Agamawan dan lembaga keagamaan berperan dalam pembangunan kesadaran kolektif keindonesiaan. Peranan itu kini makin dibutuhkan agar ”taman” keberagaman Indonesia selalu terjaga.
Oleh
Rini Kustiasih
·6 menit baca
Indonesia genap berusia 75 tahun. Perayaan kemerdekaan RI di tengah keprihatinan akibat pandemi Covid-19 juga diwarnai pertanyaan eksistensial tentang nation-state Indonesia. Agamawan dan lembaga keagamaan telah memainkan peran penting dalam pembangunan kesadaran kolektif keindonesiaan. Kini, peranan itu makin dibutuhkan agar ”taman” keberagaman Indonesia tetap terjaga.
Lahirnya Indonesia merupakan hasil perjuangan banyak pihak dan bukan kelompok tertentu saja. Hal itu sudah lama menjadi pengetahuan. Namun, belakangan kian muncul dalam kesadaran kolektif bangsa bahwa pengetahuan itu perlu terus diingatkan kembali, terutama di tengah-tengah mengentalnya paradigma mayoritas-minoritas dan politik identitas. Ketika identitas dieksploitasi dalam rangka memenuhi keuntungan politik-ekonomi, yang terjadi ialah koyaknya kohesi sosial.
Sejumlah pemikir menyinggung peranan suatu kalangan yang cukup istimewa dalam menumbuhkan keindonesiaan dengan tanpa kehilangan ”identitas” dirinya. Di dalam buku Indonesia Kita, cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid mengangkat peranan agamawan, yakni pengasuh pondok pesantren. Di awal munculnya politik etis, pendidikan Barat hanya dapat dimasuki anak-anak Eropa, Timur Jauh, dan pribumi priayi. Adapun untuk rakyat hanya tersedia sekolah rakyat. Penjajahan menimbulkan luka di hati masyarakat dan ulama. Perlawanan terhadap pendidikan Barat mendorong ulama mendirikan pesantren.
Dalam perkembangannya, jaringan ulama Nusantara terus berkembang dan menjadi embrio bagi berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1926. Melalui pesantren, kiai-kiai NU mendorong rasa cinta Tanah Air. Pada 22 Oktober 1945, salah satu pendiri NU, KH Hasyim Asyari, mengeluarkan seruan jihad. Kiai Hasyim menyerukan umat Islam melawan sekutu yang diboncengi Belanda. Seruan itu membakar semangat ”arek-arek Suroboyo” dalam peristiwa 10 November 1945.
”Hubbul wathan minal iman, atau membela Tanah Air adalah bagian dari iman, adalah ajaran Hadratus Syaikh Hasyim Asyari yang paling relevan dengan perjuangan melawan penjajah. Mbah Hasyim menegaskan, membela Tanah Air adalah perwujudan dari keimanan seseorang, keislaman seseorang,” kata Helmy Faishal Zaini, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Sekalipun membawa identitas keislaman yang kental, menurut Helmy, KH Hasyim tidak terjebak pada pandangan yang merasa benar sendiri. Pandangan itu memberi ruang pada yang lain dan berbeda sebab kebenaran mutlak hanya milik Tuhan. Fondasi pemahaman itu melatarbelakangi cara berpikir ulama generasi berikutnya yang tidak menegasikan antara keislaman dan keindonesiaan. NU menyatakan NKRI dan Pancasila final dalam Muktamar Ke-27 NU, tahun 1984, di Situbondo, Jawa Timur.
Tiga peran agamawan
Merentang dari masa ke masa, peran agamawan, menurut Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti, sedikitnya ada tiga macam. Mereka tidak hanya berperan dalam masa perjuangan kemerdekaan. Dalam konteks Indonesia modern, peran mereka juga tidak mungkin dapat diremehkan.
Pertama, agamawan menanamkan spiritualitas. Spiritualitas memberikan energi dan visi bagi pribadi dan bangsa, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan. Kedua, mereka menghubungkan antara pemerintah dan masyarakat. Ketiga, agamawan memberdayakan masyarakat melalui pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi.
”Di Indonesia, mayoritas lembaga pendidikan dikelola oleh swasta yang mayoritas dimiliki ormas keagamaan. Masyarakat berpartisipasi mendanai berbagai kegiatan. Sebagai contoh, untuk penanganan Covid-19, Muhammadiyah telah menghabiskan dana lebih dari Rp 183 miliar. Ini belum termasuk biaya yang dikeluarkan rumah sakit dan lebih dari 67.000 sukarelawan,” kata Mu’ti.
Peran agamawan menjaga Indonesia ditunjukkan pula secara total oleh Mgr Albertus Soegijapranata, Uskup Agung Semarang, yang dikenal dengan moto ”100 persen Katolik, 100 persen Indonesia”. Soegijapranata terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan.
