Pandemi dan Kemiskinan Anak
Krisis akibat pandemi mengakibatkan jumlah penduduk miskin bertambah, yang berarti menambah jumlah anak miskin. Tumbuh dalam kemiskinan berdampak besar pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan masa depan mereka.
Krisis akibat pandemi Covid-19 mempunyai dampak sosial ekonomi pada masyarakat karena jumlah kemiskinan bertambah akibat penurunan dan hilangnya pendapatan rumah tangga. Anak-anak di rumah tangga miskin paling rentan terdampak dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, per Maret 2020 jumlah orang miskin 26,42 juta, bertambah 1,63 juta dibandingkan pada September 2019 (Kompas, 17/7/2020). Angka kemiskinan diprediksi 10,6 persen tahun ini dengan perkiraan tambahan 4 juta orang di bawah garis kemiskinan.
Bertambahnya kemiskinan penduduk akan menambah jumlah kemiskinan anak. Selama ini sekitar 40 persen penduduk miskin berusia anak. Sebelum pandemi, jumlah anak miskin sekitar 13,31 persen dari jumlah total anak yang sebanyak 79,9 juta.
Tumbuh dalam kemiskinan berdampak besar pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan masa depan mereka. Selain mempunyai risiko tertular Covid-19, mereka rentan menghadapi masalah krisis layanan kesehatan dasar, krisis pembelajaran, serta krisis keamanan dan perlindungan.
Baca juga : Anak-anak Korban Tersembunyi Pandemi
Penanganan pandemi Covid-19 memengaruhi layanan kesehatan dasar yang penting untuk kelangsungan hidup dan perkembangan anak-anak. Ini terutama layanan di puskesmas dan posyandu yang selama ini banyak melayani masyarakat miskin.
Survei Kementerian Kesehatan dan Unicef Indonesia menyebutkan, pada Mei 2020, layanan imunisasi di puskesmas 67,96 persen berhenti sebagian dan 32,04 persen berhenti total. Layanan posyandu 64,08 persen berhenti sebagian dan 35,9 persen berhenti total.
Hal tersebut menyebabkan layanan imunisasi berkurang 83,9 persen. Tingkat cakupan imunisasi difteri, pertusis dan tetanus, serta campak dan rubela berkurang lebih dari 35 persen dibandingkan pada periode waktu yang sama tahun lalu.
Berkurangnya cakupan imunisasi pada anak, kata Ketua Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cissy B Kartasasmita, Senin (31/8/2020), bisa menyebabkan wabah baru di Indonesia. Ini terutama wabah terkait penyakit yang seharusnya bisa dicegah dengan imunisasi, antara lain, polio, campak, rubela, dan difteri.
Baca juga : Mengejar Target Cakupan Imunisasi di Tengah Pandemi
Terganggunya layanan posyandu juga mengganggu layanan gizi yang mendukung tumbuh kembang anak berusia di bawah lima tahun (balita). Padahal penurunan bahkan hilangnya pendapatan keluarga telah membuat sejumlah keluarga tidak dapat memenuhi makanan bergizi.
Survei Wahana Visi Indonesia (WVI) terhadap 900 rumah tangga miskin di sembilan provinsi pada 12-18 Mei menunjukkan, penurunan pendapatan berdampak pada 53 persen responden tak mampu menyediakan makanan bergizi.
Dampaknya, hal itu akan meningkatkan risiko kasus balita kurus (wasting), tengkes (stunting) atau gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis, dan obesitas, tiga beban malanutrisi yang ada sejak sebelum pandemi. Data Riset Kesehatan dasar 2018 menunjukkan, lebih dari 2 juta anak balita kurus, 7 juta anak balita tengkes, dan 2 juta anak obesitas atau kelebihan berat badan.
Ketika perawatan kesehatan rutin terganggu, konsekuensinya pada anak-anak bisa sangat merusak. (Sowmya Kadandale)
”Ketika perawatan kesehatan rutin terganggu, konsekuensinya pada anak-anak bisa sangat merusak,” kata Kepala Unit Kesehatan Unicef Indonesia Sowmya Kadandale, Jumat (28/8/2020).
