Media Berperan Menghilangkan Stereotip Negatif Penyandang Disabilitas
Kendati hidup di tengah masyarakat, keberadaan penyandang disabilitas tidak banyak mendapat perhatian. Selain hidup dalam kemiskinan, penyandang disabilitas juga kesulitan dalam mengakses pendidikan dan pekerjaan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Isu penyandang disabilitas hingga kini belum menjadi perhatian media di Tanah Air. Pemberitaan yang minim tentang isu disabilitas membuat informasi kepada masyarakat tidak memadai. Padahal, media diharapkan mengedukasi dan mendorong masyarakat akan pentingnya menghargai kaum disabilitas.
Perhatian media terhadap isu disabilitas penting karena media bisa menggambarkan secara akurat dan seimbang tentang disabilitas sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Media dapat memainkan peran menghilangkan stereotip negatif dan mempromosikan hak dan martabat penyandang disabilitas.
”Posisi media sangat kuat untuk mengubah kesalahpahaman masyarakat dan menampilkan penyandang disabilitas sebagai individu yang merupakan bagian dari keragaman manusia,” ujar Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, Harry Hikmat pada Seminar Edukasi Hak Penyandang Disabilitas di Media, Senin (31/8/2020) secara daring.
Seminar yang digelar Dewan Pers dan dibuka oleh Ketua Dewan Pers, Muhammad Nuh, juga menghadirkan pembicara Agoes Abdoel Rakhman (Direktur Pelaksana YPAC Jakara), Cheta Nilawati (wartawan Tempo), dan Asep Setiawan (Anggota Dewan Pers).
Meski memiliki peran penting, menurut Harry, isu penyandang disabilitas jarang diliput di media. Sebaliknya ketika media memublikasikan penyandang disabilitas sering kali penyandang disabilitas distereotipkan secara negatif dan tidak direpresentasikan dengan tepat. ”Konstruksi sosial pemberitaan menempatkan posisi penyandang disabilitas sebagai posisi yang tidak menguntungkan,” ujar Harry.
Padahal, peliputan tentang isu disabilitas seharusnya mendapat perhatian media karena jumlah penyandang disabilitas di dunia dan di Indonesia cukup besar. Secara global, disabilitas di dunia berjumlah sekitar 1,1 miliar jiwa (15 persen dari populasi penduduk dunia).
Di Indonesia, hingga kini belum memiliki data nasional berapa persisnya data jumlah penyandang disabilitas, yang mengambarkan keseluruhan penyandang disabilitas dengan ragam dan karakteristik disabilitas. Kendati demikian, menurut Harry, ada beberapa rujukan yang bisa digunakan, seperti data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018 penyandang disabilitas berjumlah 30,38 juta jiwa (14 persen dari penduduk Indonesia.
Di Kementerian Sosial juga di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) hingga Januari 2020 terdapat 1,3 juta penyandang disabilitas, yang disusun berdasarkan status sosial ekonomi.
Sementara di Sistem Informasi Penyandang Disabilitas (SIMPD) di Ditjen Rehabsos Kemensos per Maret 2020 mengindentifikasikan ragam disabilitas dan kebutuhan penyandang disabilitas sesuai amanat Undang-Undang No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, jumlah penyandang disabilitas mencapai 197.582 jiwa.
”Sekarang sedang dalam pengintegrasian antara SIMPD dan DTKS Kemensos. Mudah-mudahan dengan adanya DTKS yang umum ataupun spesifik yang akan menghimpun data penyandang disabilitas, sudah tentu akan berikan gambaran yang lebih kuat tentang hal-hal yang terkait dengan kondisi dari penyandang disabilitas,” kata Harry.
Muhamamad Nuh menyatakan, disabilitas memiliki kekhususan karena itu dalam pengambilan keputusan tidak bisa semuanya digeneralisasi. Begitu juga dalam layanan harus dikategorikan khusus.
Media harus jadi model
Senada dengan Harry, Agoes Abdoel menyatakan, peran media sangat penting karena media berperan dalam membentuk, mendorong, dan membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghargai penyandang disabilitas.
Media harus menjadi model bagi masyarakat agar tidak melakukan tindakan diskriminatif terhadap kaum disabilitas. (Agoes Abdoel)
”Media harus menjadi model bagi masyarakat agar tidak melakukan tindakan diskriminatif terhadap kaum disabilitas. Di sinilah pentingnya kolaborasi peran media dan masyarakat sebagai komponen penting dalam kontrol sosial,” ujarnya.
Adapun Dheta yang yang mengalami sindrom retina diabetik proliferasi dan mengalami kebutaan setelah mengalami 8 kali operasi, dan tetap menjadi jurnalis berharap media massa menjadi sumber pembelajaran dalam menuju dunia inklusi. ”Isu disabilitas masih beririsan dengan isu kesejahteraan sosial dan kesehatan, yang sudah bergeser ke pemberdayaan tidak lagi melulu charity,” ujar Cheta yang berharap media memudahkan bagi disabilitas untuk mengakses informasi.
Asep Setiawan menegaskan berdasarkan Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2019 akses masyarakat disabilitas terhadap media massa sangat rendah, hanya sekitar 71.96 persen. Bahkan, regulasi media yang memberi advokasi konten media terhadap masyarakat disabilitas masih sangat rendah.
Karena itu, perlu ditingkatkan peran media terkait pemberitaan isu disabilitas, mulai dari menyusun pedoman berita ramah masyarakat disabilitas hingga memperluas akses penyandang disabilitas untuk berita dan informasi, serta mendorong media memperluas konten advokasi masyarakat disabilitas.