"Akrobat" Para Guru Mengajar di Masa Pandemi
Presiden Jokowi berdialog dengan para guru untuk mengetahui proses pembelajaran jarak jauh yang selama ini dilakukan dan berbagai kendala yang dihadapi. Keterbatasan akses terhadap gawai dan internet menjadi kendala umum
Dalam suasana santai, Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, berdialog dengan seorang guru melalui panggilan video di telepon selular. Presiden Jokowi bertanya ringan tentang kondisi kegiatan pembelajaran selama masa pandemi Covid-19.
Percakapan tersebut bisa disaksikan pada video rekaman yang diunggah Sekretariat Presiden di Youtube, Jumat (11/09/2020) sore. Dalam video berdurasi 4 menit 10 detik itu, Presiden berbincang-bincang dengan Rika Susi Waty, guru SMP Negeri 7 Padang, Sumatera Barat.
”Ibu kan guru SMP negeri di Kota Padang. Saya ingin bertanya tentang beberapa hal. Yang pertama, ini kan kita sudah enam bulan kegiatan belajar anak-anak ini lewat cara belajar online. Sampai sekarang. Bagaimana menurut Ibu?,” tanya Presiden mengawali dialog setelah salam pembuka kepada Rika.
Menjawab pertanyaan Presiden, Rika yang baru tahu saat itu jika ia ditelpon Presiden Jokowi kemudian menjelaskan, kegiatan pendidikan tetap berlangsung dengan model Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Tantangannya adalah bahwa guru tidak bisa memantau kemampuan anak dalam menyerap materi.
Tantangan lain adalah bahwa tidak semua anak memiliki akses telepon selular sebagai alat penunjang PJJ.
Tantangan lain adalah bahwa tidak semua anak memiliki akses telepon selular sebagai alat penunjang PJJ. Namun, jumlahnya hanya ada dua orang sehingga sekolah bisa memberikan akses komputer di sekolah kepada mereka setiap hari. Kepada siswa yang kesulitan memahami materi, sekolah memberikan jadwal khusus setiap Jumat.
”Untuk memotivasi anak, saya video call atau voice,” kata Rika.
Saat diminta saran oleh Presiden Jokowi, guru matematika itu melontarkan wacana pembukaan kembali kegiatan pembelajaran tatap muka dengan protokol kesehatan yang ketat. Tentu ini dilakukan jika situasinya memungkinkan.
”Kami pinginnya bisa tatap muka langsung. Seandainya memungkinkan, mungkin kita bagi per shift. Masuknya ndak banyak-banyak, kalau itu memungkinkan. Karena memang kasihan sekali anak-anak. Saya kadang menangis. Apalagi anak-anak yang orang tuanya tidak mampu itu. Kadang mereka punya android tetapi nggak punya paket data,” kata Rika.
”Ya memang alangkah baiknya kalau tatap muka. Tapi masa pandemi seperti ini memang risikonya kalau anak terpapar Covid, ya semuanya menjadi salah. Bu Rika tetap semangat. Tetap semangat. Dan salam semua untuk anak-anak,” jawab Presiden sekaligus menutup dialog.
Persoalan dasarnya adalah bahwa Covid-19 memaksa pembelajaran tidak bisa dilakukan dengan model tatap muka sebagaimana berlangsung selama ini. Sebagai gantinya, pembelajaran harus 100 persen menerapkan sistem PJJ yang sama sekali baru, yakni melalui sistem daring.
Covid-19 memang menerjang semua bidang kehidupan di masyarakat. Tak terkecuali pendidikan, yang termasuk bidang yang paling terimbas. Persoalan dasarnya adalah bahwa Covid-19 memaksa pembelajaran tidak bisa dilakukan dengan model tatap muka sebagaimana berlangsung selama ini. Sebagai gantinya, pembelajaran harus 100 persen menerapkan sistem PJJ yang sama sekali baru, yakni melalui sistem daring.
Baca juga: Salah Kaprah Pembelajaran Jarak Jauh
Tak ada waktu transisi. Tak ada institusi mana pun yang siap. Semua harus terjun bebas. Ada yang cepat beradaptasi sehingga bisa menerapkan model PJJ pada kadarnya masing-masing. Namun, ada pula yang kesulitan sehingga harus berakrobat mencari modelnya sendiri agar tidak tenggelam.
