Setelah 75 tahun beroperasi, Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk terus beradaptasi dengan pesatnya perkembangan teknologi digital.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hari ini, Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia atau LPP RRI genap berusia 75 tahun. Selama kurun waktu itu, LPP RRI telah berupaya memanfaatkan teknologi media baru sesuai dengan perkembangan zaman.
Pendiri Rumah Perubahan LPP, Masduki, mengatakan, selama 75 tahun, RRI telah melintasi tiga zaman, yaitu periode 1945-1970 yang ditandai dengan perjuangan politik, periode 1970-1995 sebagai radio politik pembangunan, dan dari 1995 sampai sekarang sebagai LPP.
Selama kurun waktu 1945-2010, RRI menerapkan teknologi penyiaran terestrial dan penggunaan frekuensi analog. Pada 2011, RRI mulai mengimplementasikan RRI.co.id, kemudian pada 2014 meluncurkan RRIPlay, dan pada 2018 merilis RRINet. Sepanjang 2011 sampai 2018, teknologi penyiaran terestrial dan frekuensi analog masih dipakai dan baru berikutnya beralih ke digital.
Idealnya, adopsi ataupun inovasi teknologi berjalan setiap tahun seperti perusahaan lainnya.
”Idealnya, adopsi ataupun inovasi teknologi berjalan setiap tahun seperti perusahaan lainnya,” kata Masduki.
Secara kelembagaan, RRI sudah otonom tetapi masih dikontrol pemerintah. Selain itu, pekerja RRI adalah pegawai pemerintah dengan anggaran operasional dari negara.
”Realitas tersebut memengaruhi proses RRI beradaptasi dan berinovasi di tengah era teknologi digital,” ujarnya saat menghadiri webinar 75 Tahun LPP RRI, Tantangan dan Strategi RRI di Era Digital, Kamis (10/9/2020), di Jakarta.
Memperkaya konten
Masduki mencontohkan, dari sisi produk jurnalistik, RRI telah bekerja sama dengan Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) untuk menayangkan konten periksa fakta guna menjawab tren maraknya hoaks dan disinformasi karena pesatnya perkembangan internet. Sayangnya, konten ini hanya diputar sekali seminggu.
”Artinya, konten itu tidak sesuai kepentingan publik. Ada kemungkinan produksi konten bisa terlaksana karena menunggu anggaran. Budaya kerja birokrat seperti itu semestinya diubah,” katanya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo, Jumrana, mengapresiasi upaya RRI mengadopsi teknologi digital untuk mengikuti perubahan, seperti siaran berita melalui platform internet. RRI Surabaya, misalnya, sudah memproduksi podcast yang tersedia di Spotify. RRI di daerah lain semestinya bisa mencontoh hal semacam ini.
Ia meyakini, RRI masih dipercaya oleh khalayak. Di daerah, kehadiran konten RRI masih ditunggu. Citranya lebih positif dibandingkan media lain.
Oleh karena itu, Jumrana berharap, LPP RRI perlu terus bekerja keras bertransformasi agar selalu relevan baik dari perkembangan teknologi ataupun konten yang dibutuhkan khalayak.
Direktur Utama LPP RRI periode 2005-2010, Parni Hadi, berpendapat, RRI perlu menjadikan digital sebagai peluang untuk maju. Adopsi teknologi digital memiliki sejumlah keunggulan, antara lain operasional lebih efisien dan daya jangkau lebih luas.
”Suara-suara khalayak di daerah bisa tersampaikan dan terdengar oleh orang-orang di Jakarta,” katanya.
Parni memandang, dengan bentuk LPP, RRI semestinya bisa bergerak independen dan tidak takut berkreasi. Bentuk kelembagaan seperti itu bahkan sudah dijamin dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Anggota Dewan Pengawas LPP RRI, Hasto Kuncoro, menyebutkan, salah satu misi RRI ke depan adalah memberikan kemudahan akses bagi khalayak untuk mendapatkan layanan. Caranya adalah mengoptimalkan multiplatform. ”Pemancar studio kami sudah berbasis teknologi digital. Kami juga sedang berencana mengembangkan pelatihan produksi konten multiplatform,” ujarnya.