Bersama Melawan Kemiskinan, Ketidakadilan, dan Kesewenangan
Konferensi Perempuan Timur tidak hanya sekadar ajang bertemu para perempuan timur. Pertemuan tersebut menjadi tempat berbagi pembelajaran, pengetahuan, serta berbela rasa.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
KOMPAS/ PRAYOGI DWI SULISTYO
Perempuan kampung adat Dirun, Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, membawa hasil panen untuk dipersembahkan dalam ritual Bei Gege Asu, Sabtu (21/7/2018). Ritual Bei Gege Asu dilaksanakan sebelum mendirikan rumah adat untuk memohon petunjuk dari Tuhan dan leluhur.
”Setiap orang memiliki lembar pengalaman, lembar benang pembelajaran, seperti kain yang dilahirkan alat tenun, warna tanah kemiskinan, warna kelam pengalaman, telah menjadi inspirasi bersama. Sebab satu lembar benang, benang emas sekalipun tak akan melahirkan selembar kain. kita harus terus bekerja sama, apa yang kita kerjakan harus terus kita kerjakan”.
Demikian narasi yang disampaikan dengan suara lantang dan tegas oleh Luna Vidya sesaat setelah Penutupan Konferensi Perempuan Timur (KPT) 2020, Kamis (27/8/2020) petang, yang berlangsung secara virtual. Kalimat demi kalimat yang disampaikan Luna (Fasilitator Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia/BakTI), mewakili suara dan jeritan para perempuan dari kawasan timur Indonesia, yang selama ini berjuang keluar dari lingkaran kemiskinan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan.
Kehidupan perempuan timur yang digambarkan lewat selembar kain menjadi energi bagi peserta KPT 2020 saat mengikuti konferensi yang berlangsung selama dua hari (26-27 Agustus 2020). Kendati berlangsung secara daring, pertemuan yang digelar Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan, dan Yayasan BaKTI yang didukung didukung Program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) setiap hari diikuti lebih dari 2.000 peserta.
Selain ajang pertemuan perempuan timur, konferensi yang berlangsung untuk kali keempat itu semakin mengukuhkan kebersamaan para perempuan timur, termasuk memperkuat kolaborasi dengan berbagai pemangku kebijakan, mulai dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat, termasuk kalangan legislatif.
Pada forum KPT tersebut, situasi dan perjuangan mengatasi kekerasan terhadap perempuan tetap menjadi bagian menarik dibahas dalam forum KPT tersebut. Bahkan, pada sesi pertama webinar dengan topik ”Gerak Bersama Multipihak Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan”, Maria Filiana Tahu, Direktur Yayasan Amnaut Bife Kuan (Yabiku) NTT yang juga Anggota FPL, memaparkan bagaimana tantangan penanganan dan advokasi berbasis data untuk korban pada situasi adat, pedalaman, dan kepulauan.
Filiana menyatakan, sampai ini situasi kekerasan terhadap perempuan masih marak terjadi di Indonesia timur. Buktinya dari data FPL wilayah timur Indonesia, kekerasan terhadap perempuan di timur pada tahun 2019 sebanyak 1.528 kasus. Tahun, 2020 hingga Juli mencapai 1.023 kasus.
Dari kasus-kasus yang terjadi, perempuan masih menjadi korban berulang. (Maria Filiana Tahu)
”Bayangkan jika sampai Desember berapa banyak kasus kekerasan yang terjadi di kawasan timur Indonesia. Dari kasus-kasus yang terjadi, perempuan masih menjadi korban berulang. Data FPL dari 1.528 kasus yang tercatat di tahun 2018, korbannya berjumlah 1544 orang,” katanya.
Data tersebut menunjukkan ada selisih antara jumlah kasus dan jumlah korban. Artinya masih banyak perempuan yang alami kekerasan lebih dari satu jenis kekerasan. Meski sudah banyak perempuan yang berani melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya, hingga kini masih banyak korban yang enggan melaporkan kasus yang menimpanya karena takut ditertawakan atau menganggap hal tersebut sebagai aib.
Kekerasan berulang
Selain itu, ketika dilaporkan ke kepolisian, kasus sering mandek dan kekerasan berulang. Sementara penyelesaian secara adat masih terjadi, dan masih ada kasus kekerasan seksual yang diselesaikan dengan denda. Pada tempat tertentu meskipun kasus kekerasan seksual (pemerkosaan), pelaku sering diminta keluarga untuk menikahi korban demi menutup aib. Padahal, penyelesaian tersebut cenderung mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM), terutama di wilayah yang masih lekat dengan budaya patriarki.
