Mohammad Nuh: Pemikiran Pak Jakob Melampaui Jurnalisme
Jakob Oetama bukan hanya tokoh pers, melainkan juga tokoh bangsa. Pemikiran dan kiprahnya tidak hanya untuk kepentingan dunia pers yang digelutinya, tetapi juga untuk kepentingan bangsa ini.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
Berpulangnya Pemimpin Umum yang juga salah satu pendiri harian Kompas, Jakob Oetama (88), bukan hanya kehilangan wartawan senior yang mempunyai peranan penting dalam perjalanan pers di Indonesia, tetapi juga kehilangan tokoh bangsa. Pemikiran dan perjuangan Jakob Oetama melampaui jurnalisme, lebih dari itu, untuk kemajuan bangsa ini.
Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh mengatakan, Jakob Oetama bukan hanya milik dunia pers, melainkan milik bangsa. ”Beliau patriot, pejuang, tidak hanya di dunia media (pers), tetapi yang tidak kalah penting Merah Putih-nya sangat kental. Pak Jakob mempunyai pandangan-pandangan sangat genius tidak hanya urusan media, tetapi juga pandangan yang luar biasa terhadap bangsa ini,” kata Nuh, Rabu (9/9/2020), di Jakarta.
Nuh mengatakan, beberapa kali bertemu dan berdiskusi dengan Jakob Oetama, baik ketika dirinya menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika maupun saat menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Diskusi mulai dari media dan perkembangannya hingga ke soal pendidikan, terutama pendidikan karakter.
Dari perspektif pers, kata Nuh, Jakob Oetama turut memperjuangkan kemerdekaan pers di Indonesia. Sikapnya juga tidak memihak kepada penguasa, tetapi lebih untuk kepentingan bangsa.
”Analisanya sangat tajam, tetapi disampaikan dengan bahasa yang santun. Semua ini bermuara pada Merah Putih,” kata Nuh yang merasa sangat kehilangan sosok Jakob Oetama.
Dalam sebuah kesempatan, kata Nuh, dirinya berdiskusi dengan Jakob Oetama tentang menjaga bahasa kesantunan agar masyarakat tidak mengalami kegersangan secara sosial. Jika bahasa yang dipakai dalam interaksi sosial adalah bahasa yang kasar, akan menimbulkan kegersangan sosial.
Dampaknya, ”Bangsa akan sulit menerima kebaikan karena ’tanahnya’ gersang. Tetapi kalau hangat, sejuk, maka benih-benih kebaikan bisa tumbuh pula dengan baik,” kata Nuh.
Secara terpisah, peneliti senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan Ignatius Haryanto juga mengatakan, Jakob Oetama merupakan salah satu tokoh penting dalam dunia pers sejak tahun 1960-an. Ia bersama seniornya, PK Ojong, mendirikan dan mengelola Starweekly sebelum mendirikan harian Kompas pada 1965.
Pers di bawah pimpinan Jakob Oetama berhati-hati berhadapan dengan kekuasaan karena Pak Jakob sadar ada ribuan karyawan yang menumpukan hidupnya di perusahaan tersebut.
”Memang Kompas sering dikritik kurang berani dengan kekuasaan, tetapi saya kira setelah 1998 ada gaya yang sedikit berubah dari Kompas, dengan mengambil jarak dengan kekuasaan,” kata Ignatius.
Nilai-nilai keutamaan
Ada nilai-nilai keutamaan dari Jakob Oetama, yaitu menjadi independen, menghibur yang papa, serta mengingatkan yang mapan. Di tengah tantangan pers yang besar saat ini, dia berharap, nilai-nilai itu akan terus dijalankan.
Kompas dengan terobosan-terobosannya, kata Ignatius, menunjukkan mau beradaptasi dengan perkembangan sambil tidak ingin kehilangan jati dirinya. Kompas tetap berjarak dengan kekuasan, tetapi tetap sopan dalam menyampaikan kritiknya.
Ini yang juga jadi keprihatinan almarhum Pak Jakob, bangsa yang sejahtera dan bangsa yang terdidik. (Ignatius Haryanto)
”Suara Kompas semoga akan terus didengar oleh pihak yang berkuasa untuk memperbaiki bangsa ini ke depan. Ini yang juga jadi keprihatinan almarhum Pak Jakob, bangsa yang sejahtera dan bangsa yang terdidik,” kata Ignatius.
Ignatius mengatakan, Jakob Oetama sangat peduli dengan perkembangan jurnalistik dan mendukung kegiatan yang memajukan kegiatan jurnalistik di Indonesia. Ketika dirinya menggagas penghargaan jurnalistik Mochtar Lubis Award, Jakob Oetama sangat mendukung dan memberi bantuan untuk acara tersebut.
”Saya pernah bertemu muka secara langsung dalam pembicaraan pribadi mungkin tiga kali. Pertama kali saat saya wawancara untuk sebuah tulisan di majalah Pantau tak lama saat almarhum berulang tahun ke-70. Dan yang saya kagum di tengah kesibukannya, Pak Jakob terus membaca, dan membaca tulisannya sangat terasa bahwa beliau memiliki wawasan yang luas,” kata Ignatius.
Mencoba terus mengikuti tulisan-tulisan Jakob Oetama, Ignatius merasa mendapat inspirasi dari tulisan Jakob Oetama. ”Pesan Pak Jakob yang tak saya lupa adalah menulis buku adalah mahkota bagi seorang wartawan. Jadi kalau wartawan tidak menulis buku, ya dia belum mendapatkan mahkotanya,” katanya.