Orangtua, Kunci Utama Pengasuhan Anak Berkebutuhan Khusus di Masa Pandemi
Pengasuhan anak berkebutuhan khusus yang berbasis keluarga menjadi faktor sangat penting, terutama di masa pandemi Covid-19. Pengasuhan menjadi basis tumbuh kembang anak.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Keluarga dan orangtua adalah kekuatan utama dalam pengasuhan dan perlindungan anak penyandang disabilitas, terutama anak berkebutuhan khusus atau ABK. Masa pandemi Covid-19 menjadi ujian bagi sejumlah orangtua ABK. Ketika sekolah, panti, dan rumah sakit/klinik ditutup sementara pada masa pandemi, orangtua harus berperan penting menggantikan posisi guru dan para terapis.
Untuk mengoptimalkan peran orangtua dalam pengasuhan anak penyandang disabilitas, terutama ABK, jauh sebelum pandemi Covid-19 terjadi, sejumlah orangtua ABK yang tergabung dalam Forum Komunikasi Keluarga Anak dengan Disabilitas (FKKADD) Kota Bandung, Jawa Barat, sudah menyiapkan diri.
”Kami rutin melakukan konseling kepada para orangtua anggota FKKADD agar mereka mandiri dalam mengasuh anaknya. Misalnya, ketika mengantar anaknya ke klinik atau rumah sakit, orangtua kami minta untuk mempelajari bagaimana terapi pada anaknya. Bahkan, minta pekerjaan rumah, sehingga di rumah bisa praktikkan pada anak,” ujar Nur Hasanah, Ketua FKKADD Kota Bandung, Senin (14/9/2020).
Karena itu, saat pandemi berlangsung dan anak penyandang disabilitas dan ABK harus berada di rumah, orangtuanya sudah mandiri dan memahami bagaimana mengasuh anaknya, terutama terapi tanpa didampingi terapis.
Nur mengungkapkan, FKKADD yang dibentuk sejak 2008 atas inisiasi Kementerian Sosial, awalnya hanya terdiri tiga keluarga yang memiliki anak penyandang disabilitas. Namun, sekarang FKKADD memiliki anggota lebih dari 1.700 keluarga. Sebelum pandemi, setiap pekan FKKADD rutin bertemu dalam acara Temu dan Penguatan Anak Keluarga (Tepak).
”Di forum ini, kami, orangtua, saling menguatkan. Sebab, sebenarnya anak-anak penyandang disabilitas itu pasti kuat. Justru yang harus dikuatkan adalah orangtuanya. Kekuatan anak penyandang disabilitas justru pada keluarga, pada orangtuanya. Para orangtua merasa tidak sendiri kalau ada dukungan dari sesama orangtua yang memiliki anak penyandang disabilitas,” kata Nur yang memiliki anak disabilitas dengan cerebral palsy (CP).
Selama ini, banyak orangtua tidak siap ketika memiliki anak-anak penyandang disabilitas, apalagi berkebutuhan khusus. Karena itulah, FKKADD melakukan penguatan pada orangtua ABK agar mereka menyadari bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat atau keluarga berdaya, keluarga ABK juga mempunyai kemampuan dalam pola asuk anak ABK, serta mereka bisa membangun rasa percaya diri.
Sebab, banyak orangtua ABK tidak memiliki rasa percaya diri ketika ada anaknya adalah ABK. Bahkan, beberapa orangtua mengurung anaknya karena merasa malu dan perasaan lainnya. Namun, ketika orangtua ABK sudah dikuatkan, pengasuhan terhadap anaknya akan berjalan optimal.
Situasi pandemi Covid-19, menurut Nur, menjadi tantangan bagi orang ABK karena ada banyak perubahan perilaku dari ABK. ”Yang banyak dikeluhkan perubahan perilaku anak yang tadinya tidak suka emosi sekarang muncul, mungkin karena ada rasa bosan di rumah terus. Sementara dari kesehatan ABK juga rentan pada masa pandemi. Maka, peran orangtua sangat besar dalam mengasuh anak-anaknya,” ujar Nur.
Bangun kelekatan dan keterikatan
Tata Sudrajat, Deputy Chief of Program Impact and Polucy, Save the Children Indonesia (SCI), mengungkapkan, pengasuhan ABK yang berbasis keluarga menjadi faktor yang sangat penting, terutama di masa pandemi Covid-19, karena pengasuhan adalah basis tumbuh kembang anak. Sebab, otak anak ABK berkembang karena basis interaksi dengan orangtua. Jadi, semakin dekat interaksi orangtua dan anak, itu semakin rimbun otaknya dan berkembang.
Namun, setiap keluarga menghadapi tantangan tersendiri untuk menunjukkan perannya dalam pengasuhan anak. Ada yang berhasil dengan berusaha keras melalui keterikatan dan kelekatan.
Kuncinya, adalah setiap keluarga mau dan mampu menghadapi tantangan itu. Apa pun keadaannya kalau kemauannya besar, pasti tertangani. Namun, kalau kemauannya rendah, meski kemampuan tinggi, bisa jadi masalah.
Masalah utama ABK ada di penerimaan. Sepanjang orangtua tidak menerima keadaan anaknya penyandang disabilitas, sepanjang itu pula terjadi penelantaran.
”Masalah utama ABK ada di penerimaan. Sepanjang orangtua tidak menerima keadaan anaknya penyandang disabilitas, sepanjang itu pula terjadi penelantaran, pengabaian, pengurungan, isolasi, dan sebagainya. Namun. sekali orangtua bisa menerima, hal itu bisa membantu anak untuk mengalami tumbuh kembang yang baik,” ujar Tata.
Terkait upaya pemeratan hak terhadap ABK, menurut Tata, persoalannya berlapis. Misalnya terapi untuk ABK yang membutuhkan waktu bertahun-tahun dan hal itu tidak mudah bagi keluarga yang kondisi ekonominya tidak begitu baik, apalagi di masa pandemi.
Untuk sekali terapi minimal mengeluarkan biaya Rp 75.000, belum ongkos transportasi dan biaya lain. Jika dilakukan berkali-kali apalagi bertahun-tahun, itu bukan hal yang mudah.