Di saat warga berburu uang peringatan HUT Ke-75 Kemerdekaan RI, pedagang uang kuno di Jakarta tetap setia merawat rupiah dari masa ke masa. Di tangan mereka, hobi, koleksi, dan investasi menjadi bagian tak terpisahkan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
Di saat warga berburu uang peringatan HUT Ke-75 Kemerdekaan RI, para pedagang uang kuno di Jakarta tetap setia merawat rupiah dari masa ke masa. Di tangan mereka, hobi, koleksi, dan investasi menjadi bagian tak terpisahkan. Sementara bagi numismatis atau pengoleksi uang, setiap koleksi ibarat album sejarah.
Cong Heri Kurniawan (35) sejak kecil menyukai uang, terutama uang logam. Kelak, ia tak menyangka hobi ini membuatnya bertahan belasan tahun sebagai pedagang uang kuno di Pasar Baru, Jakarta. ”Uang logam ini menarik, dia susah dipalsukan. Beda dengan uang kertas,” katanya ketika ditemui di lapaknya, Selasa (25/8/2020) siang.
Heri pun memantau antusiasme warga dalam membeli uang pecahan Rp 75.000 meski tak berkaitan langsung dengan profesinya. Menurut dia, rupiah tidak sekadar alat tukar. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah bangsa.
Boleh jadi, lanjutnya, rencana pemerintah untuk menerbitkan uang edisi khusus kemerdekaan secara berkala bisa memantik minat warga terhadap numismatika.
Kendati demikian, selama uang pecahan Rp 75.000 itu masih aktif sebagai alat tukar, dia tak ambil bagian. ”Kalau uangnya sudah tak beredar di lapangan, baru tuh, kami ikut main. Namun, sekarang, ya, biarkan saja masyarakat mengoleksi uang khusus untuk peringatan kemerdekaan RI itu,” kata pedagang uang kuno sejak 2009 ini.
Heri bukan sekadar pedagang. Dia juga seorang numismatis. Hobi, koleksi, dan investasi. Demikian dia mengibaratkan profesinya. Pengetahuannya tak hanya oral, tetapi juga merujuk ke buku-buku.
Ia dengan semringah menunjukkan Katalog Uang Kertas Indonesia 1782-2018. Buku itu menjelaskan klasifikasi harga uang. Uang yang masih berlaku harganya sesuai dengan nominal. Sementara uang yang sudah tak beredar memiliki tiga klasifikasi harga.
Sebagai investasi, lanjutnya, dia mencontohkan sejumlah pecahan rupiah yang harganya naik signifikan. Misalnya saja uang kertas Rp 100 bergambar bunga bangkai, yang dicetak pada tahun 1959.
”Di tahun 2.000-an, harganya masih sekitar Rp 10.000. Sekarang, di katalog harganya paling murah Rp 100.000 dan paling mahal (kondisi bagus dan belum pernah digunakan) Rp 500.000. Ini, kan, investasi,” ujarnya.
Dia menambahkan, harga uang kuno di lapangan tak selalu mengacu ke katalog. Ketersediaan uang tersebut di pasaran pun turut menentukan harga. ”Jika banjir (banyak dijual), harganya murah. Namun, kalau sulit dicari, harganya makin ’seksi’,” ujarnya lagi.
Pedagang uang kuno lainnya, Syofian (74), menjelaskan, pembeli dagangan paling banyak adalah calon pengantin. Mereka menjadikan uang kuno sebagai mahar pernikahan.
Di lapak pria yang sudah berjualan uang kuno sejak 1998 ini, uang kuno dijual dengan harga terjangkau. Uang logam berbagai tipe dia jual dengan kisaran Rp 20.000.
Menurut Syofian, informasi di internet terkadang menyesatkan. Dia menyoroti uang logam pecahan Rp 1.000 bergambar kelapa sawit. Uang logam itu sempat viral karena pernah dilego hingga jutaan rupiah pada Juni lalu.
