Pers sebagai pilar keempat demokrasi menghadapi banyak tantangan. Faktanya, negara, masyarakat, dan juga perilaku media belum final menempatkan pers sebagai pilar keempat demokrasi.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Semakin banyak masyarakat mengandalkan media sosial sebagai sumber informasi. Sekitar 70 persen masyarakat Indonesia mengakses informasi dari media sosial. Kondisi ini dinilai merupakan bentuk ketidakpercayaan masyarakat kepada media arus utama atau pers.
Bahkan, dalam konteks demokrasi, banyak yang menyebut media sosial telah menjadi pilar kelima demokrasi. Kondisi ini memunculkan pertanyaan, benarkan pers telah gagal menjembatani dan melayani kepentingan publik sehingga kepercayaan publik menurun? Masihkan pers sebagai pilar keempat demokrasi?
Menurut laporan Edelman Trust Barometer Global 2020, media sosial terus memicu tumbuhnya ketidakpercayaan masyarakat kepada pers. Media sosial dan media tradisional atau media arus utama sama-sama dipercaya masyarakat, yaitu mencapai 61 persen. Namun di sisi lain, media sosial merupakan sumber media paling tidak tepercaya, yaitu mencapai 39 persen.
Pertarungannya kemudian pada kebenaran. Mampukah pers menjaga idealisme untuk tetap profesional dan berpihak kepada kebenaran? Anggota Dewan Pers, Agus Soedibyo, mengatakan, masalah pers sangat banyak, bahkan terlalu banyak, mulai dari masalah pelanggaran kode etik jurnalistik hingga media yang terkooptasi kepentingan ekonomi yang melahirkan perilaku umpan klik (clickbait) dan mengutamakan rating, serta kepentingan politik.
Kalau banyak media terkooptasi, pilihan ada di publik, ada banyak media, ada media sosial. Kalau media partisan, media sosial akan menjadi ruang publik baru yang mempunyai fungsi kontrol. (Agus Soedibyo)
”Kalau banyak media terkooptasi, pilihan ada di publik, ada banyak media, ada media sosial. Kalau media partisan, media sosial akan menjadi ruang publik baru yang mempunyai fungsi kontrol,” kata Agus dalam Sarasehan Kebangsaan Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju secara daring yang bertema ”Masihkah Pers Berkontribusi bagi Perkembangan Demokrasi Indonesia”, Selasa (1/9/2020).
Laporan Edelman Trust Barometer Global 2020 pun menyebutkan, secara global, perusahaan pers mendapat skor terendah dalam lima masalah terkait kepercayaan publik, yaitu menjaga pengaruh media sosial, bersikap obyektif, kualitas informasi, konten penting versus sensasional, serta membedakan opini dan fakta. Kalau perusahaan pers bekerja lebih baik dalam masalah-masalah ini, kepercayaan konsumen akan meningkat secara signifikan.
Dalam diskusi tersebut, musisi Dwiki Dharmawan Sastrawidjaya mengatakan, dirinya pesimistis sekaligus optimistis terhadap pers. ”Pesimistis lebih besar, media membuat publik semakin apatis pada persoalan bangsa, praktik pemberitaan di bidang politik lebih ke personalisasi dan penggiringan isu. Optimistis, (karena) masih ada segelintir media yang masih konsisten. Teruslah berkiprah pers Indonesia menjadi penerang bagi masyarakat,” katanya.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa pers, baik wartawan maupun medianya, harus menempatkan diri sebagai pilar keempat demokrasi dengan menjaga profesionalismenya dan selalu berpihak kepada kebenaran. Dengan demikian, pers akan mampu menjalankan fungsi dan perannya sebagai alat kontrol sosial dan agen demokrasi.
Namun, ”Bisakah seseorang yang memiliki kekuasaan (pemilik perusahaan pers terlibat politik) atau pemodal yang mendirikan (perusahaan) pers menempatkan pers sebagai pilar keempat demokrasi?” tanya Judha Riksawan, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat periode 2013-2016.
Kemampuan pers untuk mendukung demokrasi bergantung pada kebebasan pers untuk beroperasi secara independen. Jika kebebasan pers terbelenggu, bisa terjadi kesenjangan informasi karena pers tidak dapat menyampaikan informasi secara bebas kepada publik. Pers tidak dapat menjembatani dan melayani kepentingan publik.
Ancaman
Kebebasan pers di Indonesia, menurut catatan lembaga pemantau Reporters Without Borders (RSF), meningkat, dengan indeks kebebasan pers pada 2020 di posisi 119 dibandingkan pada 2019 yang di posisi 124. Meskipun begitu, ancaman terhadap kebebasan pers terus terjadi, mulai dari pemidanaan terhadap wartawan hingga peretasan terhadap sejumlah media daring.
Pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) rawan mengancam wartawan ketika menyampaikan informasi. ”Undang-Undang ITE hambatan terbesar untuk menempatkan pers dalam pilar keempat demokrasi,” kata Judha.
Dalam catatan SAFENet, sejak 2008 paling tidak 16 wartawan dijerat menggunakan UU ITE, yaitu Pasal 27 Ayat 3 tentang penghinaan dan pencemaran nama baik, serta Pasal 28 Ayat 2 tentang penyebaran informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Terakhir, kasus mantan Pemimpin Redaksi Banjarhits Diananta Putera Sumedi yang divonis dengan hukuman 3 bulan 15 hari penjara atas berita yang ditulisnya. Dia dinyatakan melanggar Pasal 28 Ayat 2 UU ITE.
Sementara di RKUHP, paling tidak ada 10 pasal yang akan menjadi ancaman bagi kebebasan pers. Menurut Mardani Ali Sera, anggota DPR dari Fraksi PKS, pasal-pasal karet dalam UU ITE RKUHP menunjukkan infrastruktur yang dibangun pemerintah tidak mendukung kebebasan pers. Karena itu, dia mendukung UU ITE direvisi untuk menghilangkan pasal-pasal karet tersebut.
”Kalau pemerintah peduli (pada pers), bagaimana membangun ekosistem mulai dari regulasi, meningkatkan kapasitas jurnalis, agar pers dapat maju, bukan hanya secara kapital (industri), tetapi juga penyambung (lidah) rakyat. Mestinya pemerintah mampu mengajukan blue print pers, (ini) justru mengalokasikan dana ke influencer, ini pengkhianatan (pada pilar keempat demokrasi),” katanya.
Kondisi-kondisi tersebut, mulai dari faktor masyarakat, pers, juga tiga pilar lainnya (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) membuktikan pers belum ditempatkan sebagaimana mestinya sebagai pilar keempat demokrasi. Pers, kata Yudha, seharusnya tidak boleh diganggu ketika menjalankan fungsinya, tidak boleh ”berselingkuh” atau bermain mata dengan pilar-pilar lainnya, demikian pula pilar-pilar lainnya tidak boleh mengganggu pers menjaga demokrasi.
”Kalau kita tidak mampu membangun itu, sampai kapan pun pers akan sulit diposisikan sebagai pilar keempat demokrasi,” kata Yudha. ”Kita belum final menempatkan pers sebagai pilar keempat demokrasi, belum memahkotai mereka dengan tugas mulia. Pers masih terombang-ambing banyak kepentingan dan pengaruh.”