Memerdekakan Pers, Memerdekakan Masyarakat
Dahulu, pers menjadi alat perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Kini, pers menjadi alat perjuangan untuk menyampaikan kebenaran kepada masyarakat. Pers yang merdeka dan profesional dapat menyampaikan kebenaran.
”Jalan untuk mencapai kemerdekaan pers tidak melalui gedung Volksraad di Pedjambon, melainkan di atas padang surat kabar sendiri.” (Mohammad Hatta)
Pada masa perjuangan kemerdekaan, Mohammad Hatta atau Bung Hatta mengajak insan pers untuk berjuang memerdekakan diri dengan menyampaikan informasi yang benar, bukan dengan meminta kepada penguasa. Gedung Volksraad, kini Gedung Pancasila, pada masa penjajahan Belanda merupakan kediaman panglima angkatan perang kerajaan Belanda.
Informasi yang benar, akurat, dan kredibel merupakan bentuk kemerdekaan pers itu sendiri. Pemikiran salah satu pendiri bangsa ini semakin relevan dalam konteks jurnalisme di tengah lanskap baru pers yang berkembang seiring perkembangan teknologi digital saat ini.
Teknologi digital telah mengubah cara masyarakat mendapatkan informasi. Survei yang dilakukan Dewan Pers pada 2019 menyebutkan 70 persen masyarakat Indonesia kini mengandalkan media sosial untuk mendapatkan informasi.
Akses ke teknologi digital juga membuat semua orang merasa bisa ”membuat” informasi, yang sayangnya sering kali tanpa dukungan data yang memadai dan menyebarkannya melalui platform media sosial. Media sosial pun menjadi kanal bebas penyebaran informasi yang acap kali tidak akurat tentang berbagai hal, terutama mengenai kesehatan dalam masa pandemi ini.
Membanjirnya informasi yang tidak akurat dan hoaks atau kabar bohong terkait Covid-19 menghambat upaya untuk mengatasi pandemi ini. Informasi yang salah dan hoaks berpotensi membuat masyarakat bingung, bahkan bisa menjerumuskan masyarakat dalam bahaya.
Di Iran, misalnya, lebih dari 720 orang tewas karena menenggak alkohol yang dipercaya dapat mengatasi Covid-19 (niemanlab.org, 10 Agustus 2020). Di Indonesia beberapa waktu lalu sejumlah orang teridentifikasi positif Covid-19 setelah mengambil paksa jenazah pasien Covid-19. Seorang pasien Covid-19 tewas setelah jatuh dari balkon lantai dua rumah sakit karena berusaha kabur.
Hingga lima bulan setelah kasus Covid-19 dinyatakan ada di Indonesia, masih banyak masyarakat yang belum percaya bahwa pandemi ini nyata. Upaya pers menyampaikan informasi terkait Covid-19 tak jarang berbalik arah, media dituding menjadi bagian dari teori konspirasi Covid-19.
Baca juga : Informasi, Komoditas yang Mudah Rusak Selama Pandemi
Ketidakpercayaan tersebut menjadi tantangan bagi pers untuk terus memberikan asupan informasi yang dapat dipercaya kepada masyarakat. Lebih dari informasi di media sosial, yaitu informasi yang bernilai dan menjadi panduan bagi masyarakat.
Pers, kata praktisi dan pengamat media Nasir Tamara, harus menguasai konten untuk mengisi kekosongan data di media sosial. Kemampuan wartawan untuk memanfaatkan data raksasa (big data) menjadi kelebihan untuk melawan informasi tak akurat dan hoaks yang beredar di media sosial. Hoaks tidak hanya membahayakan masyarakat, tetapi juga keamanan negara.
”Media itu seperti udara, selalu dibutuhkan masyarakat. Masyarakat tidak bisa hidup tanpa informasi yang benar, yang terverifikasi, berimbang, dan beretika. Karena itu, setiap satu hoaks harus dilawan. Buat kontra dari itu (hoaks),” kata Nasir yang juga pengajar mata kuliah Keamanan Nasional di pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Sabtu (15/8/2020), ketika dihubungi dari Jakarta.