Syofian mengerutkan kening ketika ada warga membawa sebungkus uang logam tersebut ke lapaknya. ”Dia meminta saya membeli uang itu sejuta per keping. Saya balik menawarkan ke dia. Saya punya tiga bungkus uang logam kelapa sawit. Saya minta dia membeli Rp 200.000 saja. Terus orangnya langsung pergi. Dia pikir sembarangan saja jualan uang kuno. Lagian uang itu, kan, masih bisa dibelanjakan. Yang lebih kuno dari itu saja tak sampai semahal itu,” tuturnya.
Menurut Fikri Thalib, numismatis yang berdomisili di Jakarta, pengoleksi uang mempunyai berbagai motif. Ada yang bertujuan untuk investasi. Uang itu disimpan dan dijual lagi ketika harganya naik. Selain itu, ada numismatis yang memang hobi mengoleksi uang tanpa menjualnya lagi. Dia masuk dalam kelompok ini.
Fikri mulai mencari uang logam kuno sejak awal tahun 2000-an. Hasrat untuk mengoleksi uang kuno muncul karena Fikri melihat koleksi uang di lemari orangtuanya.
Di masa itu, perdagangan uang kuno masih sepenuhnya luring. Dia berkeliling ke sejumlah kota untuk berburu koleksi. Di Jakarta, ia sering pelesir ke Pasar Baru.
Banyak hal yang bisa dia kenang ketika berburu uang kuno dari lapak ke lapak. Dalam pencarian, dia bisa berjumpa dengan numismatis lain. Bahkan, bisa melakukan barter antarkolektor. ”Jadi, ini soal siasat. Kadang, satu koleksi uang saya bisa mendapat lima uang setelah ditukar, tergantung dari ’peluru’ yang kita punya,” jelasnya.
Selain itu, uang kuno langka biasanya tidak dipajang. Uang langka itu diperagakan hanya setelah pedagang kenal dengan pembeli dan mengetahui pembeli itu adalah kolektor. Bagi Fikri, ini bagian dari seni negosiasi yang tak akan dijumpai lagi dalam perdagangan uang kuno di e-dagang.
”Sejak perdagangan uang kuno merambat ke market place, koleksi saya tak banyak bertambah. Karena sensasinya beda, nuansanya beda. Di market place, harganya sudah harga pasti,” jelas numismatis dengan 200 koleksi uang kertas ini.
Bagi Fikri, membuka album koleksi uang kuno dapat mengurangi stres. Hal ini karena setiap koleksi menyimpan ceritanya sendiri. Koleksi yang paling dia banggakan adalah uang Republik Indonesia Serikat atau RIS (1949-1950).
Sejak perdagangan uang kuno merambat ke market place, koleksi saya tak banyak bertambah. Karena sensasinya beda, nuansanya beda. Di market place, harganya sudah harga pasti.
Menurut Fikri, koleksi uang RIS masih menimbulkan polemik di kalangan numismatis. Ada yang bilang uang itu tak pernah beredar sehingga nominalnya pun tak bisa ditentukan. Ada pula numismatis yang meragukan keaslian uang tersebut.
”Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata tujuannya agar saya mau menukar uang RIS itu dengan koleksinya. Ya, mana bisa. Hehehe,” ujarnya.
Sejarawan Asep Kambali berpendapat, uang tidak sekadar nilai tukar. Uang merupakan arsip sejarah. Uang eksis di waktu tertentu dan menandai peristiwa tertentu di masyarakat. Meski ada yang mengoleksi uang kuno demi manfaat ekonomi, lanjutnya, pada galibnya niat untuk merawat uang kuno tetap baik. Sebab, dengan begitu, dia sudah turut menjaga arsip sejarah.
Asep mencontohkan uang peringatan HUT Ke-75 Kemerdekaan RI yang hanya dicetak 75 juta lembar. Uang edisi khusus ini menandai era 75 tahun kemerdekaan Indonesia. Di saat Indonesia memasuki usia 100 tahun, lanjutnya, pemerintah akan menerbitkan uang edisi khusus lagi. ”Dan uang pecahan Rp 75.000 itu nantinya juga akan menjadi bukti sejarah,” ujar sejarawan anggota tim perancang uang edisi khusus ini.