Variasi ini terjadi karena infrastruktur komunikasi, kesiapan para pemangku kepentingan seperti kementerian-dinas dan sekolah, serta tingkat kesejahteraan penduduk di tiap-tiap daerah berbeda-beda. Semakin maju infrastruktur dan variabel lainnya, adaptasi PJJ lebih cepat dilakukan. Sebaliknya, semakin minim infrastruktur dan variabel lainnya, adaptasi PJJ susah dilakukan sehingga pilihannya, sekali lagi, harus akrobat mencari model sendiri.
Ini misalnya terjadi di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Guru SMP Negeri 3 Sidomulyo, Sugeng Budiyanto, menuturkan, selama enam bulan terakhir, pendidikan di SMP Negeri 3 Sidomulyo dilangsungkan dengan model daring. Model ini dilakukan dengan mengkomunikasikan tugas-tugas melalui aplikasi Whatsapp. Selanjutnya, murid-murid mengumpulkan hasil pekerjaan dengan mengirimkannya langsung kepada guru yang bersangkutan.
Sekolah membentuk Whatsapp Group dalam beberapa kelompok, yakni kelompok murid per kelas dan kelompok murid untuk tiap-tiap mata pelajaran. Sekolah juga membentuk kelompok orang tua murid per kelas guna memudahkan komunikasi dengan orang tua murid
Terkait dengan itu, sekolah membentuk Whatsapp Group dalam beberapa kelompok, yakni kelompok murid per kelas dan kelompok murid untuk tiap-tiap mata pelajaran. Sekolah juga membentuk kelompok orang tua murid per kelas guna memudahkan komunikasi dengan orang tua murid.
Namun, Sugeng mengakui model ini jauh dari ideal. Pembelajaran akhirnya cenderung berorientasi urusan administrasi tugas-tugas saja. Pembelajaran daring melalui aplikasi yang lebih komunikatif seperti Zoom atau webinar misalnya, sejauh ini belum dilakukan. Selain butuh kesiapan sekolah, model ini mensyaratkan ketersediaan telepon selular dan laptop di rumah masing-masing murid. Dan tentu saja butuh ketersediaan data yang tidak sedikit untuk mengakses internet.
Baca juga: Perlu Strategi Baru untuk Pembelajaran Jarak Jauh
Sementara kondisi faktualnya, baru 80 persen murid yang punya akses gawai. Itu pun ada yang harus bergantian dengan saudara di rumah. Kebanyakan, murid punya akses telepon selular tetapi tidak memiliki cukup data guna mengakses internet.
”Solusinya, siswa yang tidak punya akses internet bisa bertanya ke teman sekolah yang rumahnya dekat. Bisa juga datang ke sekolah untuk bertanya karena ada guru yang piket setiap hari,” kata guru bidang seni-budaya itu.
Sekolah kan tidak sekadar guru memberi dan menilai tugas. Tidak sekadar murid mengerjakan dan mengumpulkan tugas. Sekolah tetap perlu ruang komunikasi yang intens antara murid dan guru (Sugeng Budiyanto)
Agar pembelajaran bisa lebih berkualitas, Sugeng berinisiatif untuk menggelar kelas keliling dengan protokol kesehatan ketat. Dari 250 murid kelas 7 sampai 9, ia berencana membagi kelas seni dan budaya di lima lokasi. Sejauh ini ia telah mengkomunikasikan rencana itu pada para kepala desa.
”Sekolah kan tidak sekadar guru memberi dan menilai tugas. Tidak sekadar murid mengerjakan dan mengumpulkan tugas. Sekolah tetap perlu ruang komunikasi yang intens antara murid dan guru. Karena itu, kelas keliling ini saya anggap sebagai jalan tengah. Tentu protokol kesehatan utama dan harus dijalankan dengan ketat,” kata Sugeng.
Akrobat pendidikan
Akrobatik lebih ekstrem dilakukan sekolah-sekolah di daerah dengan tantangan yang lebih berat, yakni daerah dengan akses internet minim dan dengan tingkat kesejahteraan penduduk yang secara umum masih rendah. Hal ini antara lain terjadi di sekolah-sekolah di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagaimana dituturkan Guru SMP Negeri 1 Lewolema Kabupaten Flores Timur, Maksimus Masan Kian.
Banyak daerah di NTT belum terjangkau jaringan internet. Selain itu, masih sangat sedikit murid yang punya akses telepon selular android. ”Di sekolah kami, kurang lebih hanya 10 persen murid yang punya akses telepon selular android,” ujar Masan menceritakan.
Di sekolah kami, kurang lebih hanya 10 persen murid yang punya akses telepon selular android (Maksimus Masan Kian)
Untuk mengatasi persoalan tersebut, sekolah berinisiatif menggelar sekolah keliling. Hal ini telah dilakukan selama enam bulan terakhir. SMP Negeri 1 Lewolema berjarak 15 kilometer dari Kota Larantuka.
