Perlu Kolaborasi untuk Memutus Rantai Perkawinan Anak
Perkawinan memberikan dampak yang besar bagi anak perempuan seperti kesehatan reproduksi terganggu, meningkatkan kematian ibu, pendidikan putus, pekerja anak, dan lain-lain. Maka pencegahan harus dilakukan bersama-sama.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Upaya mencegah perkawinan anak hingga saat ini masih menjadi tantangan dan pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia, bahkan di masa pandemi pun perkawinan anak masih terjadi. Karena itu, upaya memutus rantai perkawinan anak membutuhkan sinergi dan kolaborasi semua pihak, pemerintah, organisasi masyarakat sipil, terutama organisasi agama, dan seluruh komponen masyarakat hingga tingkat desa.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah memastikan anak-anak terlibat dalam berbagai upaya pencegahan perkawinan, mensosialisasikan secara masif bahaya perkawinan. Pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi juga harus diberikan kepada anak-anak sejak dini baik di lembaga pendidikan maupun dalam keluarga.
Hal ini mengemuka dalam Konferensi Nasional “Sinergi dan Kolaborasi dalam Pencegahan Perkawinan Anak” yang diselenggarakan Kementerian PPN/Bappenas, Rabu (2/9/2020) secara daring. Acara yang dibuka oleh Deputi Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Subandi, dan Konselor untuk Kemiskinan dan Pembangunan Sosial Kedutaan Besar Australia Aedan Whyatt.
Perkawinan anak merupakan sebuah bentuk pelanggaran hak anak yang dapat menghambat mereka dalam mendapatkan hak-haknya secara optimal.(Subandi)
“Perkawinan anak merupakan salah satu tantangan dalam pembangunan sumber daya manusia. Hal ini dikarenakan perkawinan anak memiliki dampak yang multi aspek dan lintas generasi. Perkawinan anak juga merupakan sebuah bentuk pelanggaran hak anak yang dapat menghambat mereka dalam mendapatkan hak-haknya secara optimal,” ujar Subandi.
Karena itu, kesadaran dari seluruh lapisan akan bahaya dari perkawinan anak sangat penting, untuk mendukung pencegahan perkawinan anak. Saat ini masih ada tantangan untuk melakukan kerja kolaborasi yang lebih kuat lagi dengan menerapkan strategi-strategi dan inovasi yang tepat.
“Melihat faktor pendorong terjadinya perkawinan anak yang sangat kompleks, maka keterlibatan seluruh sektor dalam upaya pencegahannya sangat dibutuhkan,” katanya.
Untuk itulah pada Februari 2020 lalu, Bappenas meluncurkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) sebagai rujukan bagi seluruh pemangku kepentingan baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, maupun desa dalam mengupayakan penurunan angka perkawinan anak
Pada konferensi tersebut hadir sejumlah pembicara yakni Woro Srihastuti Sulistyaningrum (Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas), Rohika Kurniadi Sari (Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Lusia Palulungan (Manager Program Mampu Yayasan BaKTI Sulawesi Selatan), Mike Verawati (Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia), Alimatul Qibtiyah (tokoh agama/Muhammadiyah), Nur Anti (Dinas P3AKB Sulsel), Taufiq Budi Santoso (Kepala Bappeda Jabar), dan Roudhotul Esa Maharani (Ketua Paguyuban Anak Ponogoro).
Rohika menyatakan hingga kini berbagai program dilakukan KemenPPPA bersama sejumlah lembaga dalam mencegah perkawinan anak, termasuk melibatkan forum-forum anak di semua daerah. Menindaklanjuti Stranas PPA, KemenPPPA terus melakukan berbagai upaya antara lain membangun kolaboratif kekuatan berbasis komunitas, membangun kesadaran hukum di masyarakat, meningkatkan kapasitas pengetahuan hukum, dan meningkatkan kapasitas mediasi penanganan kasus perkawinan anak.
Lusia menilai penting sekali penyamaan persepsi semua pihak dalam melakukan pencegahan perkawinan anak. Ia mencontohkan soal pengajuan dispensasi perkawinan anak, seharusnya dilihat apa latar belakang permohonan dispensasi dilakukan. Karena dalam penelitian, kehamilan di luar nikah tidak menjadi faktor utama, faktor budaya atas keinginan orang tua sendiri. “Karena itu penting menghadirkan anak dalam permohonan dispensasi nikah,” tegas Lusia.
Peran tokoh agama
Adapun Alimatul menegaskan, peran tokoh agama sangat penting dalam upaya pencegahan perkawinan anak, karena angka perkawinan anak terus meningkat. Tokoh agama berperan meluruskan berbagai pandangan dan pemahaman yang salah, terkait perkawinan di usia anak. Bahkan tokoh agama juga harus mendorong bahwa berbicara kesehatan reproduksi bukanlah sesuatu hal yang tabuh,
“Kita perlu menjelaskan kepada masyarakat bahwa zina itu dosa, tapi membiarkan menikahkan anak yang berisiko itu juga dosa. Karena ada kan jangan meninggalkan generasi yang lemah. Nah itu harus ada solusinya supaya dosa dua-duanya, dosa karena zina dan dosa karena meninggalkan generasi lemah,” ujarnya.
Salah satu solusinya adalah meningkatkan pendidikan seksualitas dan reproduksi, dan juga pemahaman agama yang egaliter/progresif. Selain itu perkuat program pemberdayaan perekonomian, karena banyak alasan menikahkan anak karena ekonomi. “Selain itu, perlu memaksimalkan strategi kampanye dengan standar milenial, ada sesuatu yang atraktif dan menarik, sehingga kampanyenya mengena kepada mereka,” papar Alimatul.
Esa Maharani menyatakan Paguyuban Anak Ponorogo selama ini aktif melakukan berbagai kampanye stop perkawinan anak, misalnya dengan membuat film pencegahan perkawinan anak dengan judul “Belum Siap: Antara Sekolah dan Buku Nikah”.
Ia meminta agar anak-anak di Indonesia dibekali dengan pengetahuan tentang dampak perkawinan anak, karena tidak semua anak mengerti bahaya perkawinan anak.“Ketika anak tahu tentang dampak perkawinan anak, mereka bisa berkata tidak terhadap perkawinan anak. Namun masih banyak anak yang belum mengetahui kesehatan seksual dan reproduksi,” ujarnya.