Mewujudkan Kesetaraan Jender di Tempat Kerja
Label beban ganda memicu ketidakadilan jender di tempat kerja. Pelabelan seperti itu hingga sekarang masih mengakar di pola pikir kebanyakan pekerja, perempuan ataupun laki-laki.
Harapan untuk mewujudkan kesetaraan jender di tempat kerja di Indonesia masih jauh dari realitas meski kesadaran di kalangan pelaku usaha mulai tumbuh. Hal itu ditandai oleh masih sedikitnya perempuan yang menempati posisi atas dalam struktur organisasi perusahaan.
Survei ”Women in Business and Management in Indonesia 2019” menunjukkan, 77 persen perusahaan setuju bahwa inisiatif keragaman jender meningkatkan hasil bisnis. Hasil riset ini lebih tinggi daripada rata-rata perusahaan di Asia Pasifik, yaitu sekitar 68 persen.
Namun, berdasarkan hasil riset yang dilakukan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Investing in Women (IW) itu, makin tinggi struktur jabatan, kian sedikit perempuan menjabat. Sebanyak 61 persen perempuan pekerja menduduki jabatan manajer pengawas, 70 persen sebagai manajer menengah, 49 persen manajer senior, dan 22 persen jadi eksekutif puncak.
Baca juga: Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Jender Semakin Berat
Hanya 18 persen perusahaan di Indonesia yang memiliki board mengatakan ketua board adalah perempuan. Lalu, hanya 8 persen perusahaan di Indonesia mempunyai board beranggotakan perempuan dan lelaki secara seimbang.
Riset itu menyasar 12.940 perusahaan di 70 negara. Salah satu negara yang disasar adalah Indonesia. Di Indonesia, riset menyasar pada 416 perusahaan dari berbagai skala usaha dan sektor industri.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia sekaligus pendiri Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) Shinta W Kamdani terkejut mengetahui hasil riset itu. Selama tiga tahun IBCWE berkutat pada kesetaraan jender di tempat kerja, ketidakseimbangan komposisi perempuan dan lelaki di struktur organisasi perusahaan nyaris tak pernah absen dibicarakan.
”Lembaga-lembaga besar di dunia kerap meneliti perkembangan kesetaraan jender di dunia. Hasilnya hampir mirip. Akar tantangan mewujudkan kesetaraan masih sama, yakni patriarki mendorong beban ganda perempuan pekerja tetap lestari,” ujarnya saat menghadiri Kompas Talks yang diadakan harian Kompas dan IBCWE, Rabu (19/8/2020), di Jakarta.
Beban ganda
Beban ganda itu berupa beban pekerjaan yang ditanggung salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Mengutip glosari ketidakadilan jender yang diterbitkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, peran reproduksi perempuan kerap dianggap peran statis dan permanen. Meski ada peningkatan jumlah perempuan di area publik, hal ini tidak diiringi dengan berkurangnya beban perempuan di wilayah domestik atau rumah tangga.
Secara makro, mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2019, tingkat partisipasi angkatan kerja 133,56 juta orang. Tingkat partisipasi lelaki pekerja 83,13 persen, sedangkan perempuan 51,89 persen.
Adapun jumlah penduduk bekerja 126,51 juta orang mencakup 55,72 persen bekerja di sektor formal dan 44,28 persen sektor informal. Sekitar 57,54 persen pekerja lulusan SD/SMP. Shinta meyakini, di antara data itu ada perempuan pekerja. Karena itu, perjuangan kesetaraan ataupun keberagaman jender di tempat kerja mesti didukung pemerintah. ”Pekerja perempuan tak boleh berjuang sendiri,” katanya.
Chief Financial Officer Telkomtelstra Ernest V Hutagalung menuturkan, berdasarkan pengalaman Telkomtestra yang sejak 2016 mengupayakan agar rasio 30 persen perempuan pekerja di divisi dan struktur organisasi terpenuhi, perusahaan menghadapi ketakutan label beban ganda yang tertanam di pola pikir perempuan pekerja. Pola pikir itu diperkuat pandangan lelaki pekerja di sekitar mereka.
Baca juga: Kesetaraan Jender Menggerakkan Perekonomian Negara
”Saya menekankan, rasio representasi jumlah perempuan pekerja penting. Namun, keterpenuhan rasio representasi bukan satu-satunya penanda kesetaraan jender diterapkan di perusahaan,” ujarnya.
Keterpenuhan rasio representasi bukan satu-satunya penanda kesetaraan jender diterapkan di perusahaan.
Laki-laki pekerja didekati dan dijadikan male champion untuk menyuarakan kesetaraan jender. Caranya beragam, antara lain memperbolehkan lelaki pekerja cuti dua minggu ketika istri melahirkan. Itu mengajarkan bahwa pria bertanggung jawab setara mengurus anak sejak dini.
