Saatnya Industri Film Memanfaatkan Pandemi Covid-19 untuk Bertransformasi
Sejumlah pelaku ekonomi kreatif sepakat menjadikan pandemi Covid-19 sebagai masa untuk memikirkan dan bertransformasi model bisnis, termasuk di sektor perfilman.
Oleh
Mediana
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 semestinya dijadikan momentum oleh industri perfilman untuk memikirkan kembali model bisnis atau remodelling. Cara lama produksi-distribusi film tidak lagi relevan.
Ketua Gerakan Pakai Masker (GPM) Sigit Pramono menyebutkan empat perubahan besar akibat pandemi Covid-19, yakni solidaritas sosial, media digital, tinggal di rumah, dan kebutuhan dasar. Pelaku industri perfilman semestinya menangkap perubahan tersebut untuk bertransformasi.
”Salah satu tren adalah masyarakat menyukai film yang disajikan melalui jaringan digital dan bisa ditonton di rumah,” ujar Sigit saat menghadiri diskusi publik Pembukaan Kembali Bioskop:Telaah Kasus Healtheconomic Dunia Hiburan di Jakarta, Selasa (8/9/2020) malam, di Jakarta.
Sigit, yang juga penggagas Jazz Gunung, berpendapat, wacana pembukaan kembali bioskop semestinya tidak memakai alasan mengatasi persoalan ekonomi. Menurut dia, semua sektor industri tengah mengalami krisis akibat pandemi Covid-19.
Apabila alasan pembukaan kembali bioskop untuk memberikan hiburan, dia memandang ada sejumlah solusi alternatif yang sesuai dengan perubahan karena pandemi, misalnya memperbanyak drive-in cinema, penyelenggaraan bioskop layar tancap, dan permutarán konten film secara daring. Pemerintah dapat memberikan insentif pada upaya tersebut.
Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Hikmat Darmawan juga sependapat pentingnya remodelling. Masa pandemi Covid-19 dipakai memikirkan cara menata ulang model bisnis untuk kondisi sekarang dan sesudah pandemi.
Dari sisi distribusi film, dia mencontohkan film Mulan. Pemutaran perdana film ini melalui kanal digital. Biayanya dikabarkan bersaing dengan pemutaran di bioskop.
Apabila tetap ingin memakai bioskop, pelaku industri perlu memikirkan bioskop alternatif dan monetisasi bisnis. Mereka bisa pula tetap mendistribusikan ke bioskop, tetapi memilih bioskop di daerah mana yang siap.
Hal itu tidak mudah karena selama bertahun-tahun patokan pendistribusian selalu dari bioskop Jakarta dulu baru ke daerah. Akibatnya, jumlah bioskop dan layar tidak merata hingga sekarang.
”Hal itu tidak mudah karena selama bertahun-tahun patokan pendistribusian selalu dari bioskop Jakarta dulu baru ke daerah. Akibatnya, jumlah bioskop dan layar tidak merata hingga sekarang,” katanya.
Hikmat mencontohkan kasus di China. Pembukaan kembali bioskop dilakukan per kota. Pemerintah China sudah lebih dulu membangun infrastruktur bioskop secara merata ke seluruh daerah. Mereka juga telah berinvestasi teknologi digital produksi dan distribusi.
Ekosistem terpenting
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Linda Gozali membenarkan pandangan itu. Sekitar 69 persen dari total 2.100 layar bioskop berada di Jawa.
”Bioskop merupakan bagian terpenting dari ekosistem industri film nasional. Kami memerlukan bioskop karena hingga sekarang penerimaan dari bioskop masih menjanjikan,” ujarnya.
Linda sepakat pandemi Covid-19 adalah momentum untuk menggali model bisnis baru. Akan tetapi, hal itu memerlukan waktu. Sementara kondisi sekarang, sejumlah produksi belum kembali berjalan dan berdampak buruk terhadap kelangsungan industri beserta pekerjanya.