Mengapa sajen tersebut diletakkan di uwangan? Karena dari situlah air pertama kali masuk hingga memenuhi seluruh area persawahan. Harapannya, doa-doa dan niatan baik sudah ada sejak pertama air masuk dan ikut tersebar.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·5 menit baca
Masyarakat agraris biasanya memiliki cara tersendiri untuk membangun hubungan yang baik dengan segala sesuatu yang terkait dengan lingkungan. Salah satunya dengan selametan sawah seperti yang dihidupi petani-petani suku Osing (suku asli Banyuwangi) di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Samsul (34), warga Desa Kemiren, memiliki lahan sawah dan perkebunan seluas 7 petak dengan ukuran sekitar 60 x 45 meter. Selain padi, aneka tanaman, seperti petai manggis, buncis, timun, dan kacang, juga ia tanam di sana.
Pada Senin (17/8/2020), bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, Samsul mengundang beberapa kerabat untuk turut serta dalam Selametan Sawah yang ia gelar di tengah lahan miliknya. Sekitar pukul 07.30 tradisi Selametan Sawah dimulai. Sebagai tuan rumah sekaligus pemilik hajat, Samsul membuka acara untuk menyampaikan niat-niatnya.
”Hun pengen panenan melimpah, iso dadi berkah nggo keluarga ambi tonggo-tonggo (saya berharap panen melimpah, bisa menjadi berah bagi keluarga dan tetangga sekitar,” ujar Samsul.
Selanjutnya, empat orang pelaku mocoan (membaca) lontar mengambil posisi duduk saling berhadapan. Di depan mereka sebuah bantal berwarna putih dijadikan alas untuk meletakkan buku menyerupai kitab yang merupakan salinan dari Lontar Ahmad atau yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Lontar Hadits Dagang.
Tak jauh dari mereka terdapat meja kecil yang di atasnya terdapat kendi berisi air, bokor berisi air kembang yang ditutupi kain putih, wanci kinangan (piranti untuk menyesap pinang dan kapur sirih), pengasepan (pembakaran bara arang), dan kopi pahit.
Di tengah pembacaan lontar, bokor yang berisi kembang yang sudah dicampur air tersebut diedarkan. Para pelaku mocoan lontar, pemilik sawah, dan kerabat yang hadir dalam selametan sawah secara bergiliran mengambil air campuran kembang atau yang biasa disebut banyu arum tersebut.
Sebagian ada yang meminum banyu arum, sedangkan sebagian lainnya mengambil air untuk diusapkan ke wajah, kepala, hingga tangan. Warga meyakini, air tersebut dapat membersihkan keburukan, menyembuhkan, dan memberikan berkat tersendiri.
Usai pembacaan Lontar Ahmad, Samsul sebagai tuan rumah menyiapkan hidangan tradisional berupa petheteng atau pecel pitik. Pecel pitik merupakan sajian khas suku Osing yang berbahan utama daging ayam kampung.
Ayam tersebut dibentangkan (dipethetheng) dan dijepit dengan tusukan dari bambu lalu panggang di atas bara api. Setelah matang, ayam disuwir-suwir dengan tangan lalu dicampur dengan bumbu pecel khas Osing yang terdiri dari kemiri, kacang tanah goreng, garam, cabai besar trasi bakar, bawang putih, dan kelapa parut.
Khusus bagian leher hingga kepala, sayap, kaki dan pantat (brutu) dipisahkan ke sebuah takir (wadah dari daun pisang). Samsul lantas melengkapinya dengan nasi dan hidangan pelengkap lainnya.
Bagian terpenting dari Selametan Sawah ialah saat samsul membawa potongan ayam lengkap dengan nasi dan hidangan pelengkap ke uwangan (jalan masuk air ke lahan sawah). Samsul juga tak lupa membawa pengasepan kemenyan dari batok kelapa untuk diletakkan di sana.
