Berdaya dan Melindungi Perempuan Korban Kekerasan
Kisah-kisah konkret penanganan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tanggal dan sejumlah upaya penyelamatan perempuan disampaikan dalam Konferensi Perempuan Timur 2020 yang digelar secara daring.
Pada suatu hari, seorang ibu yang bekerja sebagai pemulung bersama suaminya di sebuah tempat indekos, di wilayah Kelurahan Watang Soreang, Kecamatan Soreang, Kota Parepare, Sulawesi Selatan, bertengkar dengan suaminya yang pulang dalam keadaan mabuk. Di puncak pertengkaran, sang suami memukul istrinya dengan sepotong bambu sehingga mengakibatkan lengan bagian bawah dan atas sang istri patah.
Kabar tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut sampai ke telinga Kelompok Konstituen Bahagia, Kelurahan Watang Soreang, Nur Jannah. Sesaat setelah mendengar kabar itu, Nur Jannah beserta timnya langsung mendatangi lokasi kejadian. Perempuan tersebut langsung dibawa ke rumah sakit.
Namun, ketika sampai di rumah sakit masalah muncul karena ternyata ibu tersebut tidak memiliki identitas sama sekali, tidak punya kartu tanda penduduk, kartu keluarga, apalagi kartu jaminan sosial. Sementara pihak rumah sakit menyatakan ibu tersebut baru bisa dilayani jika menyiapkan uang jaminan sebesar Rp 20 juta. Nur Jannah pun langsung menemui kepala RS dan meminta kebijakan untuk mengurus administrasi yang dibutuhkan sehingga pasien bisa dilayani.
Oleh RS, mereka disarankan mengurus KTP dan KK ibu tersebut serta mengurus kartu Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Nur Jannah pun langsung mengurus surat-surat tersebut dan akhirnya ibu korban KDRT tersebut bisa dilayani RS dan menjalani dua kali operasi. Semua proses pengurusan dokumen tersebut melibatkan kelurahan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), bahkan anggota DPRD Kota Parepare.
Ketika korban selesai menjalani perawatan, Kelompok Konstituen Bahagia langsung berkoordinasi dengan Dinas Sosial setempat untuk menempatkan korban di rumah aman agar kekerasan tidak terulang lagi. Akhirnya, perempuan tersebut dibantu sehingga bisa pulang ke kampung asalnya, di daerah Ambon, Maluku.
Pengalaman Nur Jannah dan Kelompok Konstituen Bahagia menangani kasus KDRT dan menyelamatkan perempuan korban disampaikan sesi webinar Konferensi Perempuan Timur (KPT) 2020, Rabu (26/8/2020). KPT 2020 digelar oleh Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan, dan Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) didukung oleh Program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan).
Nur Jannah mengangkat pengalaman dan kerja-kerja paralegal komunitas di daerah Indonesia timur dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Dia memaparkan bagaimana eksistensi paralegal komunitas mendapat pengakuan di lembaga-lembaga formal.
Ini merupakan titik awal bagi perempuan untuk bisa berdaya dan mendapatkan hak-haknya yang selama ini tidak didapatkan.
”Yang paling penting bagi kami, setelah kelompok konstituen dan lembaga layanan berbasis komunitas ada di daerah kami, ini merupakan titik awal bagi perempuan untuk bisa berdaya dan mendapatkan hak-haknya yang selama ini tidak didapatkan,” ujar Nur Jannah.
Baca juga: Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia Bagian Timur Terus Terjadi
Nur Jannah mengungkapkan, Komunitas Konstituen Bahagia terbentuk di kelurahannya pada 2015 sebagai bagian dari Program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan). Sebelum ada komunitas konstituen, Nur Jannah dan kawan-kawannya tidak bisa berbuat apa-apa ketika melihat ada perempuan yang menjadi korban KDRT. ”Kami hanya bisa melihat dengan sedih. Paling kami hanya bisa melapor ke ketua RT atau ketua RW, dan hanya mentok di situ, tidak membawa perubahan apa-apa,” paparnya.
