Kedermawanan yang Menyatukan Bangsa
Nilai agama dan budaya menjadikan Indonesia salah satu bangsa paling murah hati di dunia. Kedermawanan yang mereka menunjukkan tak hanya menumbuhkan rasa senasib sepenanggungan, tapi juga mengikat persatuan bangsa.
Sejak pandemi Covid-19 menerpa Indonesia awal Maret 2020, masyarakat aktif menggalang berbagai aksi sosial untuk membantu warga lain. Ada yang menggantung sembako di pagar rumah dan bebas diambil oleh siapa pun, membagikan nasi bungkus, atau membuka warung makan gratis untuk mereka yang tetap harus bekerja demi upah harian yang tak tentu.
Ada pula yang membuat baju pelindung diri dan tabir muka (face shield) untuk petugas kesehatan atau masker kain gratis untuk masyarakat. Sebagian orang membuat dan membagikan jamu agar daya tahan tubuh terjaga. Sejumlah profesional pun memberikan layanan gratis mulai dari konsultasi kejiwaan, tips bugar di rumah, hingga seminar berkebun di lahan terbatas.
Sebagian orang dan lembaga perantara filantropi (intermediary) juga menggalang dana melalui media sosial ataupun transfer bank. Dana yang terkumpul disalurkan kepada mereka yang membutuhkan dalam berbagai bentuk, baik barang maupun uang. Bantuan itu tak hanya menyasar manusia, tetapi juga hewan-hewan jalanan yang juga terdampak langsung pandemi.
Baca juga : Sedekah Itu Menyehatkan
Bukan hanya itu, sebagian kalangan juga menggalang donasi gawai untuk anak-anak sekolah yang kesulitan dengan program pembelajaran jarak jauh. Ada pula yang mengabarkan kebaikan, membagikan semangat, kisah inspiratif, hingga mempromosikan dagangan seseorang yang sepi pembeli. Tak mau tertinggal, sejumlah pegiat seni dan artis pertunjukan juga menggalang konser amal, baik secara virtual maupun melalui televisi.
Korporasi pun juga ikut andil. Berbagai program tanggung jawab sosial banyak diarahkan untuk membantu tenaga kesehatan maupun masyarakat umum. Tanoto Foundation, misalnya, melatih kader posyandu, guru, dan kepala sekolah secara daring untuk meningkatkan mutu pendidikan dan mengatasi persoalan gizi.
Namun, keterbatasan infrastruktur internet di negeri ini sempat menghambat pelatihan daring meski, kata Direktur Komunikasi Tanoto Foundation Haviez Gautama, pelatihan digital, misalnya, dapat diikuti peserta dari Papua.
Semua orang bahu-membahu, memberi perhatian kepada sesama. Banyak di antara mereka berbagi harta, tenaga, dan pikirannya, yang sebenarnya juga terdampak korona. Bahkan, tak jarang mereka juga dililit persoalan rumit akibat hilangnya sumber pendapatan mereka. Namun, perasaan senasib sepenanggungan menjadikan rakyat Indonesia tanpa dikomando bergerak bersama, saling membantu.
”Situasi prihatin saat ini justru disikapi masyarakat secara positif, bukan apatis,” kata Ketua Program Studi Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran Risna Resnawaty, Selasa (11/8/2020). Ketidakjelasan masa depan yang dipicu oleh pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru justru melunturkan egoisme masyarakat yang sering muncul dalam kondisi normal.
Inilah rakyat Indonesia, sifat sejati warga +62. Ajaran agama dan budaya lokal dari beratus suku bangsa yang ada menjadi pengikat anak bangsa untuk selalu peduli dan saling membantu saudara-saudara mereka dalam kondisi apa pun.
SItuasi prihatin saat ini justru disikapi masyarakat secara positif, bukan apatis.
Semua agama mengajarkan umatnya untuk saling berbagi dan peduli dengan sekitarnya. Ada zakat, infak, sedekah, kolekte, punia, derma, atau berbagai bentuk sumbangan lain yang telah menjadi pengikat kemanusiaan kita.
Baca juga : Berbagi Dimulai dari Sekitar Rumah
Sementara itu, tradisi lokal mengajarkan untuk gotong royong, jimpitan, sinoman, cangkingan di Jawa, perelek (Sunda), mapalus (Minahasa), masohi, dan patita (Ambon), atau berbagai budaya lain yang menunjukkan cinta kasih kepada sesama. Nilai budaya justru menjadi pengasah sifat kasih sayang manusia yang dibawa sejak lahir.