”Kami sebenarnya sedang melakukan pelanggaran protokol kesehatan. Karena kami (guru) melakukan kunjungan dari rumah ke rumah, dari ke desa ke desa. Tapi kalau ini tidak dilakukan, pembelajaran terhenti total. Ada 6-8 titik pertemuan. Tempat yang kami gunakan macam-macam. Ada rumah kosong. Ada yang di teras rumah penduduk. Ada yang di bawah pohon jambu mede. Ada yang di bawah pohon asam. Ada yang di halaman kantor desa,” kata Masan.
Baca juga: Pembelajaran Semi Daring untuk Mengatasi Kendala Teknologi
Model ini tidak efektif dan tidak efisien. Dalam hal waktu misalnya, guru-guru harus menempuh perjalanan panjang dan kondisi jalan yang masih buruk sehingga waktu efektif di lokasi menjadi terbatas. Guru juga harus mengeluarkan biaya ekstra untuk transportasi.
Setelah enam bulan berjalan, sekolah dan orang tua murid melakukan evaluasi. Hasilnya disepakati bahwa pembelajaran tatap muka kembali digelar di sekolah dengan sistem bergilir dan disiplin protokol kesehatan. Hal ini telah berlangsung tiga pekan.
Modelnya, setiap tingkatan kelas masuk dua kali dalam seminggu. Artinya, dalam satu hari hanya satu tingkatan kelas yang masuk. Lainnya belajar mandiri di rumah dan mengerjakan tugas.
Total jumlah siswa kelas 7-9 sebanyak 160 murid dengan guru sebanyak 15 orang. Dalam sekolah tatap muka bergilir ini, satu ruang kelas maksimal diisi 12 murid sehingga jaraknya tidak saling berdekatan. Dalam kondisi normal, satu kelas diisi 22-30 murid. Waktu pembelajaran tiga jam, mulai pukul 07.00 sampai dengan pukul 10.00.
”Dengan model ini, tentu materi tidak seperti kurikulum normal. Tetapi paling tidak, materi tersampaikan lebih baik daripada model keliling sebelumnya. Untuk protokol kesehatan, justru sekolah lebih siap. Masker, hand sanitizer, dan tempat cuci tangan berikut sabun tersedia. Tantangannya justru yang di luar sekolah,” kata Masan.
Agar pembelajaran bisa berlangsung dengan baik dalam jangka menengah dan panjang, Masan berharap ada bantuan kelengkapan dari pemerintah untuk menunjang protokol kesehatan di sekolah. Selama ini, pengadaan masker dan sabun cuci tangan mandi berasal dari biaya operasional sekolah yang pada gilirannya akan kurang.
Untuk meminimalisasi risiko penularan di sekolah, Masan meminta pemerintah daerah bersama aparat penegak hukum menegakkan disiplin protokol kesehatan di berbagai tempat, terutama di transportasi umum.
”Kebutuhan belajar siswa agar diprioritaskan. Kalau negara bisa membelikan telepon genggam, satu untuk beberapa orang atau bagaimana. Yang penting bantuan langsung dan konkret. Bantuan pulsa bagus tapi di kami, kebanyakan murid belum punya akses telepon genggam,” kata Masan.
Kebutuhan belajar siswa agar diprioritaskan. Kalau negara bisa membelikan telepon genggam, satu untuk beberapa orang atau bagaimana. Yang penting bantuan langsung dan konkret. Bantuan pulsa bagus tapi di kami, kebanyakan murid belum punya akses telepon genggam (Maksimus Masan Kian)
Pada saat yang sama, pemerintah mesti memastikan penyaluran hak-hak guru berjalan lancar. Untuk tunjangan kepada guru honorer yang selama ini dicairkan tiga bulan sekali sebaiknya dibuat sebulan sekali.
”Selama enam bulan terakhir, tidak ada kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang benar-benar konkret membantu kegiatan pembelajaran di masa pandemi. Saya lihat kebijakannya masih kurang greget,” kata Masan.
Guru Besar Bidang Teknologi Pendidikan dan Komunikasi Pembelajaran Universitas Pendidikan Indonesia, Deni Darmawan, menyatakan, ada lima level untuk memperkuat kredibilitas penyelengaraan PJJ. Pertama adalah regulasi. Hal ini telah dituangkan antara lain melalui Surat Keputusan Bersama Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19.