Analisis oleh Universitas Johns Hopkins baru-baru ini memperkirakan, secara global ada tambahan 6.000 anak terancam kehilangan nyawa setiap hari karena penyebab yang dapat dicegah akibat penghentian intervensi penting. Indonesia, kata Sowmya, diidentifikasi sebagai satu dari 10 negara dengan tambahan jumlah kematian anak terbesar.
Darurat pendidikan
Penutupan sekolah untuk mencegah penularan Covid-19 juga meminggirkan anak-anak miskin, terutama di perdesaan, dari pendidikan karena kendala akses teknologi digital dan internet. Banyak dari mereka kehilangan kesempatan belajar, terutama di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) yang sulit dijangkau guru kunjung.
Beralih ke pembelajaran jarak jauh (PJJ) dalam jaringan (daring) juga memberikan tantangan tersendiri bagi guru yang selama ini melaksanakan pembelajaran tatap muka. Kemampuan mengadopsi teknologi beragam pada guru, demikian juga sumber daya digital yang dimiliki guru.
Kendala-kendala tersebut menyebabkan pembelajaran tidak efektif, apalagi jika orangtua tidak bisa mendampingi anak-anak mereka selama belajar di rumah karena harus bekerja atau berpendidikan rendah. Tingkat intensitas interaksi guru dan murid, tingkat pencernaan materi, dan tingkat memahami materi selama PJJ tidak sebaik pembelajaran tatap muka.
Survei oleh WVI terhadap 943 anak dari keluarga miskin di sembilan provinsi menyebutkan, sekitar 68 anak melakukan pembelajaran daring dan luring. Dari jumlah ini, 30 persen kesulitan memahami mata pelajaran dan 21 persen tidak memahami instruksi guru.
Baca juga : Mencegah Bencana Pendidikan
Penurunan efektivitas belajar tersebut, kata Direktur Pendidikan dan Agama Kementerian PPN/Bappenas Amich Alhumami, dalam jangka panjang bisa menurunkan kualitas pendidikan. ”Ini baru bisa diketahui melalui asesmen di akhir pembelajaran,” tuturnya.
Penutupan sekolah yang berkepanjangan akan menurunkan tingkat retensi atau kemampuan mengingat materi dan kelulusan serta memperburuk hasil belajar. Hal ini terutama rentan terjadi pada siswa dari keluarga miskin dan siswa dengan disabilitas. Ancaman terjadi hilangnya pembelajaran (potential lost) yang mungkin melampaui satu generasi siswa.
Laporan Bank Dunia tentang Estimasi Global Dampak Potensial Penutupan Sekolah pada Hasil Sekolah dan Pembelajaran yang dirilis pada 18 Juni 2020 menyebutkan, secara global pandemi dapat mengakibatkan hilangnya pendidikan 0,6 tahun terkait dengan kualitas. Pandemi juga berdampak menurunkan lama waktu sekolah dasar dari 7,9 tahun menjadi 7,3 tahun.
Penurunan lama waktu sekolah inheren dengan meningkatnya angka putus sekolah. Amich memperkirakan pandemi bisa menambah angka putus sekolah yang saat ini mencapai 4,33 juta atau sekitar 6 persen dari total jumlah anak usia 7-18 tahun. ”Angka ini tinggi sekali dan lebih dari 56 persen karena faktor ekonomi,” katanya.
Bertambahnya angka putus sekolah berarti penurunan angka partisipasi sekolah. Pandemi terutama berdampak pada penurunan angka partisipasi pendidikan anak usia dini (PAUD) dan pendidikan tinggi.
Ini akan memperlebar kesenjangan pendidikan antara kelompok masyarakat termiskin dan kelompok masyarakat terkaya. ”Dampak pandemi sangat berisiko tinggi pada keluarga tidak mampu. Dalam situasi normal saja, mereka tertinggal jauh,” kata Amich.
Baca juga : Tantangan Semakin Besar untuk Mengurangi Kesenjangan Pendidikan
Angka partisipasi kasar (APK) SMP/sederajat 90,57 persen pada 2019, dengan capaian 89,68 persen pada masyarakat termiskin dan 91,37 persen pada kelompok masyarakat terkaya. Demikian juga APK SMA/sederajat pada 2019 masih 83,98 persen, dengan capaian 70,14 persen pada kelompok masyarakat termiskin dan 95,26 persen pada kelompok masyarakat terkaya.
