Pentas Kolintang Terapung Minahasa Meriahkan HUT Kemerdekaan
Perayaan HUT Ke-75 Kemerdekaan RI dimanfaatkan oleh pegiat seni dan pemerintah di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, untuk mempromosikan kolintang sebagai kekayaan kultural Indonesia dengan pentas terapung.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MINAHASA, KOMPAS — Hari Ulang Tahun Ke-75 Kemerdekaan RI dimanfaatkan oleh pegiat seni dan pemerintah di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, untuk mempromosikan kolintang sebagai kekayaan kultural Indonesia. Kolintang diharapkan juga dapat diterima sebagai warisan budaya dunia sumbangan bangsa Indonesia.
Salah satu kelompok musik kolintang asal Kecamatan Tondano Barat bernama D’Maestro, yang dibawahi Sanggar Seni Budaya dan Bahasa Benteng Moraya, menggelar upacara sekaligus pementasan kecil di tepi Danau Tondano untuk merayakan HUT Kemerdekaan RI, Senin (17/8/2020). Uniknya, delapan personel kelompok itu bermain di atas panggung apung dari kayu yang dirakit di atas lima perahu nelayan sambil mengenakan baju adat kabasaran.
Mereka mengiringi lantunan lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” dalam upacara kecil yang dipimpin Camat Tondano Selatan Johnny Tendean. Setelah upacara, mereka juga memainkan berbagai lagu nasional, seperti ”Rayuan Pulau Kelapa” dan ”Hari Merdeka”; pop daerah, seperti ”Oh Minahasa” dan ”Sedingin Air Danau Tondano”, serta lagu populer lainnya.
Ketua Sanggar Benteng Moraya Fery Koyongian mengklaim, penampilan terapung ini adalah yang pertama kali dilakukan di Minahasa. Ia mengakui, kelompoknya terinspirasi kelompok kolintang lain dari Minahasa Utara yang menggelar pentas kecil di puncak Gunung Klabat, sekitar 1.995 meter dari permukaan laut.
”Sebagai pegiat seni di Tondano, kami juga berupaya mencari ikon daerah kami. Salah satu anggota kami mengusulkan tampil di atas Danau Tondano yang juga danau penting di Minahasa. Usul kami ini ternyata mendapat dukungan pemkab dan pengurus pusat Pinkan (Persatuan Insan Kolintang Nasional) Indonesia,” kata Fery.
Dia mengungkapkan, bermain kolintang sambil mengapung di atas air pun memberi tantangan baru. Di tengah cuaca yang berangin sehingga permukaan air danau bergejolak oleh ombak, para pemain harus menguatkan kakinya demi menjaga keseimbangan.
Namun, bagi Fery, inti dari pementasan itu adalah pelestarian kolintang. ”Kami semua, sebagai pemain dan pelatih, ingin menunjukkan semangat kami melalui atraksi ini. Kami berharap dapat menjadi contoh generasi muda untuk melestarikan dan mengembangkan kolintang,” kata Fery.
Pementasan ini digelar setelah Pinkan Indonesia, Pemprov Sulut, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika menggelar kompetisi kolintang virtual pekan lalu. Ketua Harian Pinkan Indonesia Jopie Rory mengatakan, kompetisi serta pementasan ini digelar untuk menggairahkan warga di Minahasa Raya dan wilayah lain di Indonesia untuk melestarikan dan mengembangkan seni musik dengan kolintang.
Sejak Pinkan Indonesia dibentuk pada 2007, sudah ada 10 dewan pengurus daerah di seluruh Indonesia serta dua komisariat di Amerika Serikat dan Australia. Saat ini ada 600-1.000 sanggar kolintang di seluruh Indonesia. ”Saya yakin keberadaan kolintang masih masif di seluruh Indonesia, masih digunakan untuk berbagai kegiatan,” katanya.
Menurut Jopie, kolintang memang lahir dari tanah Minahasa. Namun, keberadaannya ikut memperkaya kebudayaan di Indonesia. Kolintang pun bukan lagi hanya milik orang Minahasa, melainkan milik bangsa Indonesia. ”Kolintang turut mengisi keberagaman sepanjang 75 tahun perjalanan bangsa kita,” kata Jopie.
Kolintang pun tercatat sebagai warisan budaya tak benda Indonesia di Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sejak 2013. Namun, Pinkan Indonesia mendorong pemerintah untuk mengusung ansambel musik kolintang kayu menjadi warisan budaya dunia di UNESCO.
Menurut Jopie, hal ini akan makin mengukuhkan kolintang sebagai budaya milik bangsa Indonesia. Hal ini untuk mencegah beberapa negara, seperti Filipina, Malaysia, Brasil, Argentina, dan Afrika Selatan mengklaim kolintang sebagai kebudayaan negara mereka. Sebab, negara-negara itu disebut Jopie memiliki alat musik yang serupa.
”Filipina, misalnya, punya semacam kolintang dari kayu yang disertai perkusi. Karena itu, dalam kerangka nasional sebagai NKRI, kita harus sama-sama memperjuangkan kolintang menjadi warisan budaya di UNESCO agar jelas bahwa kolintang berasal dari Indonesia,” kata Jopie.
Di sisi lain, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Minahasa Teddy Sumual menyatakan kebanggaannya mendengar denting kolintang mengiringi lantunan ”Indonesia Raya” pada HUT Ke-75 Kemerdekaan RI. Semakin spesial, kolintang untuk pertama kali dimainkan langsung dari atas permukaan Danau Tondano.
Untuk turut melestarikan kolintang dan mengusungnya sebagai warisan budaya dunia, Pemkab Minahasa akan mendorong program pengadaan seperangkat kolintang di desa hingga 2021. Jika program itu berjalan lancar, ke-227 desa di Minahasa akan ketambahan minimal seperangkat alat kolintang kayu.
Kemudian, kolintang akan dijadikan sarana pemberdayaan masyarakat oleh Pemkab Minahasa. ”Kami akan buka ruang untuk tampil. Ada insentif yang diberikan di situ sehingga kami harap semangat warga untuk bermain kolintang makin besar,” kata Teddy.
Untuk saat ini, kebanyakan sekolah dan rumah ibadah di Minahasa memiliki alat kolintang. Teddy mengatakan, kolintang pun masih menjadi alat musik utama yang dihadirkan dalam acara-acara resmi.
Menurut Teddy, kolintang juga mengandung nilai-nilai gotong royong, persatuan, dan kebersamaan. ”Kolintang berisi 5-12 pemain. Untuk menghasilkan kesatuan bunyi yang harmonis, semua harus berkomunikasi, bekerja sama, dan saling memahami. Kolintang pun bisa mempersatukan bangsa kita,” katanya.