Aparatur pemerintahan di Jawa Timur perlu meningkatkan cakupan tes untuk menelusuri warga yang telah terjangkit Covid-19.
Oleh
IQBAL BASYARI/ AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Aparatur pemerintahan di Jawa Timur perlu meningkatkan cakupan tes untuk menelusuri warga yang telah terjangkit Covid-19. Cakupan perluasan diperlukan untuk mendorong daerah-daerah lebih aktif dalam melakukan tes usap. Dengan demikian, situasi wabah Covid-19 di Jatim dengan cakupan tes yang semakin meluas akan memperlihatkan situasi wabah yang lebih riil.
Data hingga Selasa (25/8/2020), Covid-19 telah menjangkiti 30.998 warga. Sebanyak 2.222 jiwa meninggal, 4.475 orang dirawat, dan 24.301 orang sembuh. Dari data itu, rata-rata penambahan kasus harian 180-181 warga terjangkit per hari, 39-40 jiwa meninggal setiap hari, serta 140-141 jiwa sembuh per hari. Hal itu membuktikan penambahan kasus harian masih lebih tinggi daripada kesembuhan. Tingkat kematian juga masuk kategori tinggi.
Prediksi puncak kasus cukup sulit karena kebijakan pemerintah sering berubah-ubah, seperti pembukaan sekolah tatap muka. (Windhu Purnomo)
Selain itu, di Jatim telah dilaksanakan tes usap sebanyak 197.639 sampel dan tes cepat sebanyak 927.529 sampel. Surabaya menjadi penyumbang terbesar dengan jumlah orang yang diperiksa tes usap sebanyak 67.723 orang atau 34 persen dan tes cepat sebanyak 142.052 orang. Dengan demikian, bisa dikatakan tes usap di 37 kabupaten/kota lain tidak sebesar Surabaya.
Menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia, idealnya tes dilakukan pada 1 per 1.000 populasi setiap minggu. Adapun di Jatim, rata-rata tes mencapai 5 per 1.000 penduduk. Surabaya telah melakukan tes pada 5 per 1.000 penduduk.
Bahkan, hanya Surabaya melalui situsnya yang membuka data informasi tentang data tes usap yang telah dilakukan. Adapun data testing di 37 kabupaten/kota lain di Jatim tidak dibuka. Begitu pula data di Pemprov Jatim yang hanya menampilkan jumlah, tanpa merinci sebaran tes dari daerah-daerah. Hal ini membuat sulitnya mengetahui situasi wabah Covid-19 yang sesungguhnya di setiap kabupaten/kota.
Tidak ekstrem
Epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, mengatakan, fluktuasi penambahan kasus baru di Jatim tidak ekstrem. Namun belum bisa dikatakan sudah memasuki fase puncak karena kasus baru belum menurun. ”Prediksi puncak kasus cukup sulit karena kebijakan pemerintah sering berubah-ubah, seperti pembukaan sekolah tatap muka,” katanya.
Menurut Windhu, salah satu upaya yang harus terus dilakukan adalah tes massal untuk menemukan kasus-kasus yang ada di bawah permukaan. Tes massal sekaligus menjadi acuan untuk mengetahui tingkat penularan di masyarakat. ”Daerah dengan status zona kuning dan hijau perlu dipertanyakan apakah memang kasusnya rendah atau karena tes yang sedikit,” kata Windhu.
Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Covid-19 Jatim Joni Wahyuhadi mengatakan, perubahan status risiko yang ditandai warna kawasan merupakan penghitungan dan analisa komprehensif Satuan Tugas Covid-19 pusat yang diperbarui setiap pekan.
”Perubahan warna sekaligus status risiko penularannya perlu dilihat sebagai peringatan atau alarm bagi daerah, kabupaten/kota,” kata Joni yang menjabat Direktur RSUD Dr Soetomo, Surabaya, satu dari tiga rujukan utama penanganan pasien Covid-19 Jatim.
Zona merah atau risiko tinggi yang saat ini dialami oleh Surabaya dan Sidoarjo mengindikasikan ada pengabaian penerapan protokol kesehatan di tingkat masyarakat. Pengetatan dan pendisiplinan oleh aparatur mengendur.
Namun, jika zona berubah membaik, misalnya dari merah ke jingga (risiko sedang), lanjut Joni, jangan kemudian terlena. Justru diperlukan pengetatan yang lebih konsisten sehingga segala indikator penanganan wabah sampai bisa dikendalikan dapat terpenuhi.
Wabah bisa dianggap terkendali antara lain jika kenaikan harian kasus baru dan kematian pasien Covid-19 menurun tetapi kesembuhan meningkat. Situasi itu harus konsisten selama satu bulan dan bisa dipertahankan atau lebih baik lagi bulan-bulan berikutnya.
Tes massal
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, tes massal masih terus dilakukan meskipun jumlahnya tidak sebanyak pada periode Mei hingga Juni atau ketika masa pembatasan sosial berskala besar.
Saat ini, pihaknya masih terus mengupayakan tes massal dengan menggandeng sejumlah institusi dan donator untuk menyuplai reagen. Sebab sebagian besar dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah telah digunakan untuk penanganan Covid-19 di sektor lain.
”Sebagian besar pasien Covid-19 tidak bergejala sehingga perlu dideteksi dengan melakukan tes agar tidak terjadi penularan yang lebih luas,” ujar Risma.