Dengarkan Nyanyian Anak Bangsa
Lewat karya, para musisi menyampaikan rasa cinta dan kepeduliannya dengan berbagai bentuk yang mereka yakini. Tujuannya satu: untuk Indonesia.
Cinta punya banyak manifestasi. Begitu pun cinta pada Tanah Air, yang kerap disebut-sebut sebagai bentuk nasionalisme. Lewat karya, para musisi menyampaikan rasa cinta dan kepeduliannya dengan berbagai bentuk yang mereka yakini. Tujuannya satu: untuk Indonesia.
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasionalisme adalah paham untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Juga kesadaran bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.
Sekilas rasanya mudah dipahami. Karya berisi susunan lirik patriotisme dan aksi simbolik pun dinilai cukup merepresentasikan nasionalisme. Pada era memperebutkan kemerdekaan atau pergelaran tertentu, perwujudan semacam ini dalam karya musisi sah saja.
Namun, pada masa kini dan keseharian, musisi memiliki ruang yang luas dan bebas dalam memaknai bahkan mewujudkan nasionalisme. Ini bukan lagi sekadar ”Merdeka atau Mati” atau ”NKRI, harga mati”.
Langkah para musisi indie menjadi contoh. Dua puluh tahun lalu, musisi indie belum menjadi arus besar dunia musik Indonesia. Namun, banyak dari mereka yang sudah berbuat. Jalan ke dunia internasional justru terbuka lewat mereka. Kiprah mereka tak disadari telah mengangkat nama Indonesia di mata dunia.
Mocca, band asal Bandung berisi Arina, Riko, Indra, dan Toma, mengepakkan sayap hingga Singapura setelah merilis debut albumnya. Pasar Korea ditembus setelahnya. Karyanya pun sempat masuk menjadi lagu tema drama Korea seperti ”Personal Taste” dan “Flower Boy Ramen Shop”. Konon, jumlah penggemar mereka di Korea jauh lebih banyak dibandingkan dengan di Tanah Air.
Di jalur serupa, ada Burgerkill, Bottlesmoker, The S.I.G.I.T, The Trees and The Wild, White Shoes and The Couples Company, Gugun Blues Shelter, dan band indie lain yang mencatatkan namanya di dunia internasional. Jejak mereka diteruskan musisi seperti Agnez Mo, Joey Alexander, Rich Brian, dan Niki. Joey pun telah tiga kali menjadi nomine Grammy Awards untuk kategori jazz.
Sri Hanuraga, pianis jazz, memilih jalur memopulerkan musik tradisi. Melalui album terbarunya, Indonesia Vol.2, ia mencoba menghadirkan jazz ”warna” Indonesia di lagu tradisional lewat bebunyian asli dari banyak daerah yang sulit ditemukan.
Komposer Addie MS juga dikenal lewat aransemen ulang lagu daerah dan lagu nasional. Sementara Erwin Gutawa berupaya melestarikan lagu keroncong seperti ”Di Bawah Sinar Bulan Purnama”, ”Krontjong Tanah Airku”, dan ”Sepasang Mata Bola” di album dedikasi untuk maestro keroncong S Darsih.
Bersuara
Cara lain ditempuh Navicula, .Feast, Tashoora, hingga Jason Ranti. Kegelisahan terhadap bangsa ini melahirkan lagu berisi pesan dan kritik sosial. Terkadang karya semacam ini dianggap sumbang bagi penguasa, padahal mereka sesungguhnya pengingat agar nilai bangsa dan kebaikan tak luntur demi kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat.
Gde Robi Supriyanto dari Navicula menyebutkan karyanya merupakan bentuk kepedulian dan upaya melindungi keragaman yang ada di Indonesia sebagai kekuatan bangsa. Lagu ”Di Rimba”, ”Orang Utan”, hingga ”Busur Hujan” menjadi bukti upaya Navicula agar dapat berpengaruh dan menularkan nilai kepada orang banyak.
”Kalau benar cinta pada Indonesia, masukkan kepedulian dan spiritnya dalam apa pun yang kita buat. Sebagai musisi, bentuk peduli dapat lewat karya yang dibuat. Implementasi yang berguna sebesar-besarnya untuk masyarakat,” ujar Robi.
Implementasi, lanjut dia, merupakan hal terpenting, termasuk penerapan nilai dengan berpedoman pada etis. ”Misal, hanya saat akan 17 Agustus kita jadi nasionalis, berbicara cinta Tanah Air. Nyatanya menghancurkan lingkungan, ya, apa gunanya,” ungkap Robi.
Band .Feast yang digawangi lima anak muda, yakni Baskara, Awan, Adnan, Dicky, dan Bodat, juga berpandangan sama. Tak perlu gembar-gembor, bahkan melabeli sebagai nasionalis saat tak ada aksi nyata. ”Percuma apel tiap pagi, hormat bendera Merah Putih tiap hari, tapi masih korupsi,” ujar Bodat.