Lelaki pekerja dibiasakan menghargai perbedaan pandangan dari perempuan pekerja. Melalui cara ini, perusahaan berharap, lambat laun tumbuh kesadaran pria bahwa perempuan mempunyai pandangan setara. Suara perempuan punya andil.
Ernest menyadari pendidikan membentuk pola pikir pentingnya kesetaraan jender di tempat kerja. Namun, pendidikan teknologi informasi dan komunikasi dipengaruhi budaya patriarki. Contohnya, keterampilan teknologi informasi cocok bagi pria. ”Sedikit perempuan terampil bidang teknologi informasi komunikasi,” tuturnya.
Terkait hal itu, di Telkomtelstra, ada program peningkatan keterampilan bidang teknologi informasi bagi perempuan agar mereka percaya diri dan bersaing setara dengan pria ketika akan menduduki struktur jabatan tertentu.
Baca juga: Generasi Milenial Lebih Terbuka pada Kesetaraan Jender
President Commissioner PT Paragon Technological and Innovation Nurhayati Subakat menyadari kentalnya budaya patriarki mengekalkan beban ganda perempuan pekerja. Penanaman pola pikir setara dalam keluarga jadi senjata ampuh mengatasi hal ini.
Untuk mendukung pengembangan karier karyawati, dalam perusahaannya, perempuan pekerja yang sudah menikah boleh pindah ke kantor cabang mengikuti suami atau keluarga. Perempuan pekerja juga diberi kesempatan setara untuk naik jabatan tertentu.
Kesetaraan jender di tempat kerja mencakup pula hak atas upah. Bagi perusahaan besar, pemberian upah perempuan dan lelaki pekerja semestinya mengikuti ketentuan upah minimal. Pemerintah bisa tegas menindak.
Namun, bagi usaha skala kecil dan menengah, mengikuti ketentuan upah minimal susah dijalankan karena kebanyakan masih informal. Padahal, jumlah perempuan pekerja terbanyak di sektor itu.
Dukungan pemerintah
Untuk itu, Nurhayati menyatakan, praktik kesetaraan jender di tempat kerja memerlukan dukungan pemerintah, khususnya dalam konteks pengupahan. ”Bagi perusahaan terdaftar, lalu diketahui ada kesenjangan upah, pemerintah (Kementerian Ketenagakerjaan/Kemnaker) mesti bisa menindak,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker Haiyani Rumondang menyatakan, pihaknya mengimbau agar pengusaha mendukung kerja layak bagi perempuan dan lelaki pekerja melalui sejumlah regulasi. Salah satunya, pemerintah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 100 Tahun 1951 tentang kesamaan remunerasi dan pengupahan bagi pria dan perempuan pekerja.
”Harus diakui, kebanyakan masih ada perempuan pekerja tak mau menduduki jabatan tinggi karena khawatir tak bisa mengurus keluarga,” ujarnya.
Australian Embassy Charge d\'Affaires to Indonesia Allaster Cox mengingatkan, pandemi Covid-19 jadi tantangan baru perjuangan kesetaraan pekerja perempuan dan laki-laki. Model bekerja dari rumah (work from home/WFH), misalnya, membuat perempuan bisa bekerja lebih fleksibel sambil mengurus keluarga. Namun, WFH mengekalkan label peran ganda bagi perempuan sehingga produktivitas kerja mereka turun.
Menurut IBCWE Chair of Advisory Board, Debby Allshinta, makna fleksibilitas bekerja cenderung bias. Perempuan pekerja justru mengalami suasana kerja sebaliknya. ”Pembatasan sosial berskala besar akibat pandemi Covid-19 menyebabkan pekerja perempuan terpukul,” ujarnya.
Shinta menambahkan, sebelum pandemi Covid-19, perempuan pekerja terkonsentrasi di sektor jasa, antara lain hotel dan restoran. Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia per Mei 2020, ada 6,03 juta pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja. Mereka berasal dari industri perhotelan, restoran, garmen, alas kaki, ritel, farmasi, dan transportasi publik.
Per April 2020, sekitar 30 persen pekerja perempuan kehilangan mata pencarian. Kondisi pandemi ini telah melampaui skenario ”sangat berat” bagi pekerja perempuan di Indonesia. ”Menempatkan lebih banyak perempuan berisiko menganggur dan memperlebar kesenjangan jender dari sisi upah,” ungkapnya.
Hal itu mengkhawatirkan. Principal Research ILO Linda Vega menyampaikan, kesetaraan jender di tempat kerja bisa berkontribusi positif pada perekonomian. Riset ILO dan IW menemukan, komposisi jender seimbang di board perusahaan di Asia Pasifik memungkinkan perusahaan memperoleh hasil bisnis 12 persen lebih besar. Perusahaan yang dipimpin perempuan mengalami peningkatan hasil bisnis 13 persen lebih besar dibandingkan dengan perusahaan lain.