Jakob Oetama Mewariskan Kerendahhatian untuk Generasi Selanjutnya
Sosok Jakob Oetama yang kini berpulang mengajarkan sikap rendah hati kepada seluruh orang terdekat. Kerendahhatian itu justru membuat dirinya terus belajar dan menempa diri.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sosok pendiri Kompas, Jakob Oetama, dikenal memiliki sikap rendah hati yang menjadi ciri khas sepanjang hidupnya. Dia mewariskan kerendahhatian itu kepada rekan kerja, kerabat, serta generasi selanjutnya.
Sejumlah pernyataan kerabat turut mendokumentasikan kerendahhatian itu. P Swantoro, misalnya, menyebut Jakob memiliki kesabaran dan sikap kebapakan yang menyelip dalam keahlian profesional. Dalam Syukur Tiada Akhir (2015), dia menyebut Jakob bukanlah sosok pemimpin yang sewenang-wenang. Dia terbuka terhadap masukan dari anak buahnya.
”Saya bisa bertahun-tahun menjadi pendampingnya, justru betah karena sikapnya yang tidak bossy. Ada kesabaran dan sifat kebapakan darinya meski kadang-kadang pun disalahgunakan oleh anak buah,” kata P Swantoro dalam buku tersebut.
Frans Seda dalam Kompas, Dari Belakang ke Depan (2007) juga mengenali sosok Jakob sebagai seorang yang pemalu. Kesempatan dan ketekunan yang membuat Jakob menjadi pengusaha sukses. Meski demikian, Jakob tidak keblinger dalam kesuksesannya. Jakob tetap setia dan terus mengembangkan profesinya sebagai wartawan.
Sejumlah rekan sejawat juga mengapresiasi kerendahhatian dalam profesi Jakob Oetama. Wartawan senior Rosihan Anwar, dalam Semua Berawal dengan Keteladanan (2007), menyebut sosok Jakob adalah seorang pendekar pers Indonesia yang cukup tangguh walau sering tampil merendah.
”Jakob Oetama kurang begitu senang disebut Raja Pers, Baron Pers, Rupert Murdoch-nya Indonesia, dan lain-lain sebutan. Saya tidak bermaksud melebih-lebihkan dalam memuji Jakob. Tetapi, sebagai wartawan, he is great,” ucap Rosihan dalam kesempatan ulang tahun Jakob yang ke-70.
St Sularto dalam Bersyukur dan Menggugat Diri (2009) memandang kerendahhatian Jakob juga tertuang saat bersama rekan pendiri, PK Ojong. Dalam sebuah kesempatan, Jakob pernah mengucapkan, ”Sebagai seorang yunior, saya belajar juga kepada Ojong, bukan dalam visi pandangan kemasyarakatan dan pola jurnalisme, tetapi lebih pada teknik.” Sepeninggal PK Ojong pada 1980, Jakob yang banyak berkutat di redaksi kemudian turut mengatasi bagian manajemen.
Humanisme
Sosok Jakob Oetama yang rendah hati memiliki keprihatinan akan berbagai permasalahan bangsa. Sindhunata, budayawan dan mantan wartawan Kompas, menyelisik empat pokok keprihatinan bangsa dari Jakob. Keempat hal ini selalu ditekankannya dalam ulasan surat kabar harian Kompas.
Pertama, yakni keprihatinan pada pendidikan. Kedua, yaitu obsesi Jakob tentang memberikan pencerahan kepada publik. Ketiga, keprihatinannya terhadap berbagai peristiwa sebagai momen sejarah. Keempat, harapan agar wartawan Kompas tidak kering akan kekayaan hati.
Akademisi dan Ketua Tidar Heritage Foundation, Komaruddin Hidayat, agaknya sependapat dengan poin itu. Dalam sebuah diskusi tentang buku Jakob Oetama di Bentara Budaya Jakarta, 13 November 2001, Komaruddin mengunjuk pada keprihatinan Jakob tentang nasib demokrasi, integrasi bangsa kemajuan, pemerataan ekonomi, dan moralitas politik.
Jakob dalam Kompas Dari Belakang ke Depan (2007) menyebutkan, pandangan, sikap hidup, dan orientasi nilai Kompas adalah paham kemanusiaan yang beriman, yang percaya pada nilai abadi dan kemanusiaan. Prinsip itu sejalan dengan kalimat berbahasa Perancis yang kerap dikutipnya, un journal c’est un monsieur. Artinya, surat kabar bersosok, berpribadi, justru karena memiliki pandangan hidup yang transenden serta pandangan hidup yang bermasyarakat.
Selama berpuluh tahun, Kompas telah berkembang dan juga berubah, mulai dari ukuran, warna, serta makin sering menampilkan visualisasi. Meski begitu, Jakob tetap menjanjikan bahwa isi Kompas masih akan tetap menempati posisi ”raja”. Dengan demikian, koran akan tetap menyajikan isi yang dapat dipercaya, isi yang diramu dengan serba dimensi, pergulatan, dan ekstase kemanusiaan.
Wartawan Kompas, Budiman Tanuredjo, dalam Syukur Tiada Akhir (2015), mengatakan, Pak Jakob berkeyakinan bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang tentunya bisa menang dalam pertarungan antarbangsa. Jakob juga selalu mengajarkan wartawan Kompas agar terus belajar dan bekerja dengan totalitas.