Merengkuh Cinta Tanpa Syarat
Ketulusan cinta memberi energi yang tiada habis. Di tengah keterbatasan kemampuan ekonomi, orangtua dari anak berkebutuhan khusus terus berjuang untuk mengotipmalkan tumbuh kembang buah hati mereka.
Kehidupan anak-anak berkebutuhan khusus di masa pandemi Covid-19 makin berat. Meski demikian, kesabaran dan cinta yang melimpah dari orangtua membuat mereka mampu bertahan menghadapi situasi krisis kesehatan ini.
Namun, stigma di masyarakat menghambat upaya mereka untuk mandiri. ”Saya pernah mendapati anak saya disebut cacat. Perasaan saya hancur. Bukan cacat, tetapi cara hidup mereka berbeda,” ujar Liana, ibu rumah tangga di Kalimantan Tengah, Jumat (11/9/2020).
Setiap hari Liana berjualan aneka kue yang dijual di toko online dan media sosial. Suaminya bekerja sebagai guru les. Keduanya memiliki empat anak dan dua orang di antaranya kembar dan berkebutuhan khusus.
Gamael, nama salah satu anak kembar yang sering Liana sebut dalam ceritanya. Gamael lahir prematur dengan berat sekitar 1 kilogram. Dalam ingatan Liana, saat itu, Gamael terlihat seperti tengkorak biru karena sakit.
”Tuhan masih memberinya hidup sampai sekarang. Namun, anak kembar saya itu akhirnya mengalami keterlambatan berbicara, artikulasi pembicaraannya tidak jelas dan susah melangkah,” tuturnya.
Saat ini, anak pertama dan kedua dari Lina sudah duduk di bangku sekolah dasar. Sementara anak kembar yang memiliki kebutuhan khusus ini semestinya sudah duduk di bangku pendidikan anak usia dini.
Baca juga : Anak Berkebutuhan Khusus Makin Rentan
Namun, Liana dan suami bingung memilih satuan pendidikan yang mau menerima dan membimbing anak mereka. Sementara di Kalimantan Tengah, fasilitas terapi dan tenaga kesehatan yang mampu menangani anak berkebutuhan khusus (ABK) tak selengkap di DKI Jakarta ataupun Jawa Timur. Liana dan keluarga sempat tinggal dan berkunjung di dua provinsi ini.
Di kota tempat tinggalnya sekarang, hanya ada dua rumah sakit (RS) besar. Salah satunya RS Umum Daerah yang bisa menerima pasien jaminan sosial kesehatan. Rumah sakit lainnya berstatus swasta dengan fasilitas lengkap untuk anak berkebutuhan khusus, tetapi biaya aksesnya mahal. Beberapa kali, Liana dan keluarga dibantu oleh kelompok umat di gereja.
”Gamael pernah muntah darah, keram perut, lalu kejang-kejang dalam sebulan. Saya sudah jungkir balik, menangis, tetapi saya selalu percaya Tuhan punya rencana. Saya tetap harus kuat dalam perjuangan ini,” ujarnya.
Masa pembelajaran jarak jauh (PJJ) membuat Liana dan suami harus pandai mengelola keuangan. Peserta didik les yang dikelola suami menurun. Padahal, selain biaya pengobatan, mereka harus mengeluarkan dana untuk kebutuhan PJJ. Keduanya bahkan mengambil uang tabungan agar bisa membelikan gawai bagi anak pertama dan kedua.
”Ada orang yang mengejek sampai kapan keluarga kami sanggup. Kami berusaha menutup telinga dan tidak mendengarkan komentar negatif orang-orang. Ini pesan saya kepada orangtua anak berkebutuhan khusus lainnya,” imbuh Liana.
Baca juga : Semoga Anak Kami Bisa Terapi Lagi...
Perjuangan mendampingi ABK juga terjadi pada Ifa, orangtua dari Zacky. Saat dihubungi, Rabu (9/9/2020), Ifa menceritakan baru seminggu bekerja di Yayasan Heesu ”Cahaya Cinta” yang terletak di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Yayasan ini menampung, merawat, dan mengupayakan rehabilitasi bagi anak-anak berkebutuhan khusus, di antaranya cerebral palsy atau gangguan gerakan, otot, ataupun postur akibat cedera atau perkembangan abnormal di otak.
Setiap hari Senin-Jumat dari pagi sampai sore, Ifa membawa Zacky ikut bekerja di yayasan itu. Zacky merupakan anak berkebutuhan khusus kategori cerebral palsy, autisma, dan menderita penyakit epilepsi. Saat ini, Zacky berusia 12 tahun.
Putus sekolah
Zacky sebelumnya bersekolah di sekolah luar biasa, tetapi dia tidak melanjutkan sekolah sejak pandemi Covid-19. Meski demikian, hubungan Ifa dengan guru dan terapis di sekolah tetap terjalin. ”Saat ini, saya hidup berdua dengan Zacky. Rumah kami pun masih kontrak,” kata Ifa.
