Program Bantuan Subsidi Upah Dianggap Belum Berpihak ke Guru Non-ASN
Sejumlah guru non-aparatur sipil negara menganggap berhak mendapatkan bantuan subsidi gaji atau upah dari pemerintah. Jenis bantuan itu dinilai mampu meringankan beban pengeluaran mereka selama pandemi Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah baru saja meluncurkan program bantuan subsidi gaji atau upah dalam rangka penanganan dampak Covid-19. Kelompok guru non-aparatur sipil negara mengkritik persyaratan penerima program karena dianggap tidak sensitif dengan nasib mereka.
Pekerja atau buruh penerima program bantuan subsidi gaji atau upah harus memenuhi enam persyaratan. Syarat pertama, warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan nomor induk kependudukan. Kedua, terdaftar sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan yang aktif dan dibuktikan dengan nomor kartu kepesertaan.
Syarat ketiga, peserta yang membayar iuran dengan besaran iuran yang dihitung berdasarkan upah di bawah Rp 5 juta sesuai yang dilaporkan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Syarat keempat, pekerja atau buruh penerima upah.
Kelima, peserta memiliki rekening bank yang aktif. Syarat keenam, peserta terdaftar sebagai peserta aktif jaminan sosial ketenagakerjaan sampai dengan Juni 2020.
Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI)—organisasi profesi bagi guru sekolah swasta—Suparman, Sabtu (29/8/2020), di Jakarta, mengapresiasi adanya program bantuan subsidi gaji atau upah. Namun, program tidak bisa dinikmati guru sekolah swasta. Kendala utamanya pada persyaratan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan.
Berdasarkan laporan di jaringan PGSI, ada sejumlah guru sekolah swasta sudah lama terdaftar sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan, tetapi kepesertaannya tidak aktif sesuai ketetapan pemerintah, yakni sampai Juni 2020.
Ada pula sejumlah guru sekolah swasta baru mulai mendaftar sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan. Ada juga sejumlah guru yang sama sekali belum mendaftar.
Menurut Sutarman, guru sekolah swasta yang terdaftar di Data Pokok Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Simpatika Kementerian Agama (Kemenag) umumnya berpenghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan. Pemerintah semestinya segera tanggap. Apalagi, guru sekolah swasta saat ini juga ikut terdampak akibat pandemi Covid-19.
Baca juga : Subsidi Upah Mulai Dibagikan, Presiden Berharap Daya Beli Menguat
”Kami berharap, data guru di satuan pendidikan swasta di kedua kementerian itu bisa dikoordinasikan dengan Kementerian Ketenagakerjaan sehingga mereka bisa punya hak sama sebagai penerima bantuan,” ujarnya.
Ketua PGSI Kabupaten Demak Noor Salim menyebutkan, total guru non-aparatur sipil negara (ASN) yang tergabung di PGSI Demak mencapai 6.000 orang. Sekitar 15 persen di antaranya sudah terdaftar sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan. Sisanya sekarang baru proses mendaftar.
Bagi guru yang bekerja di satuan pendidikan swasta, baik di bawah Kemendikbud maupun Kemenag, cenderung enggan mendaftarkan dan membiayai iuran. Kalaupun ada guru anggota PGSI yang jadi peserta jaminan sosial ketenagakerjaan, itu pun mereka mendaftar dan membayar iuran secara mandiri.
Hidup pas-pasan
Sebagian besar anggota PGSI di Demak berpenghasilan di bawah upah minimum karena mereka umumnya dibayar per tatap muka mengajar. Selama pembelajaran jarak jauh karena pandemi Covid-19, guru non-ASN bersertifikasi profesi terbantu dengan tunjangan sertifikasi. Di luar kelompok ini, mereka terpaksa harus berutang demi mencukupi kebutuhan.
”Sebagian orangtua di sekolah swasta hingga sekarang belum membayar sumbangan pokok pendidikan,” ucap Noor.
Ketua PGSI Lampung Asep Sudarsono menceritakan kondisi senada. Di Lampung, dia bisa memastikan hampir 100 persen guru non-ASN dan bekerja di satuan pendidikan swasta belum terdaftar sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan. Jika ada guru yang kini mengurus pendaftaran, mereka melakukannya mandiri tanpa sokongan yayasan.
Ada di antara mereka hanya menerima Rp 100.000-Rp 500.000 per bulan dan itu harus dipotong buat mengiur jaminan sosial.
”Jaminan sosial kesehatan pun sebagian besar mereka harus mengurus sendiri. Padahal, total penghasilan mereka diperoleh dari jumlah jam tatap muka mengajar. Apabila dijumlah, ada di antara mereka hanya menerima Rp 100.000-Rp 500.000 per bulan dan itu harus dipotong buat mengiur jaminan sosial,” tuturnya.
Asep membenarkan, ada relaksasi bantuan operasional sekolah (BOS) Kinerja dan BOS Afirmasi dari Kemendikbud bagi sekolah swasta selama pandemi. Akan tetapi, hingga sekarang, relaksasi tersebut belum sampai diterima.
Siti Marlina, guru honorer di SD Negeri 4 Sidodadi, Kendal, menceritakan, dirinya harus melakoni praktik guru kunjung selama pandemi Covid-19. Keterbatasan kualitas layanan telekomunikasi seluler menjadi pemicu utama. Alasan lainnya, banyak siswanya yang tidak mempunyai gawai.
Baca juga : Subsidi Upah Belum Masuk... Sabar, Nanti juga Cair
Dia mengaku harus mengendarai sepeda motor ke tiga dusun yang menjadi tempat tinggal siswa. Ditambah lagi, dia masih harus pergi ke sekolah setiap hari.