”Pandemi menjadi salah satu pemicu yang meningkatkan kegiatan filantropi masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Hamid Abidin. Perkumpulan Filantropi Indonesia kini beranggotakan 80 lembaga dan 30 individu yang bergerak dalam berbagai bidang.
Sejak awal pandemi di Indonesia hingga akhir Juni 2020, Perkumpulan Filantropi Indonesia mencatat ada sekitar Rp 905 miliar dana yang dikumpulkan berbagai pihak guna menanggulangi dampak Covid-19. Jumlah itu hanya berdasarkan data sumbangan yang terpantau di media cetak dan media daring. Padahal, tidak semua penyumbang atau lembaga penggalangan dana melaporkan jumlah dana yang berhasil mereka himpun.
Jumlah sumbangan yang diberikan masyarakat secara langsung (direct giving), tidak melalui lembaga, dipastikan jauh lebih besar. Nilai sumbangan langsung itu diperkirakan Hamid mencapai lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan sumbangan yang terdaftar dan dilaporkan. Belum lagi, jika bantuan non-material ikut diperhitungkan, seperti sumbangan pikiran, tenaga, dan keahlian.
Pandemi Covid-19 juga memunculkan fenomena baru dalam dunia filantropi Indonesia. Meski peran lembaga pelaksana filantropi (implementing) agak berkurang akibat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar di sejumlah daerah, gairah warga menyumbang terutama lewat pemberian langsung justru meningkat pesat, baik dalam bentuk filantropi akar rumput yang dilakukan masyarakat maupun filantropi digital yang digerakkan anak milenial.
Baca juga : Virus Berbagi Berkah dari Warung Sedekah…
Indonesia memiliki potensi kedermawanan yang sangat besar. Potensi zakat saja sesuai Indikator Pemetaan Potensi Zakat, Pusat Kajian Strategis Badan Amil Zakat Nasional, pada 2019 mencapai Rp 223,8 triliun. Jumlah ini dipastikan akan naik tiap tahun. Sementara potensi kurban Idul Adha pada 2020 menurut Ekonomi Kurban 2020, Institute for Demographic and Poverty Studies, mencapai Rp 20,5 triliun. Potensi wakaf pada 2019, menurut Badan Wakaf Indonesia, sebesar Rp 77 triliun.
Namun, tentu saja baru sebagian kecil potensi kedermawanan itu yang tergarap. Selain lebih suka memberikan bantuan secara langsung, sebagian masyarakat lebih suka tidak menyebutkan identitas mereka saat menyumbang. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga perantara dan pelaksana filantropi masih cukup rendah.
Besarnya filantropi itu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling murah hati di dunia. World Giving Index Edisi ke-10 yang diterbitkan Charities Aid Foundation (CAF), 2019 menempatkan Indonesia sebagai negara ke-10 yang paling dermawan selama satu dekade terakhir. Meski demikian, indeks itu menjadikan Indonesia sebagai negara nomor satu yang paling berkembang kedermawanannya.
Hal yang membedakan kedermawanan di Indonesia dan negara lain menurut CAF adalah masyarakat Indonesia tidak menunggu kaya terlebih dahulu untuk berbagi. ”Ajaran agama mendorong berapa pun untuk disumbangkan dan diberikan karena sekecil apa pun itu memiliki nilai,” tambah Hamid.
Sementara itu, di negara-negara lain, filantropi berkembang karena didorong negara. Pemerintah menyediakan berbagai data penunjang, mulai dari potensi sumbangannya hingga pola dan perilaku masyarakat dalam menyumbang. Negara juga memberikan apresiasi sumbangan yang diberikan warganya, mulai dari penghargaan hingga pengurangan pajak.
Pemerintah juga akan mengumumkan orang yang paling banyak menyumbang. Metode ini sekaligus sebagai alat kontrol publik untuk mengetahui ke mana orang-orang kaya di negara tersebut menggunakan uangnya.
Sikap kedermawanan masyarakat Indonesia itu, lanjut Risna, menjadi modal penting bagi pembangunan. Jika pemerintah bisa mengelola secara tepat, ”Potensi itu bisa dimanfaatkan untuk mempercepat pencapaian program-program pembangunan, khususnya yang terkait kesejahteraan sosial,” katanya.
