Keluarga Berencana Tak Hanya soal Penggunaan Kontrasepsi
Sejak tahun 1990, pemerintah menggeser paradigma Keluarga Berencana dari pemasangan alat kontrasepsi menjadi pembangunan keluarga.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama ini, masyarakat menganggap program Keluarga Berencana atau KB hanyalah berkaitan dengan pemasangan alat kontrasepsi. Padahal, sejak tahun 1990, pemerintah menggeser paradigma program KB ke pembangunan keluarga.
Ketua Tim Pakar Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang juga Kepala Badan Koordinasi dan KB Nasional (BKKBN)—kini bernama Badan Kependudukan dan KB Nasional—di era Presiden Soeharto, Haryono Suyono, dalam webinar ”Keluargaku Indonesiaku”, Selasa (18/8/2020), mengatakan, pendekatan keluarga dalam program KB mampu menurunkan kemiskinan dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia.
Pendekatan pembangunan keluarga itu dinilai memberikan citra lebih positif pada program KB hingga menarik masyarakat lebih luas untuk menggunakan kontrasepsi. Cara ini sempat ditiru sejumlah negara dan berhasil menurunkan kemiskinan di negara mereka, sekaligus menahan laju pertumbuhan penduduknya.
Paradigma tersebut, lanjut Haryono, masih tetap relevan untuk dilakukan dalam pelaksanaan program KB saat ini guna mewujudkan generasi emas Indonesia pada 2045. Pemberdayaan keluarga itu tak hanya menyasar anak balita, remaja, dan warga lanjut usia khususnya yang berasal dari keluarga miskin dan prasejahtera, tetapi juga pemberdayaan ekonominya.
Pendidikan tak hanya mengejar kepintaran, tetapi juga harus memperhatikan pemerataan karena akan menentukan indeks pembangunan manusia. (Haryono Suyono)
Setiap anak juga harus dipastikan mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, termasuk anak perempuan. ”Pendidikan tak hanya mengejar kepintaran, tetapi juga harus memperhatikan pemerataan karena akan menentukan indeks pembangunan manusia,” katanya.
Upaya pemberdayaan keluarga itu kini bisa dilakukan dengan memanfaatkan dana desa. Stimulus dari pemerintah itu bisa dimanfaatkan untuk membangun posyandu, penitipan anak, pendidikan anak usia dini, hingga pengelolaan usaha ekonomi produktif.
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Andalan Kelompok UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera) GKR Mangkubumi mengatakan, peran penting perempuan dalam keluarga tak hanya terkait pendidikan anak, tetapi perempuan juga bisa membantu ekonomi keluarga.
Itu bisa dilakukan, misalnya, melalui program UPPKS yang telah berjalan sejak 2002. Dalam satu kelompok UPPKS biasanya terdiri dari 10 orang dengan sebagian di antaranya ibu-ibu dari keluarga prasejahtera.
Kelompok ini akan saling bergotong royong dan membantu dalam meningkatkan ekonomi keluarga melalui usaha produktif bersama. Upaya ini mampu mendukung perekonomian keluarga, meningkatkan harkat dan martabat perempuan, serta menghasilkan generasi penerus bangsa yang lebih berkualitas.
”UPPKS berbagi peran dengan BKKBN. Jika BKBBN fokus pada KB, UPPKS mendukung pengembangan ekonomi dalam keluarga,” katanya.
Di era kebiasaan baru menghadapi pandemi Covid-19, UPPKS juga mendorong anggotanya agar lebih inovatif dalam mengembangkan produk dan usahanya serta mendorong mereka untuk masuk dalam sistem dagang elektronik (e-commerce) agar mampu bertahan. Karena itu, pegiat UPPKS juga harus melek teknologi hingga pasar mereka semakin luas.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, upaya pemberdayaan perempuan yang selama ini dilakukan guna meningkatkan kualitas keluarga, seperti dalam program UPPKS, sudah tepat karena besarnya peran perempuan dalam keluarga. Survei BKKBN terhadap 20.400 keluarga tentang pembagian peran suami-istri selama pandemi menunjukkan dominannya peran istri dalam berbagai urusan rumah tangga.
Sebagian besar suami-istri berbagi peran yang sama dalam mengurus rumah tangga, kecuali dalam aspek mengerjakan pekerjaan rumah yang masih didominasi istri. Perkara rumah tangga yang didominasi atau hanya dilakukan istri adalah mengerjakan pekerjaan rumah sebesar 50,2 persen, mengasuh anak 27,5 persen, membeli kebutuhan rumah tangga 33,9 persen, dan mengingatkan hidup sehat 14,6 persen.
Peran suami yang dominan atau hanya dilakukan suami saja yang cukup tinggi hanya pada aspek membeli kebutuhan rumah tangga sebesar 12,3 persen serta mengingatkan untuk berpikir dan berperilaku positif 5,7 persen. Namun, nilai yang menggambarkan partisipasi laki-laki dalam mengelola rumah tangga itu tetap lebih rendah dari perempuan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Barat Poppy Sophia Bakur mengatakan, upaya lain yang tak kalah penting dalam pembangunan keluarga berkualitas adalah menyiapkan perkawinan sejak dini serta mencegah perkawinan di usia anak. Kesiapan membangun keluarga itu akan berdampak besar dalam membangun ketahanan keluarga, mendorong kesetaraan jender, hingga menyiapkan sumber daya manusia yang unggul.
Untuk itu, Jabar mengembangkan program pendidikan nonformal untuk perempuan bernama Sekolah Perempuan Capai Impian dan Cita-cita (Sekoper Cinta). Upaya ini diharapkan mampu melahirkan perempuan-perempuan yang bisa meningkatkan kualitas hidup dirinya dan keluarga. Selain itu, metode ini juga diharapkan mampu meningkatkan kesetaraan jender hingga pembangunan keluarga berkulitas, termasuk dalam penurunan angka tengkes.