Dalam tradisi Selametan Sawah tersebut, pemilik sawah akan meletakkan hantaran berupa makanan dan dupa yang terbakar di titik masuknya air di lahan sawah (uwangan). Sebelum meninggalkan pengasepan kemenyan dan potongan ayam tersebut, Samsul kembali berdoa. Lagi-lagi ia berharap agar mendapat hasil panen berlimpah dan sawahnya menjadi berkat bagi lingkungan sekitarnya.
Mengapa sajen tersebut diletakkan di uwangan? Karena dari situlah air pertama kali masuk hingga memenuhi seluruh area persawahan. Harapannya, doa dan niatan baik mengalir tersebar ke seluruh area sawah bersama air melalui uwangan.
Baru setelahnya, Samsul kembali menghampiri para kerabatnya untuk makan bersama. Badan ayam yang tidak dibawa ke uwangan dimakan bersama para kerabat yang hadir.
Dalam kehidupan masyarakat Osing, setiap tahapan budidaya pertanian memang hampir selalu diwarnai dengan ritual atau tradisi doa dan makan bersama. Hal ini menjadi tanda bahwa masyarakat Osing senantiasa berupaya menjaga hubungan yang baik dengan Sang Pencipta, leluhur, sesama manusia, dan alam sekitarnya.
Sekretaris Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Pengurus Daerah Osing Wiwin Indiarti mengatakan, Selametan Sawah atau Selametan Kebonan masih dihidupi oleh suku Osing yang sebagian besar merupakan masyarakat agraris. Namun, dalam pelaksanaannya, ada beberapa perbedaan antara satu desa dan desa lainnya.
Ia mencontohkan ada desa yang melakukan selametan dengan membuat makanan tradisional berupa jenang. Jenang tersebut lantas dibalurkan ke pepohonan yang ada di kebun.
”Kendati ada banyak variasi dalam pelaksanaan Selametan Sawah, semuanya memiliki tujuan yang sama, yaitu memohon agar panenan berlimpah. Selametan ini juga menjadi lambang usaha manusia dalam membangun hubungan dengan Sang Pencipta, leluhur, sesama manusia, dan alam,” tuturnya.
Wiwin mengatakan, segala hal yang ada di dalam tradisi selametan sawah memiliki nilai dan makna yang penting. Sajen atau persembahan contohnya, hal itu menjadi perwujudan kasih sayang atau welas asih sesama makhluk penghuni alam semesta.
Mengapa sajen tersebut diletakkan di uwangan? Karena dari situlah air pertama kali masuk hingga memenuhi seluruh area persawahan. Harapannya, doa-doa baik dan niatan baik sudah ada sejak pertama air masuk dan ikut tersebar ke seluruh area sawah bersama air yang melalui uwangan tersebut.
Bahkan, hidangan pecel pitik yang disajikan untuk dimakan bersama juga dimaknai oleh masyarakat Osing. ”Pecel pitik mengandung makna mugo-mugo barang hand diucel-ucel dadio barang hang apik. (semoga segala yang diupayakan membuahkan hasil yang baik),” ujar Wiwin.
Tradisi masyarakat Osing yang masih menganggap sawah sebagai salah satu yang harus dihormati, dijaga, dan mendapat perlakuan khusus diharapkan mampu menekan laju alih fungsi lahan.
Hingga saat ini, tradisi yang masyarakat Osing masih tumbuh seiring dengan kemajuan Kabupaten Banyuwangi. Tradisi yang masih terjaga tersebut mau tidak mau juga turut menjaga potensi pertanian Banyuwangi.
Produksi padi menjadi potensi pertanian terbesar di Kabupaten Banyuwangi. Tak heran, Banyuwangi menjadi salah satu lumbung padi di Provinsi Jawa Timur. Pada 2019, Banyuwangi berhasil memproduksi 125,215 ton gabah kering giling.
Harus diakui, potensi pertanian yang besar tersebut menghadapi beberapa tantangan, antara lain alih fungsi lahan menjadi lahan permukiman serta industri. Tradisi masyarakat Osing yang masih menganggap sawah sebagai salah satu yang harus dihormati, dijaga, dan mendapat perlakuan khusus diharapkan mampu menekan laju alih fungsi lahan.