Kedua adalah kebijakan institusional. Misalnya adalah tentang kemitraan yang harus dijalin sekolah dengan penyedia jaringan internet. Ketiga, mempersiapkan sistem. Keempat, menyediakan konten pembelajaran. Kelima, evaluasi efektivitas semua proses.
”Regulasi sudah ada. Yang lainnya masih perlu diperbaiki dan dipercepat realisasinya. Enam bulan ini belum ideal. Kita baru mulai. Selama satu semester kemarin, yang berjalan adalah kreativitas masing-masing guru dan dosen. Jadi belum ada kooridnasi dan sistem yang baik,” kata Deni.
Untuk itu, Deni mengusulkan sistem pembelajaran digital berbasis komunitas. Idealnya, cakupan wilayahnya adalah kecamatan. Ini misalnya bisa menggunakan infrastruktur komunikasi yang selama ini sudah tersedia dan dimiliki oleh kepolisian sektor, minimarket, atau stasiun radio setempat.
”Infrastruktur harus diinisasi dan difasilitasi oleh pemerintah. Realisasinya harus cepat dilakukan. Bisa pakai polsek, kelurahan, posyandu, puskesmas, dan took-toko. Dan tidak harus internet. Sementara bisa menggunakan apa yang sudah tersedia di daerah itu dulu. Misalnya radio komunitas. Tinggal pemerintah memperkuat sumber daya yang sudah ada,” kata Deni.
Secara terpisah, Guru Besar Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta, Fasli Jalal, menyatakan, hak anak yang paling dasar adalah hak hidup. Artinya, dalam konteks Covid-19, kesehatan anak harus menjadi prioritas utama. Baru kemudian hak pendidikan yang pemenuhannya harus menyesuaikan terhadap situasi darurat yang ada.
Penyesuaian yang menjadi kebijakan pemerintah kemudian adalah pembelajaran jarak jauh melalui internet. Akibat semua variabel tidak siap, hal ini menimbulkan berbagai gejolak dalam perjalannya.
Dalam hal kesiapan infrastruktur saja, kondisi faktual di seluruh Indonesia jelas-jelas tidak sama dan tidak merata.
Dalam hal kesiapan infrastruktur saja, kondisi faktual di seluruh Indonesia jelas-jelas tidak sama dan tidak merata. Ada daerah yang sama sekali nihil jaringan internet. Ada daerah yang memiliki jaringan internet tetapi orang tua murid tidak memiliki cukup uang untuk membeli data sesuai kebutuhan pembelajaran.
Ada daerah yang memiliki jaringan internet tetapi murid tidak memiliki gawai atau pun kalau punya askes gawai harus bergantian dengan saudara di rumah. Dan ada pula daerah yang infrastrukturnya siap tetapi orang tua murid dan guru tidak siap mengoperasikan program.
”Empat lapis persoalan itu harus kita petakan. Ini kesempatan pemerintah memberikan afirmasi. Harus ada sinergi lintas kementerian dan kerjasama dengan berbagai mitra dan pihak,” kata Fasli.
Pemerintah daerah, Fasli melanjutkan, bertanggung-jawab untuk memetakan persoalan dan kebutuhan daerahnya masing-masing. Dengan demikian, solusi yang ditetapkan di tingkat pusat sekaligus daerah akan efektif menjawab kebutuhan riil di lapangan.
Kebijakan bantuan data internet Rp 7,2 triliun untuk siswa, menurut Fasli, patut diapresiasi. Akan tetapi guru yang menjadi kunci pembelajaran belum mendapatkan bantuan pemberdayaan. Padahal, kunci pembelajaran jarak jauh ini, selain infrastruktur, adalah pemberdayaan guru.
Kebijakan bantuan data internet Rp 7,2 triliun untuk siswa patut diapresiasi. Akan tetapi guru yang menjadi kunci pembelajaran belum mendapatkan bantuan pemberdayaan
Krisis Covid-19 ini masih akan berlangsung lama. Jika ketersediaan vaksin menjadi variabelnya, maka krisis masih akan berlangsung minimal sampai akhir 2021.
Dalam konteks tersebut, tak ada sumber yang memberikan daya hidup dan daya juang yang lebih besar ketimbang sikap optimistik. Dan bukankah manifestasi terbesar dari sikap optimistik itu adalah pembelajaran sebagaimana ungkapan Colleen Wilcox, penulis novel misteri asal Amerika Serikat.
Optimisme tidak saja vital sebagai energi untuk berlari marathon melalui pandemi yang panjang. Optimisme juga vital sebagai layar untuk menghantar Indonesia maju di masa depan.