JAKARTA, KOMPAS — Akreditasi sekolah sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan dan mengukur kualitas sekolah. Selain itu, hasil akreditasi juga menjadi landasan untuk pemerataan kualitas sekolah. Akan tetapi, realitas yang kerap terjadi adalah hasil akreditasi semata-mata hanya untuk menarik siswa baru.
Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) M Ramli Rahim saat dihubungi, Jumat (21/8/2020), di Jakarta. Menurut Ramli, akreditasi akan sulit dilakukan jika isi penyederhanaan kompetensi inti dan dasar Kurikulum 2013 dilakukan oleh sekolah sendiri, kecuali sekolah yang bersangkutan melapor terlebih dulu kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
”Tim penilai (akreditasi) pasti membutuhkan acuan. Dengan tiga bentuk penerapan atas Kurikulum 2013 seperti sekarang (Kurikulum 2013 utuh, kurikulum darurat Kemendikbud, dan penyederhanaan Kurikulum 2013 yang dikemas sendiri oleh sekolah-sekolah), kami rasa bukan hanya tim penilai yang kesulitan, melainkan juga pengawas sekolah,” ujarnya.
Ditambah lagi ketika pendekatan akreditasi berdasarkan performa sekolah jadi diterapkan, dia mengkhawatirkan pengukuran baik buruk sekolah akan menjadi semakin subyektif. Penilai akan mengandalkan persepsinya.
Peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Anggi Afriansyah, berpandangan senada. Menurut dia, akreditasi diperlukan untuk memetakan dan membuat profil satuan pendidikan. Dengan demikian, pemerintah memiliki informasi yang akurat untuk perbaikan kualitas satuan pendidikan.
Namun, yang disayangkan kemudian adalah hasil akreditasi kerap kali dipakai untuk membuat justifikasi ”sekolah baik” atau ”sekolah buruk”.
Namun, yang disayangkan kemudian adalah hasil akreditasi kerap kali dipakai untuk membuat justifikasi ”sekolah baik” atau ”sekolah buruk”. Label itu menjadi daya tarik ketika penerimaan peserta didik baru. Realitas seperti itu terjadi sebelum pandemi Covid-19.
Pendekatan performa
Pengukuran akreditasi sekolah akan menggunakan pendekatan performa satuan pendidikan. Pendekatan seperti ini menuntut obyektivitas saat penilaian.
Anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M), Itje Chodidjah, mengatakan, pendekatan performa dilakukan dengan mengukur proses yang terjadi di satuan pendidikan, seperti proses pembelajaran dan manajemen. Selain itu, pengukuran juga menyasar mutu lulusan dan tenaga pendidik.
Itje mengatakan, sebelum pandemi Covid-19 terjadi, BAN S/M sudah memikirkan akan menerapkan akreditasi berbasis pendekatan performa pada tahun 2020. Lalu, ketika pandemi berlangsung dan pembelajaran didorong lebih mengutamakan perkembangan anak, yang disiapkan BAN S/M ternyata sejalan.
Baca juga : Perkembangan Karakter Siswa Harus Jadi Indikator Akreditasi
Dengan pendekatan performa, BAN S/M akan melakukan akreditasi terhadap sekitar 5.000 sekolah sepanjang 2020. BAN S/M melakukan pelatihan daring kepada asesor untuk melakukan akreditasi.