Ada orang yang mengejek sampai kapan keluarga kami sanggup. Kami berusaha menutup telinga dan tidak mendengarkan komentar negatif orang-orang.
Sejak 2015, dia dan Zacky merantau ke Jawa Barat. Daerah asalnya, yaitu Lingga, Kepulauan Riau. Ifa pernah bekerja sebagai guru taman kanak-kanak dan tinggal di rumah saudaranya di Depok, Jawa Barat. Lalu, kini hidup mandiri berdua di Bogor.
Ifa tidak berani meninggalkan Zacky sendiri dan selalu ada dalam pengawasannya. Maka, saat dia bekerja di yayasan pun, Zacky diajak. Beruntung Zacky bisa memiliki teman untuk belajar bersama anak-anak lainnya di panti itu. Sore hari sampai malam, setelah pulang dari bekerja, dia dan Zacky di rumah saja. Bahkan, akhir pekan pun, keduanya beraktivitas di rumah.
Baca juga : Perkuat Kapasitas Orangtua
Kondisi pandemi Covid-19 membuat Ifa kesulitan membawa Zacky kontrol rutin ke dokter. Ifa hanya bisa berkomunikasi dengan dokter melalui pesan singkat. Ifa selalu menekankan kepada dirinya untuk pantang menyerah dan tidak melupakan satu bentuk terapi untuk Zacky. Jika dia lupa, penyembuhan Zacky harus mengulang dari awal.
Kalaupun ada obat, Ifa mengandalkan berbasis resep lama dan menebusnya ke apotek. Ada satu jenis obat yang tidak bisa dia tebus karena penjelasan nama di resep lama memudar. Untuk urusan terapi pun, Ifa memilih melakukannya sendiri dengan bekal informasi dari terapis kenalan atau komunitas.
”Dengan kondisi Zacky, saya takut membawanya ke rumah sakit. Ini pandemi Covid-19. Saya berpikir macam-macam apabila Zacky harus dirawat di rumah sakit,” imbuhnya.
Menerima dan ikhlas
Sementara bagi Andi Nur Fitri, karyawan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia, dan tinggal di Makassar, membesarkan anak berkebutuhan khusus memerlukan keikhlasan. Saat dihubungi Kamis (10/9/2020), dia menyebut hal pertama yang harus dipunyai orangtua adalah sikap menerima dan ikhlas.
Andi memiliki dua anak berkebutuhan khusus. Anak pertama, Nayla panggilannya, kini berusia sembilan tahun, memiliki kebutuhan khusus down syndrom tipe mild. Sementara anak kedua, Daffa panggilannya, saat ini berumur tujuh tahun dan mempunyai kecerdasan intelektual tipe superior.
Perjuangan Andi dimulai sejak kedua anaknya lahir. Untuk Nayla, misalnya, dia dan suami harus sampai mengikutkan dia cek kromosom dan organ tubuh lainnya setelah diagnosis awal keluar.
Bersama suami yang berprofesi sebagai penulis, Andi berbagi peran. Keduanya belajar secara otodidak seluk-beluk membesarkan dan mendampingi tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus. Tidak ada asisten rumah tangga di rumah mereka.
”Bukan perjalanan mulus-mulus saja. Nayla butuh terapi rutin down syndrom, sedangkan Daffa punya kebutuhan berbeda lagi. Bentuk pendampingan ke mereka berbeda, tetapi cinta saya kepada keduanya sama,” ujar Andi.
Nayla dan Daffa bersekolah di sekolah reguler berlabel inklusi. Andi merasa anak berkebutuhan khusus tetap harus memperoleh pendidikan berkualitas. Di Makassar, dia merasa kualitas sekolah inklusi lebih baik dibandingkan sekolah luar biasa.
Namun, dia menyayangkan, belum ada sekolah yang benar-benar sempurna pelayanannya bagi anak berkebutuhan khusus. Untuk Daffa, misalnya, kecerdasan intelektual superior yang dimilikinya seharusnya membuat dia bisa mengikuti kelas akselerasi. Namun, fasilitas sekolah tidak mengakomodasi.
Selama masa pandemi yang mengharuskan PJJ, Andi dan suami juga harus bekerja dari rumah. Itu membuat keduanya harus lebih piawai berbagi peran.
”Sejauh ini, Nayla termasuk penurut terhadap guru. Jadi, ketika PJJ metode daring, dia bisa mengikuti pembelajaran. Saya dan suami bergantian mendampingi,” imbuhnya.
Situasi pandemi saat ini, tak membuat Andi dan sejumlah orangtua lainnya patah semangat dalam mendampingi tumbuh kembang anak mereka yang berkebutuhan khusus. Dengan kekuatan cinta yang tanpa syarat, mereka menerima dan melindungi sang buah hati.