”Ada dana BOS Reguler dan itu bermanfaat bagi saya. Meski begitu, kalau dihitung secara detail, nominal pendapatan dan pengeluaran sama. Penghasilan kerap kali habis untuk beli bahan bakar dan pulsa,” ujar Siti.
Dia sebenarnya berkeinginan mendaftar sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan. Namun, pihak sekolah tidak mendaftarkannya. Hingga sekarang, dia masih mencari informasi cara mendaftar kepesertaan ke rekan kerja sesama guru honorer.
Diperjuangkan
Secara terpisah, Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) menyatakan sikap akan memperjuangkan seluruh guru berstatus honorer dan tenaga kependidikan agar bisa mendapatkan bantuan subsidi gaji atau upah.
Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi, dalam surat kepada Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah tanggal 27 Agustus 2020, mengatakan, pihaknya berharap agar program itu juga dialokasikan kepada honorer guru dan tenaga administrasi di sekolah negeri ataupun swasta yang penghasilannya di bawah upah minimum. Di tengah pandemi Covid-19, mereka bertugas dengan gigih agar pembelajaran tetap berjalan.
”Jumlah honorer guru dan tenaga administrasi sekolah sangat banyak mengingat tidak ada rekrutmen selama sepuluh tahun terakhir. Kepada mereka, kita semua bergantung agar proses pembelajaran dan layanan pendidikan dapat terus berlangsung dengan baik,” tuturnya.
Unifah mengemukakan, PB PGRI memohon kepada Menaker untuk memberikan kesempatan kepada pekerja honorer di sekolah agar memperoleh bantuan subsidi gaji atau upah. Bagi pekerja honorer yang masih dalam proses pendaftaran peserta jaminan sosial ketenagakerjaan, PB PGRI berharap agar pemerintah memberikan kesempatan mereka ikut program.
Tercatat
Direktur Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan E Ilyas Lubis, saat dihubungi terpisah, menyebutkan, dari total sekitar 15,7 juta penerima program bantuan subsidi gaji sudah mencakup pekerja yang berprofesi sebagai guru berstatus non-ASN. Dalam peluncuran program di Istana Negara, Jakarta, Kamis, Presiden secara simbolis menghadirkan beberapa penerima yang di antaranya guru berstatus honorer.
Dia menyebutkan, jumlah peserta jaminan sosial ketenagakerjaan non-ASN mencapai sekitar 2,1 juta orang. Jumlah ini dipastikan sudah termasuk sejumlah guru yang bekerja di satuan pendidikan swasta di bawah Kemendikbud dan Kemenag.
”Kami pernah membicarakan kepesertaan guru non-ASN, terutama guru berstatus honorer, ke program jaminan sosial ketenagakerjaan dengan Kemendikbud. Salah satu isu yang kami bicarakan menyangkut cara membantu pembayaran iuran kepesertaan mereka. Misalnya, memungkinkan tidak APBD dipakai,” tutur Ilyas.
Baca juga : Balada Guru Honorer di Masa Pandemi
Di kalangan guru non-ASN yang mengajar di satuan pendidikan swasta, dia mengamati sudah timbul kesadaran pentingnya menjadi peserta jaminan sosial ketenagakerjaan. Hal ini berkebalikan dengan pemberi kerja mereka.
”Pihak yayasan (sekolah swasta) semestinya mendaftarkan guru menjadi peserta jaminan sosial ketenagakerjaan,” katanya.
Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah Kemenag Suyitno saat dikonfirmasi menyebutkan, terdapat sekitar 740.000 guru yang tercatat di Kemenag. Sekitar 600.000 orang di antaranya berstatus non-ASN. Tidak semua guru itu berpendapatan kecil.
Bagi tenaga pendidik non-ASN yang telah mengantongi sertifikasi profesi, upah mereka bisa lebih besar dibanding tidak bersertifikasi. Ada sekitar 350.000 guru non-ASN belum tersertifikasi.
Suyitno menyebut belum semua tenaga pendidik non-ASN tersebut terdaftar sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan. Ketika diminta bukti kepesertaan, tidak semua guru bisa menyetor. Menurut dia, hal itulah yang menjadi akar polemik bantuan subsidi gaji di kalangan pendidik belakangan.
”Bantuan subsidi gaji diperuntukkan bagi pekerja atau buruh dengan upah di bawah Rp 5 juta. Kalau dengan syarat ini, berarti tenaga pendidik, terutama non-ASN, berhak menerima. Namun, ada syarat berikutnya yang harus dipenuhi, yakni tercatat sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan,” ujarnya.
Suyitno mengatakan, pekan depan akan ada pertemuan koordinasi lintas kementerian/lembaga untuk membahas program bantuan subsidi gaji atau upah. Menurut rencana, pihak Kemenag akan coba mendiskusikan nasib sekitar 600.000 guru non-ASN dalam program itu.
Program bantuan subsidi gaji atau upah bersifat lintas kementerian/lembaga. Harus tepat sasaran dengan data penerima yang akurat.
”Program bantuan subsidi gaji atau upah bersifat lintas kementerian/lembaga. Harus tepat sasaran dengan data penerima yang akurat,” katanya.
Dalam siaran pers, Menaker Ida menyebutkan, program bantuan subsidi gaji atau upah melengkapi program bantuan sosial lainnya. Sebagai contoh, Program Keluarga Harapan, Program Kartu Sembako, dan Program Kartu Prakerja. Ada pula diskon tarif listrik bagi pelanggan 450 VA dan 900 VA subsidi, padat karya infrastruktur, dan stimulus kredit usaha rakyat.
”Pekerja yang tidak mendapatkan ini (program bantuan subsidi gaji atau upah) tentunya bisa mengikuti program bantuan sosial lainnya,” ujar Ida dalam siaran pers.