Krisis akibat pandemi ini juga memiliki efek buruk pada perkembangan sosial dan perlindungan anak-anak. Karena banyak keluarga jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem, anak-anak di keluarga miskin dan kurang beruntung berisiko lebih besar menjadi pekerja anak, juga menghadapi pernikahan usia anak dan perdagangan anak.
Tekanan ekonomi yang dialami orangtua pada masa pandemi ini berimbas pada meningkatnya kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun verbal. Kemiskinan juga mendorong orangtua mengizinkan anak-anak mereka ikut bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga seperti dilakukan 3,6 persen responden rumah tangga dalam survei WVI.
Kemiskinan juga dikhawatirkan meningkatkan angka pernikahan usia anak sebagai salah satu jalan keluar untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 mencatat angka perkawinan anak di Indonesia terbilang tinggi, yaitu mencapai 1,2 juta kasus, sebagian terbesar karena alasan ekonomi.
Upaya lebih
Dengan sepertiga jumlah penduduk adalah anak-anak dan lebih dari 13 persen di antaranya dari keluarga miskin, dampak sosial ekonomi pandemi ini pada anak-anak miskin akan lebih besar daripada dampak Covid-19. Rumah tangga miskin mungkin akan dapat mempertahankan hidupnya, tetapi kebutuhan dan hak dasar anak-anak dari kelompok ini bisa terabaikan jika tidak ada upaya lebih untuk menanganinya.
Pendekatan moneter melalui bantuan sosial tidak cukup untuk menjaga anak-anak tersebut mendapatkan hak-hak dasarnya. Kemiskinan anak merupakan masalah multidimensi, karena itu perlu pendekatan nonmoneter untuk mengatasinya. Mereka harus dipastikan dapat mengakses hak-hak mereka dengan aman.
Di bidang kesehatan, Cissy mengusulkan, agar imunisasi yang merupakan salah satu hak dasar anak tidak boleh dilewatkan pada masa pandemi ini. ”Pemberian imunisasi bisa diberikan dengan tetap aman dari penularan Covid-19. Modifikasi layanan bisa dilakukan dengan penerapan temu janji,” kata Cissy.
Demikian pula dengan pemenuhan pangan bergizi pada anak-anak. Ketua IDAI Aman Bhakti Pulungan mengatakan, anak dengan gizi buruk rentan mengalami gangguan pada tumbuh kembang. Masalah ini akan berlanjut pada penurunan kognitif dan kualitas diri di masa depan.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto menjamin layanan kesehatan kini sudah lebih baik. Protokol kesehatan untuk layanan imunisasi di fasilitas pelayanan kesehatan sudah diterbitkan. Sebagian besar puskesmas dan posyandu juga sudah mulai membuka layanan dengan berdasar pada protokol kesehatan.
Pemerintah juga mulai menambah anggaran untuk mengatasi masalah dalam pendidikan. Subsidi kuota internet Rp 7,2 triliun, menurut Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Jumeri, salah satunya untuk mencegah hilangnya pembelajaran selama pandemi.
Namun, bantuan ini belum menjangkau siswa yang melakukan pembelajaran luring, bahkan yang tidak bisa belajar sama sekali. Pembukaan sekolah memang akan mengembalikan pembelajaran yang hilang selama PJJ. Namun, pembukaan sekolah di tengah kasus Covid-19 yang terus meningkat juga berisiko meski itu dilakukan di zona kuning dan hijau.
Baca juga : Luar Jaringan, Luar Jangkauan
Menurut Angga Dwi Martha, pakar kebijakan sosial Unicef Indonesia, pemerintah harus menyusun ulang prioritas pendanaan agar tidak berdampak terhadap penyediaan layanan penting bagi anak. Selain itu, pemerintah memberikan ruang di tingkat subnasional untuk menerapkan pendekatan perlindungan sosial khusus.
Kesehatan, pendidikan, dan perlindungan yang terganggu akan memengaruhi tumbuh tumbuh kembang anak, terutama pada anak-anak miskin. Jika tidak diantisipasi dengan baik, pandemi ini akan berdampak besar pada capaian pembangunan sumber daya manusia.