Belum terkoordinasi
Meski murah hati, sumbangan masyarakat Indonesia umumnya diberikan secara langsung kepada orang yang membutuhkan, bukan melalui lembaga perantara filantropi. Metode ini muncul karena masyarakat memegang kuat ajaran ”jika tangan kanan memberi, maka tangan kiri jangan sampai tahu”.
Ajaran itu membuat banyak sumbangan ke lembaga filantropi hanya tercatat sebagai Hamba Allah atau NN alias no name. ”Masyarakat cenderung kurang suka dengan hal-hal yang bersifat formal,” kata Risna.
Namun, kebiasaan menyumbang langsung tanpa mau terjebak formalitas itu berisiko. Kebiasaan itu membuat audit sumbangan menjadi rumit. Proses pengelolaan filantropi yang transparan, akuntabel, dan profesional pun jadi terkendala. Ketiadaan data penyumbang juga membuat upaya menjaga dan merawat donatur agar menjadi penyumbang tetap atau rutin dalam sebuah lembaga filantropi sulit dilakukan.
”Yang dilarang ajaran agama adalah pamer, bukan mencatatkan sumbangan,” kata Hamid. Karena itu, lembaga filantropi, khususnya filantropi agama, perlu mendorong donaturnya untuk mencatatkan sumbangannya. Pencatatan itu tidak akan mencemari kesukarelawanan mereka karena data itu juga tidak untuk disampaikan ke publik.
Meski demikian, tidak ada salahnya memberikan sumbangan langsung kepada mereka yang membutuhkan. Ada kalanya membagikan ikan langsung lebih diperlukan daripada harus memberi kailnya terlebih dahulu. Namun, pemberian langsung bersifat karitatif dan insidental itu bisa berdampak buruk karena menimbulkan ketergantungan pada penerima bantuan, bahkan dijadikan pekerjaan, hingga tindakan melanggar hukum.
”Bantuan bersifat karitatif umumnya akan lebih cepat habis, khususnya untuk konsumsi,” kata Risna. Pola bantuan seperti ini umumnya juga bersifat lokal. Padahal, bisa jadi ada kelompok masyarakat yang lebih membutuhkan bantuan di tempat lain.
Pemberian langsung yang paling umum dan sering dilakukan masyarakat umumnya berupa memberikan sumbangan kepada pengemis, pengamen, hingga anak jalanan. Tak jarang, di balik para pengemis yang tampil dengan gaya menyedihkan itu terdapat jaringan yang mengeksploitasi manusia, seperti penyewa bayi atau orang dewasa yang memantau anak-anak mengemis.
Pemberian sumbangan melalui organisasi perantara filantropi membuat proses pemberdayaan bisa lebih dilakukan dan berkelanjutan. Pengemis itu bisa dididik dan diberdayakan agar berhenti dari kebiasaan mengemis dan mampu berusaha mandiri. Demikian pula dengan pengamen jalanan, mereka bisa dibina sekaligus disalurkan ke kafe atau tempat hiburan. Pemberdayaan itu, meski membutuhkan waktu lama, lebih berpeluang memotong rantai perdagangan manusia, kriminalitas, serta kemiskinan.
Kondisi itu, lanjut Risna, merupakan tantangan besar untuk terus mengedukasi masyarakat tentang filantropi serta mendorong akuntabilitas lembaga filantropi lebih baik. Pemerintah pun bisa mengumumkan lembaga-lembaga filantropi tersertifikasi hingga masyarakat lebih mudah memilih lembaga mana yang akan mereka percaya untuk mengelola atau menyalurkan sumbangan mereka.
Hamid mengakui pemahaman masyarakat, termasuk pengambil kebijakan dan politisi, tentang filantropi belum terbangun utuh. Lembaga yang memiliki dana untuk disalurkan (grand making) atau donatur masih dianggap sama dengan lembaga pelaksana filantropi. Bahkan, lembaga donatur itu juga dianggap sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan. Akibatnya, muncul kegaduhan seperti dalam kasus Program Organisasi Penggerak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beberapa waktu lalu.
”Sinergi antara lembaga yang memiliki dana dan program pemerintah penting karena akan membuat keberlanjutan program itu lebih besar, bahkan bisa dijadikan model pembangunan ke depan,” kata Hamid. Kurangnya pemahaman tentang filantropi itu membuat niat baik sejumlah lembaga pemilik dana menjadi disalahartikan.
Karena itu, dukungan pemerintah sangat diperlukan. Hingga kini, pemerintah belum menganggap filantropi sebagai potensi besar untuk pembangunan bangsa dan mempercepat tercapainya kesejahteraan bersama.