Bakti Soegijapranata kepada Tanah Air ini pernah diceritakan oleh Mgr Ignatius Kardinal Suharyo saat menjadi pembicara dalam suatu acara di Jakarta, Oktober 2019. Di masa perjuangan kemerdekaan, Soegijapranata menulis surat kepada Paus, yang mendesak Vatikan mengakui kemerdekaan Indonesia. Pada saat ibu kota pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, Soegijapranata sebagai pemimpin gereja saat itu ikut memindahkan kantornya ke Yogyakarta sebagai bentuk dukungan kepada pemerintahan republik.
Rasa cinta Tanah Air juga dihidup-hidupi umat Katolik. Kecintaan itu dibawa dalam doa. ”Hanya di gereja Katolik Indonesia ada doa syukur untuk Tanah Air. Di negara lain, tidak ada. Isi doa itu menggambarkan tiga tonggak perjuangan bangsa, mulai dari pergerakan nasional, sumpah pemuda, hingga proklamasi. Ingatan bersama itu dinilai sangat penting dan dimaknai secara mendalam oleh umat Katolik,” kata Kardinal Suharyo.
Taman kehidupan
Sekretaris Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Paulus Christian Siswantoko mengatakan, umat Katolik tidak mempertentangkan antara keimanan dan kebangsaan. Indonesia dipandang sebagai anugerah Tuhan yang harus dijaga dengan baik. Kekayaan alam Indonesia melimpah serta dirahmati dengan beragam suku bangsa dan budaya sehingga Indonesia bisa diibaratkan sebagai taman bunga.
”Indonesia ini taman kehidupan, ditumbuhi berbagai bunga yang baik warna, bentuk, maupun ukurannya berbeda-beda, tetapi mereka tumbuh bersama, tidak saling merecoki, tidak saling mengganggu, dan mereka tumbuh dari tanah yang sama,” ungkapnya.
Ketulusan menerima perbedaan, menurut Pendeta Gomar Gultom, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), adalah modal besar bangsa ini. Tradisi ini juga dicontohkan oleh para pemimpin Kristen. Sam Ratulangi dari Minahasa, misalnya, sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ikut merumuskan konstitusi. Ratulangi mengatakan, ”Yesus Kristus dalam kebangsaan, kebangsaan dalam Yesus Kristus.”
”Dengan ungkapan itu, ia memaknai keimanannya dengan membangun bangsa ini. Saat membangun bangsa ini, sama halnya dengan menerjemahkan iman kekristenan. Ada pergumulan rangkap sebagai umat dan warga bangsa,” katanya.
Gultom meyakini tidak ada agama dan keyakinan yang mengajarkan umatnya saling bermusuhan. Konflik muncul ketika praktik beragama diterapkan secara formalistik sehingga rentan berbenturan dengan apa pun yang berbeda dengannya.
Konsepsi penghormatan kepada negara bahkan disebutkan eksplisit dalam kebajikan Hindu. Hindu mengenal empat atau catur guru, yaitu guru alam semesta, guru yang mengajar dan memberi ilmu pengetahuan, guru yang melahirkan dan membesarkan, serta guru penguasa atau negara. Dari catur guru itu lahir dua kewajiban, yakni dharmaning agama (kewajiban kepada agama) dan dharmaning negara (kewajiban kepada negara).
”Tidak boleh menentang, apalagi melawan negara. Kalau ada yang berkhianat kepada negara, hukumannya sangat keras,” kata I Gusti Ngurah Sudiana, Rektor Universitas Hindu Negeri I Bagus Sugriwa, Denpasar.
Sudiana mengatakan, Hindu mengajarkan penghormatan pada kearifan lokal. Kearifan atau identitas lokal itu merupakan satu dari empat hukum yang harus dipatuhi. Tiga aturan lainnya adalah kitab suci atau juga peraturan perundang-undangan, aturan yang berlaku sejak zaman dulu hingga sekarang (aturan adat), dan hukum keluarga.
”Orang Hindu tak boleh melepaskan warna lokalnya. Kalau lahir di Indonesia, ya, menjadi Hindu Indonesia,” katanya.
Perbuatan baik dan kedermawanan sosial, menurut Rusli Tan, Koordinator Publikasi Agama Buddha dari Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), saat ini menjadi hal yang paling dibutuhkan bangsa Indonesia. Tantangan yang dihadapi Indonesia tidak cukup dijawab dengan perkataan, tetapi juga dengan praktik kebajikan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk membangun dan merawat Indonesia di masa depan tidak perlu muluk-muluk, apalagi terpenjara hasrat berkuasa. Kecintaan pada Indonesia harus diturunkan dalam perbuatan. ”Praktikkan perilaku hidup yang baik, saling menghormati, tolong-menolong, dan ketulusan membangun negara dengan peran masing-masing,” ujar Rusli.
Nilai dan praksis yang sudah ditunjukkan agamawan dan lembaga keagamaan dari masa ke masa perlu terus dikembangkan. Dengan begitu, ”taman” keberagaman bernama Indonesia akan terus terjaga.