Angka Partisipasi Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus Sangat Rendah
Banyak anak berkebutuhan khusus yang belum mendapatkan pendidikan. Selain jumlah sekolah luar biasa dan sekolah inklusi yang terbatas, masih sering muncul penolakan terhadap anak berkebutuhan khusus.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak berkebutuhan khusus penting untuk bersosialisasi, meningkatkan rasa percaya diri, dan meningkatkan kemampuan diri mereka. Namun, dari sekitar 1,6 juta anak berkebutuhan khusus yang terdata, baru 247.691 anak yang mengikuti pendidikan di sekolah luar biasa ataupun di sekolah inklusi.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi sekolah anak berkebutuhan khusus (ABK). Masih banyak orangtua yang belum menyekolahkan anak mereka yang berkebutuhan khusus, baik karena faktor ekonomi maupun faktor psikologis. Demikian pula belum semua daerah mempunyai sekolah luar biasa (SLB) ataupun sekolah inklusi.
Masih ada 60 kabupaten/kota yang belum memiliki SLB, sebanyak 41 di antaranya atau sekitar 60,29 persen termasuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar.
”Masih ada 60 kabupaten/kota yang belum memiliki SLB, sebanyak 41 di antaranya atau sekitar 60,29 persen termasuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar,” kata Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Samto, ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (10/9/2020).
Total jumlah SLB sebanyak 2.254 sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 142.760. Adapun sekolah inklusi, kata Samto, sebanyak 29.315 sekolah dengan total jumlah siswa dengan disabilitas sebanyak 104.931 siswa. Total jumlah SD hingga SMA/SMK mencapai 217.866 sekolah.
Selain faktor ketersediaan sarana pendidikan bagi ABK, masih ada penolakan ketika ABK ingin sekolah di SLB ataupun sekolah inklusi. Ini, antara lain, dialami Putu Prima, salah satu peserta diskusi daring bertema ”Potensi Anak Muda dengan Disabilitas Memasuki Dunia Kerja” yang diselenggarakan Save The Children Indonesia, Kamis.
Prima merupakan penyandang disabilitas cerebral palsy kaki kiri dan tangan kiri. Dia pernah sekolah di sekolah inklusi, tetapi karena tidak naik kelas, dia didaftarkan di sekolah dasar luar biasa (SDLB). Namun, sekolah tersebut tidak mau menerima Prima dengan alasan pernah sekolah di sekolah inklusi.
Dianggap beban
Sarah Kumala Dewi juga mendapat penolakan ketika mendaftarkan anaknya, Alanis (10), yang menyandang cerebral palsy kategori berat ke SLB. Warga Kota Bandung ini sudah mencoba mendaftarkan anaknya ke delapan SLB, dan semua menolak. Kondisi Alanis yang bergantung kepada orang lain untuk mobilitas dan komunikasi menjadi alasan.
”Alasannya, nanti (Alanis) menjadi beban moril sekolah, bagaimana laporan akademisnya, ada juga yang menolak dengan alasan tidak punya guru pendamping khusus. Padahal, saya yang akan mendampingi Alanis selama di sekolah, saya juga tidak menuntut capaian akademik,” katanya.
Sunarman Sukamto, Staf Ahli Madya Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Staf Presiden (KSP), mengatakan, penolakan terhadap ABK yang ingin mengikuti pendidikan juga terjadi di sejumlah daerah lain. Tiga bulan terakhir, dia membantu anak-anak difabel di Banjarbaru, Kalimantan Selatan; di Simalungun dan Pematang Siantar, Sumatera Utara; dan di beberapa daerah lainnya yang ditolak sekolah.
”Ada empat anak difabel cerebral palsy cukup berat di Pematangsiantar yang pada awalnya ditolak sekolah. Alasan penolakan, sekolah tersebut bukan inklusi, usia anak sudah melewati batas, kondisi anak yang disabilitasnya cukup berat. Setelah ada dialog, ada diskusi, ada dukungan dari KSP dan Kemendikbud, mereka bisa diterima di SD negeri,” kata Sunarman.
Persyaratan
Samto mengatakan, seharusnya sekolah, apalagi SLB, tidak boleh menolak ABK, apa pun kondisinya. Untuk sekolah reguler atau sekolah inklusi, memang ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi sehingga sekolah siap menerima ABK.
”Sekolah inklusi ditentukan oleh pemerintah daerah. Sekolah ini harus mempunyai fasilitas yang layak untuk disabilitas, misalnya akses ke toilet yang ramah disabilitas. Kemudian iklim sekolah juga harus mendukung, komunitas sekolah bisa menerima anak dengan kebutuhan khusus, jangan sampai anak (berkebutuhan khusus) justru di-bully (menjadi korban perundungan),” tuturnya.
Tata Sudrajat, Wakil Kepala Program Dampak dan Kebijakan Save the Children Indonesia, mengatakan, dari pengalaman kegiatan Save the Children Indonesia di Bandung, akses ABK pada pendidikan masih rendah. Selain jumlah sekolah yang bisa menerima ABK terbatas, masih ada orangtua yang ”mengurung” anak dengan disabilitas.
”Pengurungan, bukti orangtua belum menerima (anaknya berkebutuhan khusus). Sementara penerimaan orangtua akan membantu tumbuh kembang anak,” katanya. Pemerintah, kata Tata, juga harus menyiapkan sekolah-sekolah agar bisa menjadi sekolah inklusi. Dengan demikian, akan lebih banyak ABK yang bisa mengakses pendidikan.