Logikanya gini, kalau enggak mengkhawatirkan (kondisi bangsa negara), enggak akan jadi lagu juga. Di luar musik, sesimpel membantu sesama dan apa pun yang dibutuhkan bangsa. Bangsa beda dengan negara. (Baskara)
Meski semula niatnya mengeluarkan unek-unek lewat karya, lagu mereka seperti ”Peradaban”, ”Berita Kehilangan”, ”Kami Belum Tentu”, ”Padi Milik Rakyat”, hingga ”Tarian Penghancur Raya” bertransformasi menjadi alat kritik bahkan menjadi perpanjangan untuk pergerakan mahasiswa di Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar pada September 2019.
”Logikanya gini, kalau enggak mengkhawatirkan (kondisi bangsa negara), enggak akan jadi lagu juga. Di luar musik, sesimpel membantu sesama dan apa pun yang dibutuhkan bangsa. Bangsa beda dengan negara,” tutur Baskara.
Serupa dengan band asal Yogyakarta, Tashoora. Lewat dua personelnya, Gusti Arirang dan Danang Joedodarmo, nasionalisme diidentikkan sesuatu yang semu. Istilah ini kerap dijadikan alat penguasa atau politisi untuk meraih simpati publik bahkan kadang memperlebar jarak di tengah konflik. Apalagi belakangan orang sibuk dengan banderol nasionalis bukan karena berpihak pada nilainya, melainkan pada tokoh.
Karya Tashoora memiliki kekuatan kritik dalam lirik. Makna dalam tiap lagunya bersuara tentang ketimpangan, kebijakan diskriminatif, hingga persoalan hak asasi manusia yang masih terjadi di Indonesia. Seperti ”Sabda”, ”Terang”, ”Agni”, hingga ”Sintas”. Mereka pun memilih untuk berpihak pada masyarakat sebagai bentuk cinta.
”Untuk yang tak bisa bersuara, yang terpinggirkan. Yang terjadi saat ini, tanpa sadar yang muncul adalah toleransi terhadap intoleransi. Kalau ada yang bilang, kok bisa kami seperti ini? Ya karena kami resah, justru kami bertanya balik kok bisa kalian enggak resah? Bukan berarti itu (ketidakadilan) tidak menimpa kita, berarti tidak terjadi,” tutur Danang.
Jason Ranti atau Jeje juga tak mau muluk berbicara nasionalisme. Ia lebih memilih dan bersenang hati jika karyanya memantik diskusi dan membawa pengaruh baik, setidaknya bagi lingkungan sekitarnya. ”Secara pribadi, malas melihat perang terjadi. Apalagi perangnya justru terjadi karena permasalahan nasionalisme,” ungkap Jeje.
Ada juga yang bersuara lewat gerakan. Pasangan Petrus Briyanto Adi dan Bonita dari Bonita & The Hus Band menginisiasi Festival Musik Rumah. Ajang ini dilakukan di sejumlah kota dengan memilih venue atau lokasi berupa rumah khas tiap daerah yang menjadi tempat berkumpul. Lewat acara ini Bonita mengajak untuk saling percaya dan mampu menerima perbedaan dengan lapang dada.
Saat ini, bukan lagi merdeka atau mati. Lebih subtle (subtil). Musuh yang dihadapi juga berbeda dengan saat perang kemerdekaan. (Wendi Putranto)
Pengamat musik Wendi Putranto juga mengungkapkan, adanya jebakan ”nasionalisme kebablasan” yang harus dihindari seperti mengarah pada fasisme, xenophobia, hingga ultranasionalis. ”Saat ini, bukan lagi merdeka atau mati. Lebih subtle (subtil). Musuh yang dihadapi juga berbeda dengan saat perang kemerdekaan,” ujar Wendi.
Nasionalisme dalam musik dan lagu sengaja diciptakan untuk mengobarkan semangat di medan perang pada masa revolusi fisik. Namun, saat ini, musuhnya adalah korupsi, hoaks, masalah HAM, dan hal-hal lain yang membahayakan eksistensi sebuah negara.
”Kalau kemudian masih tetap dengan musik atau lirik yang serupa dengan zaman revolusi fisik dulu, akan terdengar lucu karena enggak kontekstual lagi,” kata Wendi.
Oleh karena itu, slogan dan lagu heroisme yang mendadak diputar pada bulan Agustus tentu bukan jawaban. ”Merah darahku dan putih tulangku” sejatinya bermetamorfosis. Keberanian untuk mengkritik diikuti aksi nyata yang akan menyelamatkan bangsa di masa kini. Musik merupakan salah satu perantinya. Teruslah bersuara karena tak ada nada sumbang.