Selain edukasi filantropi modern, aturan penggalangan dana yang ada perlu diperbarui karena saat ini masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang. Saling kepercayaan juga perlu dibangun karena pemerintah masih sering mencurigai lembaga perantara dan pelaksana filantropi rentan terhadap kepentingan asing.
Padahal, sejauh ini sejumlah lembaga filantropi terlibat aktif dalam kegiatan sosial dan ekonomi, bahkan ikut mengatasi dampak konflik di masyarakat. Contohnya, organisasi nirlaba Tahir Foundation membantu pemulihan ekonomi warga pasca-kerusuhan di Jayapura pada Agustus 2019.
Wali Kota Jayapura Benhur Tommy Mano, Senin (10/8), mengatakan, bantuan uang Rp 5 miliar dari organisasi yang dimiliki Dato’ Sri Tahir meringankan beban korban kerusuhan. CEO Mayapada Grup Dato’ Sri Tahir saat menyerahkan bantuan itu tahun lalu menuturkan, pemberian uang tunai untuk memenuhi kebutuhan warga pasca-kerusuhan, misalnya membeli barang kebutuhan pokok.
Kohesivitas
Di luar potensi ekonomi dan pemberdayaan masyarakat, filantropi bermakna besar bagi bangsa. Filantropi mampu mengikat kohesivitas sosial sesama anak bangsa. Bantuan sosial pemerintah sulit menjangkau semua masyarakat yang membutuhkan. Karena itu, sumbangan masyarakat di tengah badai pandemi saat ini bisa menutupi celah-celah yang luput dari kebijakan pemerintah.
”Meski negara belum hadir, ada tetangga dan orang lain yang peduli dengan mereka,” tambah Hamid.
Kedermawanan masyarakat itu membuat mereka yang paling terdampak pandemi tidak merasa sendirian dan menghindarkan frustrasi sosial. Kepedulian itu justru menjadi perekat masyarakat, meminimalkan kesenjangan sosial, hingga memperkecil jurang perbedaan di antara sesama warga negara.
Persaudaraan yang diikat oleh rasa senasib sepenanggungan akibat pandemi itu justru mampu menghindarkan Indonesia dari konflik, penjarahan, hingga kemunduran ekonomi yang dalam seperti yang diramalkan banyak pihak di awal masa pandemi.
”Sikap saling menyelamatkan itu menjadi penyangga persatuan bangsa,” kata Risna. Sikap itu pula yang jadi penjaga masyarakat dari hasutan sebagian orang yang ingin menunggangi situasi terpuruk ini demi kepentingan pribadi atau golongannya.
Situasi saat ini juga memberi kepercayaan bahwa semangat filantropi Indonesia tidak akan hilang karena modal kuat yang dimiliki bangsa Indonesia, yakni nilai agama dan tradisi lokal. Bahkan kini, tambah Hamid, dengan semakin banyaknya anak milenial maupun generasi Z berkecimpung di dunia kewirausahaan sosial, pola filantropi Indonesia pun makin berkembang.
Bukan hanya proses pemberian sumbangan yang lebih mudah dengan pemanfaatan teknologi digital, kegiatan filantropi pun dikemas dalam berbagai bentuk acara yang lebih populer hingga memancing anak muda berpartisipasi.
Meski demikian, menjaga semangat filantropi dalam masyarakat Indonesia yang majemuk tidaklah mudah. Meningkatnya semangat eksklusivisme beragama ditambah menguatnya politik identitas membuat upaya berbagi lintas iman yang dulu biasa dilakukan, bahkan menjadi tradisi di beberapa daerah, kini terancam.
Masyarakat sejumlah daerah memiliki budaya saling mengantar makanan, membantu penyiapan tempat ibadah, atau mengunjungi saudara mereka yang berbeda agama saat merayakan hari raya. Namun, semangat berbagi dan peduli tanpa memandang agama itu terancam. Cinta kasih yang jadi fitrah manusia kini mulai pilih kasih.
Lunturnya semangat berbagi itulah yang kini harus diperbaiki. Sikap masyarakat yang mau peduli dengan sesama seperti selama masa sulit ini sebagai kekuatan utama Indonesia menghadapi pandemi perlu dijaga seperti yang pernah disampaikan Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid, ”Tidak penting apa agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, maka orang tidak akan tanya agamamu apa.” (FABIO LOPES/SHARON PATRICIA)