Hakikat Keberadaan TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik Masih Dipertanyakan
Pada 24 Agustus 2020, TVRI genap berusia 58 tahun. Selama kurun waktu berdirinya itu, TVRI dianggap belum mampu menampilkan konten sesuai hakikatnya sebagai penyiaran publik.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - TVRI kembali diingatkan hakikat keberadaannya sebagai penyiaran publik. Masih ada persoalan tata kelola yang diduga mempengaruhi produksi konten sehingga Lembaga Penyiaran Publik tersebut belum sepenuhnya mencerminkan kepentingan masyarakat.
Manajer Program Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik Darmanto saat dihubungi Senin (24/8/2020), di Jakarta, mencontohkan, dukungan dari supra struktur tentang penyiaran publik hingga sekarang masih lemah. Hal itu terlihat dari masih adanya upaya untuk menarik kembali TVRI dari posisinya sebagai lembaga penyiaran publik (LPP) ke arah fungsi aparatus pemerintah. Lalu, masih adanya persoalan internal yang belum sepenuhnya tuntas dan itu berpotensi mengganggu kinerja TVRI. Misalnya, kasus pemberhentian tiga direktur yang hingga kini belum ada penggantinya, padahal roda organisasi harus terus berjalan.
Kemarin merupakan tepat 58 tahun TVRI berdiri. Darmanto berpendapat, proses transformasi nilai dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Penerangan di era Orde Baru menjadi Lembaga Penyiaran Publik masih membutuhkan perjuangan. Semua pemangku kepentingan, terutama masyarakat, harus terus-menerus disosialisasikan tentang hakikat penyiaran publik. Hal ini penting ketika ada upaya-upaya negatif yang berusaha mengikis keberadaan TVRI sebagai penyiaran publik, masyarakat bisa membela.
Harus diakui secara sosio kultural mayoritas warga Indonesia belum memahami hakikat keberadaan LPP. Kami menangkap kesan warga bersikap tidak acuh. (Darmanto)
"Harus diakui secara sosio kultural mayoritas warga Indonesia belum memahami hakikat keberadaan LPP. Kami menangkap kesan warga bersikap tidak acuh (tidak peduli)," kata Darmanto.
Selain itu, dia menyarankan, antar unsur di internal perlu meningkatkan sinergi sehingga tercipta solidaritas memperbaiki tata kelola sehingga TVRI berkembang semakin maju. Selama ini, nilai-nilai penyiaran publik belum terinternalisasi optimal di internal hingga kerap timbul kesenjangan pemahaman dengan kalangan masyarakat sipil.
Jargon klasik
Pengamat media dari Universitas Islam Indonesia, Masduki, memandang, peringatan hari pendirian TVRI cenderung masih diwarnai jargon klasik, seperti media pemersatu bangsa. Jargon klasik seperti itu dinilai semakin membuat TVRI sebatas media penyiaran milik pemerintah.
Isu-isu aktual tentang kepentingan publik cenderung terabaikan. Dia lantas mencontohkan isu hoaks dan disinformasi yang dipicu pesatnya perkembangan media sosial. Contoh lain yaitu pandemi Covid-19 dan pengaruhnya terhadap dunia pendidikan.
"Untuk jangka panjang, TVRI perlu mempunyai strategi tata kelola yang mendukung kepentingan publik. TVRI juga perlu memikirkan upaya strategis menyikapi perkembangan digitalisasi bisnis media," kata dia.
Ketua Dewan Pengawas LPP TVRI Arief Hidayat Thamrin menyebutkan beberapa refleksi dan harapan untuk peringatan 58 tahun berdirinya TVRI. Pertama, TVRI kembali fokus kepada amanah sebagai televisi publik milik bangsa dan negara. Kedua, isi siaran TVRI sekarang perlu fokus kepada edukasi, hiburan yang positif, seni budaya bangsa, pemberdayaan ekonomi, serta program berita dan informasi sebagai sumber referensi yang netral.
Direktur Utama LPP TVRI Imam Brotoseno saat dikonfirmasi, mengatakan, selama 2,5 tahun mendatang, semua pemancar milik TVRI harus aktif. Saat ini sebagian dari 361 pemancar mati. Selain mengaktifkan ulang, manajemen akan memodernisasi pemancar untuk menuju digitalisasi tahun 2022.
Dia mengklaim, jajaran direksi baru telah menyelesaikan permasalahan. Seluruh karyawan, yakni 5.000 orang, berkomitmen untuk bekerja dan fokus memajukan program.
Mengenai refleksi 58 tahun berdiri, Imam mengatakan, internal sepakat meningkatkan kualitas pelayanan penyiaran. Dia menyebut TVRI berperan memberikan pelayanan informasi, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan masyarakat.