkatkan risiko terjadi perkawinan anak. Waktu belajar amat singkat membuka peluang bagi anak-anak beraktivitas di luar rumah tanpa pengawasan orangtua sehingga sejumlah anak terlibat kegiatan negatif, bahkan pergaulan bebas, yang berujung pada perkawinan anak.
Menurunnya pendapatan keluarga di masa pandemi Covid-19 juga membuat sebagian keluarga kesulitan ekonomi. Sejumlah anak terancam berhenti sekolah karena harus bekerja membantu keluarga dan beberapa keluarga menikahkan anak perempuannya demi mengurangi beban ekonomi. Kegiatan kreatif perlu dilakukan untuk mengisi waktu anak selama berada di rumah.
Hal ini mengemuka dalam seminar daring Perkawinan Anak di Masa Pandemi Covid-19 yang diselenggarakan Sekretariat Jaringan-Antar-Jaringan OMS-LSM (Sejajar) di Jakarta, Selasa (15/9/2020).
Acara tersebut menghadirkan beberapa pembicara, yakni Rohika Kurniadi Sari, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan Keluarga dan Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA); Ai Maryati Solihah, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI); Nurlaela Lamasitudju dari Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM) Sulawesi Tengah; dan Ferni Prayitno, pegiat Youth Coalition for Girls.
Meskipun tidak ada angka pasti perkawinan anak di masa pandemi, menurut Rohika, pihaknya menerima banyak informasi mengenai perkawinan anak di bsejumlah daerah. Karena itu, selain keluarga yang menjadi benteng utama melindungi anak-anak, dibutuhkan juga kolaborasi dan kerja sama semua pemangku kebijakan, terutama di tingkat desa, untuk mengawal dan mengawasi anak-anak di masa pandemi.
”Ada beberapa informasi bahwa saat ini dengan pembelajaran jarak jauh, banyak anak-anak yang tadinya belajar di sekolah delapan jam menjadi dua jam. Mereka tidak dikawal sehingga menghabiskan waktu dengan hal-hal tidak kondusif, pacaran, terjerumus, dan akhirnya keluarga menikahkan anaknya,” kata Rohika.
Karena itu, perlu dipikirkan bagaimana mengisi waktu-waktu luang anak-anak saat tidak bersekolah. Penguatan keluarga menjadi penting untuk membangun kelekatan dengan anak-anak.
”Pembelajaran jarak jauh membutuhkan kajian. Satuan pendidikan diharapkan mempunyai cara agar peserta didik mampu mengisi kekosongan yang enam jam ini karena banyak yang terjerumus hal-hal kurang produktif,” tambah Rohika.
Pemerintah desa diharapkan ikut menciptakan aktivitas yang bisa mengisi waktu kosong anak-anak sekolah ketika berada di rumah dengan memperhatikan protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru.
Peran anak muda
Ferni Prayitno menuturkan, Youth Coalition for Girls aktif berkampanye stop perkawinan anak melalui berbagai cara, terutama melalui media sosial. Misalnya, menyebarkan hastag #IndonesiaTanpaPerkawinanAnak. Selain itu, menjual kaus bertulisan” Indonesia Tanpa Perkawinan Anak”.
Pembelajaran jarak jauh membutuhkan kajian. Satuan pendidikan diharapkan mempunyai cara agar peserta didik mampu mengisi kekosongan yang enam jam.
”Selama masa pandemi, kami memanfaatkan platform Instagram untuk diskusi. Terasa sekali perbedaan belajar di rumah saat pandemi. Dari diskusi tersebut kita ketahui anak perempuan terdampak. Selain sulit akses pendidikan, mereka juga mendapat peran ganda di rumah,” katanya.
Youth Coalition For Girls pada Juni-Juli 2020 juga melakukan survei perkawinan anak dengan 169 responden dan menemukan beberapa kasus perkawinan anak terjadi karena faktor ekonomi dan pendidikan. Ketika pendidikan terhambat, anak terancam putus sekolah dan menikah di usia anak. ”Banyak anak muda belum tahu dampak perkawinan anak. Perlu sosialisasi dan pendidikan seksualitas,” ujarnya.
Ai Maryati mengingatkan ancaman yang dihadapi anak-anak di masa pandemi, yakni menjadi korban kekerasan seksual dan terpapar pornografi karena mengakses internet tanpa pengawasan orangtua. ”Perkawinan anak menjadi ancaman di masa pandemi Covid-19. Karena mengalami kebosanan di masa pandemi, anak-anak memilih berselancar di dunia maya,” kata Ai, yang memaparkan survei KPAI bahwa anak-anak di masa pembelajaran jarak jauh (PJJ) merasa tidak senang.
Sementara itu, Nurlaela mengungkapkan, anak-anak perempuan di Sulteng rentan mengalami perkawinan anak. Setelah bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi terjadi, angka perkawinan anak di Sulteng sudah tinggi, apalagi saat masa pandemi Covid-19. Budaya juga masih sangat memengaruhi terjadinya perkawinan anak.