Pandemi Covid-19 melahirkan banyak kendala bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus. Namun, sekolah dan siswa tidak mau menyerah. Mereka mencoba berbagai macam cara untuk belajar.
Oleh
Tatang Mulyana Sinaga/Haris Firdaus/Mediana
·3 menit baca
Awal Maret 2020, Pelaksana Tugas Kepala Sekolah Sekolah Luar Biasa Negeri A Pajajaran, Bandung, Jawa Barat, Wawan bersama guru di sekolah itu dipusingkan dengan penyesuaian sistem belajar akibat pandemi Covid-19. Pembelajaran tatap muka berganti menjadi pembelajaran jarak jauh daring.
Berbagai aplikasi, di antaranya Zoom, Cisco Webex, dan Google Meet, dan aplikasi pesan lintas platform seperti Whatsapp, dicoba untuk mendukung pembelajaran jarak jauh. Akan tetapi, hasilnya kurang optimal. Aplikasi-aplikasi tersebut memang tidak dirancang khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus, terutama penyandang tunanetra.
”Kurang adaptif bagi siswa berkebutuhan khusus. Untuk siswa tunanetra, visual tidak perlu. Jadi, kami lebih mementingkan kualitas audio. Selain itu, aplikasinya harus gampang digunakan,” ujar Wawan, Sabtu (12/9/2020).
Pertengahan April, Wawan bersama sejumlah guru berdiskusi dengan beberapa siswa untuk mencari aplikasi yang lebih ramah. Dwi Cito Laksono, siswa kelas XI Teknik Informatika dan Komputer di sekolah itu, mengusulkan aplikasi konferensi TeamTalk.
”Ternyata suara di TeamTalk memang jernih. Ini cocok untuk siswa kami yang lebih mengandalkan pendengaran,” ujarnya.
Sekitar 70 persen dari 78 siswa di SLB Negeri A Pajajaran akhirnya menggunakan aplikasi itu. Sementara 30 persen lainnya belajar melalui aplikasi Whatsapp dan kunjungan guru ke rumah.
Kunjungan ke rumah
Kerja keras selama pandemi juga mesti dilakoni para guru SLB Negeri 1 Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain menggelar pembelajaran jarak jauh (PJJ) daring, sebagian guru rutin menyambangi rumah siswa-siswanya.
Kepala SLB Negeri 1 Bantul Sri Muji Rahayu menuturkan, kunjungan ke rumah siswa bukan semata-mata untuk mengajar, melainkan juga menyapa, memberi semangat dan memotivasi kepada siswa agar tetap bahagia dan sehat. Selama pandemi Covid-19, salah satu hal yang sulit tergantikan adalah komunikasi dari hati ke hati antara guru dan para siswa berkebutuhan khusus. Komunikasi yang dekat semacam itu sulit terjadi apabila guru dan siswa tidak bertemu secara langsung.
”Kalau tatap muka, bisa tergantikan dengan tatap layar. Tapi, ’tatap’ hati itu yang susah tergantikan. Anak-anak berkebutuhan khusus ini kalau ketemu guru dan teman-temannya senang banget,” katanya.
Praktisi pendidikan inklusi, Florentina Atik, mengatakan, pembelajaran di tengah pandemi semestinya menekankan pendekatan inklusif. Pendekatan inklusif artinya melihat kebutuhan dan kondisi anak.
Sebagai contoh, anak penyandang tunarungu dan tidak memiliki hambatan intelektual bisa diikutsertakan PJJ daring. Sementara untuk anak berkebutuhan khusus dengan hambatan intelektual, guru dan orangtua cukup memberikan pembelajaran seputar kecakapan hidup sehari-sehari secara rutin. Lalu untuk anak autis yang tidak mempunyai gangguan penglihatan dan menyukai teknologi informasi, orangtua dan guru bisa mengoptimalkan belajarnya melalui platform pembelajaran daring.
Selama PJJ, akibat pandemi Covid-19, para guru pun harus memahami bahwa aktivitas pelayanannya bisa berlangsung selama 24 jam. Mereka harus bersedia merespons hasil belajar siswa dan turut menguatkan orangtua kapan saja.
”Hal yang harus diingat adalah anak tidak boleh stres,” kata Atik.