Sementara di sisi layanan, baik hukum maupun medis, masih banyak yang belum tersedia merata hingga ke pedalaman, apalagi kepulauan. Rumah aman dan panti rehabilitasi belum tersedia, padahal banyak korban mengalami kekerasan berulang yang membutuhkan penanganan.
Terkait akses layanan bagi korban, Sugeng Widhi Hartono, Supervisor Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) Cendana, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, mengungkapkan perlu ada sinergi layanan untuk perempuan korban yang komprehensif. Sebab, untuk daerah layanan tersebut masih tersegmentasi sehingga sulit diakses perempuan dan anak yang menjadi kelompok rentan.
Kendati sudah mengalami perubahan, sesungguhnya situasi dan kondisi perempuan di wilayah Indonesia timur dari kekerasan masih memprihatinkan. Maka, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, saat membuka konferensi tersebut, berharap potensi dari kekayaan alam, budaya, dan adat, di Indonesia timur seharusnya diimbangi dengan perempuan-perempuannya yang berdaya.
Karena itulah, Bintang sangat mendukung konferensi tersebut. ”Saya yakin, potensi perempuan Indonesia timur adalah kekuatan bagi pembangunan bangsa menuju perempuan berdaya, Indonesia maju,” ungkap Bintang.
Hasil KPT 2020 pun menegaskan, betapa penanganan terhadap kekerasan yang dialami perempuan di Indonesia timur masih masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Bahkan, rekomendasi pertama dari KPT 2020 menyebutkan bahwa sinergi multipihak dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan masih terus menemui tantangan, khususnya untuk wilayah timur dan dalam situasi pandemi Covid-19.
Para pemangku kepentingan (terutama instansi pemerintah dan penegak hukum) perlu serius menyikapi dengan melihat potensi dan kebijakan yang ada di instansinya, yang dapat digunakan untuk menjawab tantangan dan berinisiatif berkolaborasi.
Kompas/Nawa Tunggal
Penari Likurai dalam Festival Fulan Fehan di lokasi wisata alam padang savana Fulan Fehan. Desa Dirun, Kecamatan Lakmanen, di kaki Gunung Lakaan, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (28/10). Sebanyak 6.000 perempuan menarikan Likurai dengan koreografer Eko Supriyanto dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jawa Tengah.
Forum berbagi pengetahuan
KPT 2020 yang mengusung tema ”Memetik Buah dari Sinergi Multipihak untuk Pembangunan Berkeadilan di Kawasan Timur Indonesia” seharusnya berlangsung di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Namun, karena pandemi Covid-19 konferensi berlangsung virtual.
Selama dua hari, KPT 2020 menjadi forum berbagi pengetahuan, membangun kemitraan, panggung budaya, pasar karya perempuan timur. Ada empat sesi webinar yang digelar dengan menghadirkan sejumlah pembicara yang inspiratif, mulai dari komunitas, lembaga masyarakat, DPRD, pemerintah, hingga berbagai pihak lain dihadirkan.
Mereka membagikan praktik, baik untuk pembangunan Indonesia yang selama ini dilakukan di daerah maupun komunitas masing-masing, seperti pengembangan layanan korban berbasis komunitas, sekolah paralegal, metode penguatan ekonomi perempuan, dan akses bantuan ke pemerintah.
Dari setiap diskusi di pertemuan tersebut diangkat berbagai upaya yang selama ini dilakukan untuk memperkuat kemitraan, komunikasi, serta komitmen antara pemerintah dan masyarakat sipil dalam menangani berbagai permasalahan krusial, terkait kekerasan yang selama ini dihadapi perempuan dan anak di Indonesia timur.
Selain panggung budaya yang menampilkan seni tari dan musik tradisional dari Indonesia Timur mewarnai sesi-sesi konferensi tersebut, pertemuan yang berlangsung virtual tersebut juga menampilkan Pasar Karya Perempuan Timur yang menampilkan berbagai produk pengetahuan dan karya yang dibuat oleh para perempuan timur. Semuanya ditampilkan secara visual.
KPT sesungguhnya lahir dari Konferensi Perempuan Timor sebagai forum pembelajaran bagi perempuan di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang digelar pertama kali tahun 2016. Pada konferensi kedua, tahun 2017 namanya berubah menjadi Konferensi Perempuan Timur hingga konferensi keempat 2020.
Konferensi tersebut memperluas wilayah pembelajaran, tidak hanya di Pulau Timor melainkan berbagai pulau yang ada di bagian timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, Maluku dan Papua. Konferensi pertama hingga ketiga berlangsung di NTT. Konferensi keempat untuk pertama kalinya digelar di luar NTT, yakni di Makassar.