Pembela perempuan
Kehadiran paralegal dari Komunitas Konstituen bagaikan oase bagi perempuan-perempuan dan anak-anak di Soreang. Tak hanya menjadi pembela para korban KDRT, mereka juga hadir membantu ibu-ibu dan perempuan miskin di wilayah tersebut yang ditolak RS karena tidak memiliki BPJS saat akan berobat. Selain itu, komunitas tersebut juga hadir membantu anak-anak yang belum memiliki akta kelahiran.
Seiring berjalannya waktu, eksistensi paralegal yang sebelumnya dibekali dengan berbagai pengetahuan terkait dengan pendampingan kasus diakui pemerintah setempat. Mereka juga menjadi paralegal dari P2TP2A Kota Parepare dan mengantongi surat keputusan wali kota dan dibekali dengan kartu pengenal yang dikeluarkan Wali Kota Parepare sehingga bisa membuka akses mereka ke layanan publik.
Ketika mendampingi kasus yang menimpa perempuan, Nur Jannah dan paralegal dari Komunitas Konstituen Bahagia bisa langsung ke unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), tidak ada lagi pertanyaan dari pihak kepolisian. Begitu juga saat mereka akan mendampingi perempuan yang terkendala dalam mengakses layanan RS, mereka pun bisa berkoordinasi dengan pemimpin RS.
“Kami bisa mendampingi masyarakat yang bermasalah sampai di tingkat persidangan, hanya dengan gunakan tanda pengenal ini,” papar Nur Jannah seraya menunjukkan ID Card sebagai paralegal.
Baca juga: Keberdayaan Perempuan di Indonesia Timur Tak Secantik Pesona Alamnya
Di sesi webinar 2 yang mengangkat topik ”Kiprah Perempuan Akar Rumput, Memimpin Perubahan di Komunitas”, praktik baik dan pengalaman perempuan akar rumput juga disampaikan Debbi Mandik (Layanan Berbasis Komunitas/LBK Lestari Desa Arakan, Kecamatan Tatapaan, Kabupaten Minahasa Selatan), Waode Jainab (Sekretaris Badan Perwakilan Desa Korihi, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara), dan pendeta IZ Sapulette (Ketua Klasis Gereja Protestan Maluku Klasis Pulau Lease Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku).
Debbi Mandik memaparkan perjuangan perempuan di desanya dalam menembus ruang dalam Badan Takmirul Masjid saat dia berhasil menjadi sekretaris dari Badan Takmir. Waode Jainab menyampaikan pengalaman perempuan pemimpin di desanya yang membawa perubahan pembangunan yang berkeadilan jender. Adapun Sapulette membagikan peran dan inisiasi gereja dalam mengupayakan layanan perempuan korban di wilayah pedalaman.
Pengalaman perempuan akar rumput menembus posisi kepemimpinan di desa, digambarkan Waode, saat dia menjadi Sekretaris BPD Desa Kohiri. Upaya penanganan kekerasan terhadap perempuan di desa yang memiliki jumlah penduduk terdiri dari 1.693 jiwa tersebut muncul semenjak dibentuk Posko Perlindungan dan Pelayanan bagi Perempuan Korvan Kekerasan Berbasis Gender di Desa Kohiri pada 2017. Bahkan, pada 2019, di desa tersebut mengesahkan peraturan desa tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan Korban Kekerasan Wilayah Desa Kohiri.
Program penguatan kapasitas perempuan yang didukung Program MAMPU sejak 2015 telah mengubah sejumlah perempuan di Indonesia timur, bahkan melahirkan perempuan-perempuan yang berdaya, menjadi pemimpin di tingkat akar rumput, membawa perubahan di desanya. Perempuan-perempuan yang sebelumnya tidak berdaya melihat praktik-praktik kekerasan terhadap perempuan bangkit dan berdaya. Kemampuan berorganisasi dan berkomunitas membentuk mereka menjadi perempuan tangguh serta mampu mengadvokasi diri dan memperjuangkan haknya serta hak sesama perempuan.
Terbukti, selain melindungi dan menyelamatkan perempuan dan anak dari kekerasan, mereka berhasil mendorong lahirnya berbagai kebijakan di tingkat desa yang berperspektif jender dan berkeadilan.