Evaluasi Kebijakan Pembukaan Sekolah, Risiko Penularan Terlalu Besar
Banyak pihak mendesak pemerintah untuk menunda terlebih dulu pembukaan sekolah tatap muka. Kondisi pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda penurunan signifikan sangat membahayakan anak, guru, dan orangtua.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembukaan sekolah bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan pembelajaran jarak jauh di masa pandemi Covid-19. Di tengah berbagai keterbatasan dalam penanggulangan penyakit ini, keputusan tersebut justru sangat berisiko menyebabkan penularan, baik bagi siswa, guru, maupun keluarga.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan mengatakan, upaya pengendalian Covid-19 di Indonesia masih terbatas. Itu mulai dari pemeriksaan kasus, penelusuran kontak, kapasitas layanan kesehatan, hingga kedisiplinan masyarakat untuk mencegah penularan dengan protokol kesehatan.
Praktik di berbagai negara membuktikan, pembukaan sekolah menyebabkan penularan kasus Covid-19 semakin meningkat.
”Praktik di sejumlah negara membuktikan, pembukaan sekolah menyebabkan penularan kasus Covid-19 semakin meningkat. Padahal, sistem kesehatan kita sendiri belum mampu menangani kondisi jika terjadi lonjakan kasus. Deteksi pun belum optimal karena sebagian anak dengan Covid-19 meninggal karena terlambat terdeteksi, ujarnya dalam konferensi pers secara virtual di Jakarta, Senin (17/8/2020).
Data IDAI per 10 Agustus 2020 mencatat, terdapat 59 kasus kematian dari 3.928 kasus pada anak yang telah terkonfirmasi positif Covid-19. Dari jumlah itu, sebanyak 42 persen berusia di bawah 1 tahun, 24 persen berusia 1-5 tahun, 20 persen berusia 10-18 tahun, dan 14 persen berusia 6-9 tahun. Sementara itu, anak yang meninggal dengan suspek Covid-19 mencapai 318 anak.
Menurut Aman, pertimbangan pembukaan sekolah yang merujuk pada peta zona risiko penularan yang disusun oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19 tidak tepat. Zona tersebut ditentukan berdasarkan jumlah kasus penularan yang dilaporkan sedangkan manajemen penanganan Covid-19 di Indonesia tidak merata. Daerah yang dinyatakan sebagai zona hijau dan kuning belum tentu kasus penularannya rendah jika jumlah pemeriksaannya juga rendah.
Laporan Forum Ekonomi Dunia (2020) menunjukkan, pembukaan kembali sekolah yang terlalu dini dapat mempercepat penularan Covid-19. Hal ini terutama di negara berkembang dengan pendapatan rendah. Untuk itu, penundaan pembukaan sekolah dapat menyelamatkan nyawa masyarakat.
Penularan pada anak
Aman menuturkan, penundaan pembukaan sekolah tidak hanya untuk melindungi anak dari penularan Covid-19, tetapi juga guru serta anggota keluarga. Anak-anak juga berisiko menularkan virus yang sama besarnya dengan orang dewasa. Selain itu, jumlah anak yang terinfeksi tetapi tanpa gejala atau dengan gejala ringan lebih besar dari orang dewasa. Sementara, banyak anak yang tinggal bersama anggota keluarganya yang lansia ataupun kelompok rentan lainnya.
”Risiko lainnya adalah virus yang terdeteksi pada tinja anak yang tertular Covid-19 lebih lama dibandingkan orang dewasa, yakni sampai lebih dari empat minggu. Kondisi ini juga menjadi ancaman karena akses sanitasi di sebagian wilayah Indonesia masih buruk,” katanya.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahriza Marta Tanjung menambahkan, aturan pembukaan sekolah yang dituliskan dalam surat keputusan bersama empat menteri juga belum berjalan optimal. Keputusan yang disetujui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri tersebut tidak disertai dengan pengawasan yang ketat sehingga masih ditemukan pelanggaran.
Berdasarkan data daftar periksa kesiapan satuan pendidikan Kemendikbud, masih ada sekolah yang tidak mengisi daftar periksa tetapi diperbolehkan untuk membuka sekolah. Daftar periksa ini, antara lain, terkait ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan, kemampuan mengakses fasilitas layanan kesehatan, dan pemetaan warga satuan pendidikan yang tidak boleh melakukan kegiatan di sekolah.
Ketua Forum Guru Independen Indonesia (FGII) Tetty Sulastri menuturkan, pembelajaran jarak jauh sebaiknya tetap menjadi pilihan utama selama pandemi Covid-19 masih terjadi. Guru tetap berupaya untuk mengoptimalkan sistem pembelajaran jarak jauh yang efektif bagi siswa. Pembelajaran jarak jauh pun tidak terpaku hanya dengan penggunaan gawai dan internet.
”Kesehatan anak itu harus menjadi yang paling utama. Pembelajaran di rumah bisa lebih efektif dengan kerja sama dan integrasi dari semua pihak, termasuk antara orangtua dan guru. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan belajar dari rumah. Meski begitu, pemerintah tetap harus berupaya untuk mendukung peningkatan kompetensi guru,” katanya.