Suara Anak Saat Bencana Alam dan Pandemi Belum Didengarkan
Banyak anak Indonesia belum dilibatkan dalam pengambilan keputusan saat terjadi bencana, kondisi darurat, dan pandemi. Padahal, mereka adalah kelompok rentan yang terdampak situasi tersebut.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
PURWAKARTA, KOMPAS — Suara anak saat bencana alam, kondisi darurat, hingga pandemi belum didengarkan. Padahal, keterlibatan kelompok rentan ini diharapkan bisa meminimalkan dampak yang muncul pada usia tumbuh kembangnya.
Sejumlah anak dari beberapa daerah rawan bencana di Indonesia diundang menyampaikan pandangan dan harapan dalam dialog daring yang diadakan Save the Children Indonesia, Rabu (19/8/2020). Acara bertajuk ”Membangun Indonesia Tangguh dari dan Bersama Generasi Penerus” itu digelar sebagai upaya pemenuhan hak anak dalam situasi normal ataupun darurat.
”Kami berharap anak dilibatkan secara aktif dalam pendidikan kesiapsiagaan bencana, terutama di desa dan sekolah masing-masing. Mohon maaf, jangan remehkan anak-anak. Mereka memiliki kemampuan komunikasi informal yang bagus memengaruhi orang sekitar,” kata Saripah Nur Aulia (17), perwakilan anak dari Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Dalam kesempatan tersebut, Saripah bersama Shafira Ayuningtyas mewakili suara anak Jabar. Mereka menyampaikan rekomendasi pengurangan risiko bencana, antara lain dengan edukasi kesiapsiagaan bencana yang terintegrasi dan melibatkan anak/remaja (prabencana), membuat ruang bermain anak di pengungsian/pengungsian ramah anak (saat bencana), dan rehabilitasi ketakutan anak akibat bencana (pascabencana).
Menurut Harry Hikmat, Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, anak memiliki peran penting dalam pengurangan risiko bencana. Idealnya anak terlibat dalam pengambilan keputusan menyiapkan respons risiko bencana serta mengidentifikasi tipe-tipe risiko bencana.
Peningkatan peran itu bisa dilakukan dengan membekali mereka dengan sumber informasi untuk mengakses dukungan terkait penanggulangan bencana, membekali anak dengan penilaian risiko bencana dan ketahanan dalam menangani risiko bencana, serta meningkatkan kemampuan komunikasi anak dalam menyebarluaskan informasi lewat media sosial.
Harry menilai, pemahaman setiap individu dalam memaknai bencana itu berbeda. Anak harus paham bahwa mereka tidak hanya menjadi korban yang dipandang tidak berdaya. Mereka bisa berkontribusi dalam upaya pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
”Keterlibatan mereka disesuaikan dengan kelompok umur. Bukan bermaksud eksploitasi, namun menjadi bagian proses pendidikan agar mereka merasakan, menyadari, dan bertumbuh menjadi lebih baik di lapangan,” ucapnya.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily menambahkan, pihaknya tengah membahas Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Bencana untuk menyempurnakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Berbeda dengan peraturan sebelumnya, poin kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana akan semakin diperkaya berdasarkan detail jenis bencana. Penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana juga berpihak kepada anak-anak.
Adapun upaya mitigasi atau pengurangan risiko bencana juga menjadi prioritas. ”Lebih baik mencegah sebelum terjadi (prabencana). Aspek edukasi dan simulasi bencana harus masuk dalam kurikulum pendidikan anak yang disesuaikan dengan potensi rawan bencana di daerah masing-masing,” katanya.
Tantangan ganda
Dewi Soeharto, Wakil Ketua Dewan Pembina Yayasan Sayangi Tunas Cilik, yang menaungi Save the Children Indonesia, menyampaikan, tantangan ganda dihadapi anak yang tinggal di daerah rawan bencana, terdampak bencana, atau mengalami perubahan iklim selama situasi pandemi. Ketidakpastian dan perubahan mendadak yang terjadi membuat anak-anak berada dalam situasi rentan atas berbagai risiko.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, pada periode April-Juni 2020 tercatat 734 kejadian bencana alam di Indonesia. Selama tiga bulan, rata-rata ada delapan kejadian bencana per hari. Sebanyak 33 persen populasi yang terdampak berbagai ancaman bencana di Indonesia adalah anak.
”Hasil survei Save the Children menunjukkan, satu dari dua anak tidak mengetahui cara menyelamatkan diri jika terjadi bencana, termasuk karakteristik penyebaran Covid-19. Hal ini diperparah fakta 90 persen bencana alam berhubungan dengan perubahan iklim yang kian memperburuk dampak bencana tersebut,” ujarnya.
Dewi menilai, kondisi ini membuat anak-anak sangat berisiko terinfeksi Covid-19 hingga kehilangan nyawa. Risiko lain yang dihadapi adalah kehilangan akses pada layanan kebutuhan dasar, kehilangan hak pendidikan, dan terancam mengalami kekerasan.