Perupa Nasirun melalui pameran terbarunya Tirakatan mengajak merenungkan makna terdalam HUT Kemerdekaan RI yang pada 2020 diperingati di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
Tradisi tirakatan bisa dimaknai sebagai bentuk menahan hawa nafsu. Tirakatan bisa pula berbentuk ucapan syukur. Tradisi ini salah satunya biasa dilakukan pada 16 Agustus malam untuk mengucap syukur atas kemerdekaan yang telah diraih bangsa Indonesia. Masyarakat biasanya berkumpul bersama kemudian bersama-sama memotong tumpeng.
Namun, malam tirakatan pada 16 Agustus kali ini berbeda. Tidak ada kumpul bersama untuk merayakan syukur atas kemerdekaan RI. Sepi. Sunyi. Ini tidak lain disebabkan oleh pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 yang masih berlangsung.
Perupa Nasirun menggambarkan suasana itu melalui karya terbarunya di Bentara Budaya Yogyakarta yang berjudul Tirakatan, Minggu (16/8/2020) malam. Pameran disiarkan secara daring melalui akun Youtube ”Tree Channels”. Tampak dalam pameran yaitu manekin-manekin memakai masker. Badan manekin tersebut berpakaian ataupun dibungkus plastik. Benang berwarna mengikat menyelubungi beberapa bagian tubuh manekin.
Sebagai latar manekin-manekin berdiri, dinding ruangan Bentara Budaya Yogyakarta seluas 14 meter persegi diisi penuh lukisan dan gambar yang mendapat goresan cat warna tak beraturan alias abstrak. Di antara manekin itu terdapat coretan tulisan.
”Nasirun, manekin-manekin yang pandai mingkem ini akan menemanimu berjaga dan berkelana di hamparan kanvas luas yang gambar-gambar tak akan bisa dibaca hanya dengan mata. Ini malam korona. Malam ketika pandemi membuat segalanya berubah dan berbeda. Malam ketika dunia bingung dan tak tahu lagi bagaimana membahagiakan manusia...,” begitu penyair Joko Pinurbo atau biasa dipanggil Jokpin coba menguraikan suasana dan menerka perasaan yang tersirat di pameran Nasirun.
Jokpin mengakui, malam menyambut peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Ke-75 RI berlangsung dalam suasana berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Semua warga menyongsong HUT RI dengan prihatin karena pandemi Covid-19. Namun, kondisi ini jangan sampai membuat pesimis.
Terus berimajinasi
Nasirun mengatakan, bagi pelaku seni, pandemi Covid-19 bukan untuk diratapi. Seluruh dunia mengalami pandemi. Seniman dan kreator tidak berhenti. Mereka, termasuk dirinya, tetap berproses.
Secara fisik saya siap diisolasi, tetapi secara imajinasi saya terinspirasi bahwa pandemi Covid-19 menjadi momen saya untuk tetap tegar.
”Secara fisik saya siap diisolasi, tetapi secara imajinasi saya terinspirasi bahwa pandemi Covid-19 menjadi momen saya untuk tetap tegar,” katanya.
Ia berharap, manekin-manekin bermasker bisa menambahkan kesadaran masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan. Malam tirakatan diharapkan menjadi ajang doa semoga Indonesia merdeka dari pandemi Covid-19.
Budayawan sekaligus wartawan Sindhunata mengatakan, seandainya bukan masa pandemi Covid-19, banyak penonton akan hadir di pameran Nasirun. Meski demikian, pameran yang berlangsung tanpa pengunjung dan bertepatan dengan peringatan HUT Kemerdekaan RI membawa pesan syukur yang mendalam.
”Dengan tirakat yang melekat sepi dan derita, kita diajak bersyukur. Di hadapan virus korona tak kasatmata, manusia tak berdaya. Kita diingatkan bahwa diri kita adalah debu,” katanya.
Manusia sekarang sedang pongah dengan kemajuan tak mengenal batas dan membuat alam rusak. Manusia sedang suka mengagung-agungkan dirinya sendiri. Politik bak dagang sapi. Manusia juga memegah-megahkan agamanya sampai lupa diri.
Sindhunata memandang, virus korona mengembalikan manusia kepada hakikatnya, yaitu debu yang mudah musnah. Nafsu akan kemajuan dan kemakmuran yang cenderung mengeksploitasi alam dihentikan. Kesombongan politik dibisukan.
Kemegahan terhadap agama tertentu pun layu. Khotbah-khotbah suci menjadi tak berarti di hadapan umat yang sekarang mengeluh sedih karena sukar memperoleh sesuap nasi. ”Kita renungkan dan kita tirakati,” ujarnya.
Sindhunata mengapresiasi karya Nasirun. Terobosan karya yang dibuat adalah bukti bahwa seniman tidak boleh kalah dengan apa pun.
Manekin-manekin yang biasanya menjadi simbol kecantikan bak peragawati kini memakai atau berselubung plastik yang bisa bermakna pakaian alat pelindung diri atau APD. Benang-benang yang menjerat beberapa bagian badan manekin dapat dimaknai sebagai susah langkah.
Begitu pula dengan tulisan-tulisan komentar di manekin. Misalnya, ”Capek", ”Tuhan rangkullah aku”, dan ”Rindu pulang”. Semuanya itu bisa menjadi simbol perasaan-perasaan yang muncul selama pandemi Covid-19.