Mendesak, Pemetaan Masalah dalam Pembelajaran Jarak Jauh
Peta masalah pembelajaran jarak jauh dibutuhkan agar bantuan untuk pendidikan selama masa pandemi Covid-19 dapat tepat sasaran. Jika tidak, bantuan tidak berpihak pada mereka yang membutuhkan.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus bergerak cepat mengatasi masalah dalam pembelajaran jarak jauh, baik secara daring maupun luring. Pemetaan masalah dalam pembelajaran jarak jauh diperlukan agar bantuan pemerintah dapat tepat sasaran sehingga pembelajaran daring ataupun luring bisa lebih efektif.
Rencana pemberian subsidi kuota internet kepada guru, dosen, siswa, dan mahasiswa memang akan mengatasi masalah hambatan kuota internet untuk pembelajaran daring. Namun, penyaluran subsidi kepada seluruh guru, dosen, siswa, dan mahasiswa berbasis nomor telepon seluler yang terdaftar di data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dinilai tidak tepat sasaran.
Saat ini, Kemendikbud tengah mendata nomor telepon siswa yang akan mendapatkan bantuan subsidi kuota internet. Sekolah diminta melengkapi nomor telepon seluler siswa yang aktif melalui aplikasi data pokok pendidikan sebelum 31 Agustus 2020.
Distribusi kuota internet langsung ke nomor telepon seluler tersebut mulai September. Guru akan mendapatkan subsidi kuota sebesar 42 gigabita (GB) per bulan, siswa mendapatkan subsidi 35 GB per bulan, dosen dan mahasiswa akan mendapatkan 50 GB per bulan, dengan nilai satu GB setara Rp 1.000.
Metode tersebut dinilai kurang berpihak kepada mereka yang lebih membutuhkan kuota. Selain itu, ada siswa yang terkendala mengikuti pembelajaran daring karena tidak memiliki gawai. Selama ini, mereka meminjam gawai orangtua atau saudara atau bergabung dengan teman-teman mereka yang memiliki gawai.
”Kami sedang memperjuangkan agar tidak semua anggaran untuk bantuan kuota internet karena di lapangan ada siswa yang tidak mempunyai gawai. Kami mendorong (Kemendikbud) kalau dimungkinkan alokasi anggaran itu disisihkan juga untuk subsidi smartphone (telepon pintar),” kata Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (28/8/2020).
Wakil Ketua Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Aris Adi Leksono juga berharap bantuan pemerintah untuk pembelajaran jarak jauh bukan hanya berupa kuota internet, melainkan juga subsidi transpor untuk guru kunjung. Selama ini, sejumlah guru harus mendatangi siswa untuk memberikan pembelajaran karena siswa tidak mempunyai gawai atau siswa tinggal di wilayah yang belum ada akses internet.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Menengah (PAUD Dikdasmen) Kemendikbud Jumeri mengatakan, siswa yang menggunakan telepon secara bersama-sama masing-masing tetap mendapatkan subsidi kuota internet. Satu nomor telepon bisa didaftarkan untuk lebih dari satu siswa. Jumlah paket subsidi akan dikirim ke nomor telepon tersebut sesuai jumlah siswa yang mendaftarkan nomor tersebut.
Jumeri mengakui pemberian subsidi kuota internet ini belum berbasis kebutuhan. ”Kami kesulitan kalau mendata mana yang kaya dan mana yang tidak dalam waktu cepat. Kami sapu bersih (dulu) karena harus segera disalurkan. Namun, dari subsidi kuota internet ini kami mempunyai data siswa mana yang belum mempunyai gawai, termasuk yang melakukan pembelajaran luring. Mereka yang belum mendapatkan bantuan, nanti langkah berikutnya,” kata Jumeri.
Pendataan
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengatakan, seharusnya pendataan masalah dalam pembelajaran jarak jauh dilakukan sejak awal penutupan sekolah karena pandemi Covid-19. Ketiadaan peta masalah membuat bantuan pemerintah hanya berpihak kepada kelompok tertentu, seperti subsidi kuota internet ini hanya untuk mereka yang memiliki gawai dan mereka yang melaksanakan pembelajaran daring.
”Lagi pula yang melakukan pendataan, kan, tidak mesti Kemendikbud, ada dinas pendidikan dan LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) yang menjadi bagian struktur Kemendikbud di daerah. Seharusnya dari awal Kemendikbud menggerakkan dua lembaga ini untuk mendata permasalahan dalam PJJ (pembelajaran jarak jauh) sehingga intervensi negara ke mereka pun bisa sejak awal PJJ,” kata Satriwan.
Pemberian bantuan yang sama rata tersebut, kata Anggi Afriansyah, peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menimbulkan bias kelas. Sebagaimana pembelajaran daring, lagi-lagi yang diuntungkan masyarakat di perkotaan dan dari kelompok ekonomi menengah ke atas.
Meskipun ada anggaran untuk subsidi kuota internet, kata Anggi, seharusnya tetap ada skala prioritas. Bantuan diprioritaskan kepada siswa dari keluarga miskin yang selama ini tidak mempunyai akses memadai pada kuota internet. Untuk guru, prioritas pada guru honorer karena mereka selama paling terdampak akibat pandemi ini.
”Kemudian, seperti yang ditanyakan banyak pihak, bagaimana mereka yang tidak terakses internet, tidak punya gawai? Apa subsidi bagi mereka. Jika yang mendapat prioritas selalu yang punya akses terhadap fasilitas, tentu menjadi tidak adil,” kata Anggi.