Akses Kerja Sulit, Anak Muda Disabilitas Hidup Miskin
Penyandang disabilitas adalah warga negara yang memiliki kesempatan yang sama dalam pembangunan. Namun, kenyataannya hingga kini penyandang disabilitas masih terpinggirkan, akses pekerjaan dan pendidikan masih minim.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Kendati berada di usia produktif, angka pengangguran anak muda disabilitas di seluruh Tanah Air sangat tinggi. Selama ini di dunia kerja masih terjadi kesenjangan yang besar antara penyandang disabilitas dan nondisabilitas, baik laki-laki maupun perempuan. Perbandingan jumlah disabilitas yang bekerja dengan nondisabilitas sangat tinggi, yakni 1 banding 1.000.
Kesenjangan antara disabilitas dan nondisabilitas dalam mengakses pekerjaan terjadi baik di bidang formal maupun informal. Namun yang paling besar gapnya adalah akses pekerjaan di sektor formal. Akibatnya, banyak penyandang disabilitas hingga kini hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan.
Kesenjangan akses pekerjaan antara disabilitas dan nondisabilitas diakui oleh Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat saat berbicara pada Webinar #PulihBersama ”Potensi Anak Muda dengan Disabilitas Memasuki Dunia Kerja” yang digelar Save the Children Indonesia, Rabu (10/9/2020) secara daring.
”Dari data statistik yang ada, keterbatasan para penyandang disabilitas yang bekerja dibandingkan dengan yang bukan disabilitas itu sangat jauh sekali gap-nya. Secara total ada 1,1 juta disabilitas yang bekerja, sedangkan yang bukan disabilitas yang bekerja 112 juta orang,” kata Harry.
Untuk memutus mata rantai keterbatasan dan kemiskinan, para penyandang disabilitas yang berusia muda tersebut membutuhkan pekerjaan layak. Dari sekitar 30 juta penyandang disabilitas di Tanah Air, ada 20 juta orang yang berusia muda.
Dari sisi pekerjaan, selama ini jenis pekerjaan yang masih bisa diakses disabilitas adalah pertanian listrik, perdagangan, dan rumah makan, termasuk elektro. Bahkan, saat ini di pusat pelatihan tenaga kerja di Cibinong, bidang elekro banyak diminati para penyandang disabilitas fisik. Mereka mampu mengikuti uji kompetensi yang bisa bersaing dengan yang nondisabilitas.
Tingkat pengangguran tinggi
Kendati demikian secara umum, dibandingkan dengan angka partisipasi kerja nondisabilitas, mayoritas disabilitas lebih banyak bekerja mandiri bukan pada sektor formal. Kondisi inilah yang membuat pengangguran di antara penyandang disabilitas masih sangat tinggi.
Ada banyak faktor yang menyebabkan penyandang disabilitas sulit mengakses pekerjaan. Selain kurang informasi mengenai kesempatan kerja dan rendahnya pendidikan dan pelatihan, penyandang disabilitas sering enggan mendaftarkan diri. Mereka merasa dirinya disabilitas atau tidak tergugah melamar karena pengalaman kegagalan dalam mendapatkan pekerjaan dan citra negatif yang sudah tertanam.
”Ini fakta-fakta yang tidak bisa kita mungkiri dan terjadi di masyarakat berbagai faktor yang melingkupi kondisi disabilitas membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan,” kata Harry.
Karena itu, pemerintah perlu memperluas akses penyandang disabilitas pada aktivitas ekonomi produktif. Apalagi, dari 30 juta penduduk yang disabilitas, 9-12 persen diperkirakan dalam keadaan disabilitas berat. Negara harus hadir memberikan jaminan hidup secara berkelanjutan.
Di tengah kesulitan mengakses pekerjaan, sejumlah anak muda disabilitas menampilkan berbagai potensinya. Aswin Wihdiyanto, Fungsional Perencana Ahli Madya Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bahkan mengakui sebenarnya ada banyak anak muda disabilitas yang berkompeten, dan memiliki kemampuan tak kalah dengan nondisabilitas.
Kendati demikian, dia menyatakan diperlukan penyiapan bagi penyandang disabilitas, khususnya mereka usia sekolah, agar kelak dapat hidup mandiri serta siap memasuki dunia kerja. Untuk menyiapkan penyandang disabilitas memasuki dunia kerja, pemerintah telah mengarahkan pendidikan disabilitas sejak SMP hingga SMA dengan memberikan porsi pendidikan keterampilan yang jauh lebih besar dari porsi pendidikan akademis.
Bahkan, saat ini ada 20 jenis keterampilan yang diajarkan di sekolah-sekolah luar biasa maupun inklusi. ”Jadi mereka didorong dan dilatih untuk bisa terampil sehingga dalam memasuki dunia kerja, mudah-mudahan akan lebih mudah bekerja di perusahaan atau berwirausaha,” ujarnya.
Membantu disabilitas cari kerja
Lalu bagaimana dengan kalangan anak muda disabilitas itu sendiri? Khusnul Khuluq, Youth Specialist Kerjabilitas, mengungkapkan, sejak 2015, kerjabilitas.com telah hadir sebagai situs pencarian kerja khusus penyandang disabilitas. Kerjabilitas adalah sebuah wirausaha sosial yang dikelola oleh LSM Saujana.
Untuk membantu disabilitas mendapatkan pekerjaan, lembaga Kerjabilitas menjembatani mereka dengan pelatihan memasuki dunia kerja, dengan bekerja sama dengan balai latihan kerja. Beberapa pemuda disabilitas dilatih dengan berbagai keterampilan, sehingga memiliki kompetensi untuk melamar pekerjaan.
”Setelah mereka dilatih, kami juga bekerja sama dengan penyedia kerja untuk membuka lowongan kerja inklusif lalu mencari kandidat yang tepat bagi penyedia kerja tersebut,” ujar Khusnul. Dicontohkan, di masa pandemi Covid-19 ini mereka menempat lima pemuda dengan disabilitas dan tiga orang magang kerja berbayar.
Dia mengakui hingga kini ada berbagai hambatan penyandang disabilitas dalam memasuki dunia kerja antara lain. Misalnya, akses kepada pekerjaaan. Selama ini, hambatan terbesar adalah minimnya lowongan kerja inklusi yang terbuka untuk disabilitas.
Akibatnya, peluang mereka semakin kecil memasuki dunia kerja. Padahal dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengamanatkan peluang pekerjaan untuk penyandang disabilitas.
Pasal 53 UU tersebut mengatur pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen difabel dari jumlah pegawai atau pekerja. Sementara perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit satu persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
Hambatan lain adalah pendidikan. Jumlah disabilitas yang mengenyam pendidikan sangat rendah. Data menunjukkan, 3 dari 10 anak dengan disabilitas di Indonesia tidak mengenyam Pendidikan. Padahal, ada syarat lulusan pendidikan untuk melamar pekerjaan. Sementara beberapa perusahaan inklusif hanya terbuka bagi ragam tertentu, misalnya hanya untuk tuna daksa saja.
Tidak mudah bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan harapan mereka. Peluang pekerjaan dalam UU masih sebatas barisan kalimat. Kenyataannya, hingga kini masih belum banyak lembaga yang mempekerjakan penyandang disabilitas.