Orangtua dan Siswa Menanti Realisasi Subsidi Kuota Internet
Orangtua dan siswa berbulan-bulan mengeluhkan biaya paket internet yang membengkak akibat pembelajaran jarak jauh. Rencana subsidi kuota internet sangat dinanti-nanti oleh mereka.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan orangtua dan siswa sekolah kian menanti realisasi bantuan subsidi kuota internet untuk pembelajaran jarak jauh. Sebab, masalah kuota internet kerap menghambat proses pembelajaran di tengah pandemi Covid-19.
Selama lima bulan pandemi Covid-19 berlangsung, sejumlah siswa sekolah di Jakarta mengeluhkan borosnya uang untuk membeli kuota internet. Rosita (17), siswa kelas XII SMK Bina Husada Mandiri, Cengkareng, Jakarta Barat, menyebutkan telah habis ratusan ribu rupiah untuk paket data internet selama pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Selama pandemi, Rosita membeli paket internet sebesar 7 gigabita dengan harga Rp 63.000. Paket yang semestinya bertahan untuk pemakaian sebulan kerap habis kurang dari dua minggu. Dia pun kerap membeli paket tambahan sebesar 4 gigabita dengan harga Rp 39.000. Namun, paket itu hanya bertahan sekitar seminggu lebih beberapa hari.
”Akhirnya saya jadi beli paket internet beberapa kali. Kebetulan juga karena di rumah ibu enggak pasang koneksi internet. Gara-gara itu, ibu kadang suka ngomel sendiri,” ujar perempuan asal Pegadungan, Cengkareng, itu saat dihubungi Kompas pada Jumat (28/8/2020).
Liza (17), teman sekelas Rosita, menyebutkan kuota internet sehari-hari habis untuk mengunduh materi pelajaran, soal, video, dan koordinasi tugas lewat telekonferensi. Liza yang dibelikan paket kuota internet keluarga sebesar 20 gigabita oleh ibunya sering menyedot kuota paling banyak saat PJJ. ”Kalau dilihat lagi, paket data itu banyak tersedot saat pakai aplikasi telekonferensi Zoom,” ucapnya.
Sebelumnya, Suryani Indrastuti, siswa kelas XII di salah satu SMA negeri di Jakarta, juga menyampaikan beratnya beban pulsa yang harus ditanggung dari PJJ. Sementara dia harus mengikuti tiga mata pelajaran yang masing-masing berlangsung 1,5 jam (Kompas, 27/8/2020).
Guru dan siswa wajib melakukan tatap muka virtual melalui Google Classroom, Google Meet, atau Zoom selama 15 menit ketika pelajaran dimulai dan 15 menit sebelum pelajaran berakhir. Artinya, ada sekitar 90 menit Suryani harus hadir secara virtual dalam sehari. Di sela-sela 15 menit tersebut ia harus mengerjakan tugas yang modulnya diunduh dari internet. Materi pelajaran juga dicari di berbagai situs internet yang telah diverifikasi oleh guru.
Berkaitan dengan itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengalokasikan dana Rp 7,2 triliun untuk subsidi kuota internet bagi guru, dosen, siswa, dan mahasiswa selama PJJ. Besaran subsidi kuota internet ditetapkan sebesar 35 gigabita per bulan untuk siswa, 42 gigabita per bulan untuk guru, serta 50 gigabita untuk mahasiswa dan dosen. Subsidi kuota internet akan diberikan mulai September hingga Desember 2020.
Belum diketahui mekanisme distribusi subsidi kuota internet tersebut. Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR, Kamis (27/8/2020), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim hanya menyampaikan adanya alokasi anggaran untuk subsidi kuota internet tersebut.
Nadiem mengatakan, Kemendikbud mendapatkan tambahan anggaran Rp 8,9 triliun. Anggaran itu dialokasikan untuk subsidi kuota internet Rp 7,2 triliun dan tambahan untuk tunjangan profesi guru dan tenaga kependidikan serta tunjangan dosen dan guru besar Rp 1,7 triliun.
”Selama ini, kami telah melakukan perjuangan internal untuk bisa mendapatkan anggaran tambahan, anggaran baru untuk bisa menjawab kecemasan masyarakat. Dengan dukungan beberapa menteri lain, kami mendapat dukungan untuk anggaran pulsa bagi peserta didik di masa PJJ ini,” ucap Nadiem.
Para orangtua siswa turut ”menjerit” karena besarnya biaya yang dipikul selama PJJ. Mai (36), warga Kembangan, Jakarta Barat, mengeluhkan kesulitan pembelian paket data di tengah terbatasnya pendapatan suami. Paket seharga Rp 150.000 dengan total kuota internet 20 gigabita menjadi kebutuhan tambahan untuk dua anaknya di rumah.
Mai cukup berat membayar biaya tambahan Rp 150.000 untuk anaknya selama PJJ. Ditambah lagi sekolah swasta tempat anaknya juga mewajibkan pembayaran buku serta iuran bulanan.
”Anak saya kelas III SD dan kelas VII SMP masih harus bayar buku sampai Rp 1,5 juta lebih. Suami saya cuma kerja sebagai pekerja Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) di kelurahan,” ujar Mai.
Ery (44), warga Jelambar, Jakarta Barat, sempat berulang kali membeli paket internet setiap bulan untuk anaknya. Pernah dalam satu bulan, dia membeli paket 5 gigabita sampai tiga kali. ”Pengeluaran internet bisa hampir Rp 200.000 sekarang, mungkin juga terpengaruh dengan penggunaan yang lain,” ujarnya.
Peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Anggi Afriansyah, menuturkan, PJJ selama ini membuat pemangku kebijakan dan masyarakat terjebak paradigma pembelajaran berbasis teknologi dengan internet. Solusi yang ditawarkan Kemendikbud adalah pembelajaran daring yang menyebabkan tertinggalnya anak-anak dari keluarga miskin.
Laporan terbaru Unicef menyebutkan, sepertiga anak di seluruh dunia atau 463 juta anak mengalami kesulitan mengikuti PJJ selama pandemi. Dan, yang memprihatinkan adalah anak-anak dari rumah tangga miskin dan perdesaan paling rawan tertinggal pelajaran selama penutupan sekolah.
Di Indonesia, survei Unicef bersama Kemendikbud menunjukkan sekitar 35 persen siswa yang melaporkan koneksi internet buruk. Survei juga mendata 73 persen anak disabilitas sulit belajar di rumah.
Dengan total jumlah guru, dosen, siswa, dan mahasiswa yang lebih dari 55,7 juta, Kemendikbud harus memastikan distribusi subsidi kuota internet bisa tepat sasaran. Penyaluran bantuan juga harus berbasis kebutuhan dan tidak diberikan dalam bentuk uang, tetapi langsung berupa kuota internet.
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) M Ramli Rahim mengapresiasi langkah yang dijalankan saat ini. Namun, ia berharap agar program seperti itu bukan sekadar trik pemasaran. Ia juga berharap pemberian bantuan tepat sasaran. ”Kami berharap langkah mereka benar-benar menunjukkan kepedulian terhadap pendidikan Indonesia,” kata Ramli.