Tantangan berat
Kekosongan data di jejaring media sosial membuka pintu bagi anggota masyarakat, baik sengaja maupun tidak sengaja, untuk membuat dan menyebarkan informasi yang salah dan juga hoaks. Tidak ada solusi mudah untuk ini, tetapi media memainkan peranan penting untuk memeranginya ataupun memperburuknya.
Media itu seperti udara, selalu dibutuhkan masyarakat. Masyarakat tidak bisa hidup tanpa informasi yang benar, yang terverifikasi, berimbang, dan beretika.
Berkembangnya lanskap baru media tak dimungkiri sering kali menjadi godaan bagi media untuk lebih mengedepankan kepentingan ekonomi. Beradu kecepatan dengan mengabaikan verifikasi untuk mengimbangi media sosial membuat berita untuk menarik perhatian masyarakat, tetapi mengabaikan prinsip-prinsip jurnalistik.
Pernyataan seorang influencer bahwa dia ternyata tidak bisa percaya pada media karena informasi dari media yang diikutinya ternyata salah harus diterima sebagai evaluasi bagi media untuk berpegang teguh pada prinsip-prinsip jurnalistik dalam bekerja. Kesalahan informasi di media bisa menggerus kepercayaan masyarakat pada media.
”Ini tantangan, apakah pers masih mampu menjaga integritasnya sebagai pers? Apakah prinsip-prinsip jurnalistik telah larut pada kemajuan teknologi? Apa pers tetap sebagai entitas yang diharapkan publik? Ini tantangan berat (bagi pers),” kata pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Pinckey Triputra, Rabu (12/8/2020).
Media sosial tidak boleh membuat pers melupakan nilai-nilai jurnalistik. Berbeda dengan media sosial, pers mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat. Sebagai pilar keempat demokrasi, pers mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan informasi yang mendidik, mencerdaskan masyarakat, menghibur, juga sebagai kontrol sosial.
Tantangan menjaga nilai-nilai itu semakin besar. Krisis ekonomi yang menimpa media konvensional menyusul kehadiran platform media global, kini diperparah oleh krisis akibat pandemi Covid-19, memang menempatkan media pada persimpangan jalan. Ada yang memilih berhenti, ada yang menyerah, tetapi lebih banyak yang bertahan dengan berbagai upaya untuk tetap menjaga integritasnya.
Baca juga : Peran Media sebagai Pengawas Semakin Penting di Masa Pandemi
Tidak ada solusi yang sederhana untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi. ”Tetapi, bagaimanapun juga, teknologi tak tergantikan manusia untuk memberikan penilaian moral. Jurnalisme itu bukan hal yang teknis, melainkan moral. Dan, ini ada pada pers yang profesional,” kata Satrio Arismunandar, wartawan senior, dalam perbincangan dengan Kompas, beberapa waktu lalu.
Menjaga profesionalisme pers berarti juga menjaga kemerdekaan pers. Dan, kepentingan bisnis hendaknya tidak berada di atas profesionalisme pers karena publik membutuhkan pers yang profesional. ”Masyarakat (tetap) merindukan pers meski ada media sosial,” kata Pinckey.
Berkolaborasi dengan memanfaatkan media sosial menjadi satu solusi untuk memerangi hoaks. Jaringan media sosial memungkinkan pers menciptakan komunitas dalam komunitas. Dalam lanskap baru ini, jaringan media sosial juga menjadi ruang publik untuk berkoordinasi.
Nasir yakin, pers mampu menghadapi segala tantangan tersebut. Peran pers semakin penting untuk menyampaikan kebenaran di era pasca-kebenaran ini. ”Pers itu cahaya supaya orang tidak jauh pada kegelapan. Karena itu, pers harus ada (untuk masyarakat),” kata Nasir.