Selain berhadapan dengan tantangan akibat pergerakan zaman, Pramuka juga menemui situasi khusus saat ini. Pandemi Covid-19 membuat ide-ide kreatif harus dimunculkan demi mengajarkan gerakan kepanduan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah, Gerakan Kepanduan atau Pramuka tidak akan kesulitan untuk mencari anggota. Tantangannya adalah memastikan agar siswa tidak merasa terpaksa saat menjalani aktivitas Pramuka.
Selain berhadapan dengan tantangan akibat pergerakan zaman, Pramuka juga menemui situasi khusus saat ini. Pandemi Covid-19 membuat pembina tidak leluasa melakukan aktivitas luar ruangan. Karena itu, dibutuhkan dedikasi tinggi dan inovasi dari para pembina Pramuka agar nilai kepanduan bisa dipahami siswa.
”Pramuka akan menjadi sangat membosankan kalau pembinanya tidak tahu mau ngapain. Misalnya, materi sandi kalau diajarkan dengan mencatat di kelas, siswa mana yang tak bosan, apalagi sampai diberi PR. Tugas mereka dari pelajaran sekolah saja sudah banyak. Yang harus diingat, Pramuka itu harus menarik, menantang, rekreatif, edukatif, dan disesuaikan dengan usia siswa,” kata A Eko Isprianto, pembina Pramuka SMAN 3 Taruna Angkasa, Jawa Timur, ketika dihubungi dari Jakarta, Jumat (14/8/2020).
Ispri membedakan Pramuka dalam dua entitas, yakni Pramuka sebagai sebuah organisasi dan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah. Sebagai organisasi, Pramuka berisi orang-orang yang berkegiatan secara sukarela. Dengan kata lain, ini disebut sebagai Pramuka tulen.
Namun ketika Pramuka menjadi ekstrakurikuler wajib dan salah satu syarat kenaikan kelas, kata Ispri, memunculkan unsur sukarela di kalangan siswa menjadi tantangan tersendiri. Dengan menjadi ekstrakurikuler wajib, Pramuka yang tadinya sukarela berubah menjadi ”dipaksa rela”.
”Menghadirkan perasaan sukarela ini tidak mudah karena tidak semua orang mau berkegiatan tanpa mendapat imbalan apa pun,” katanya.
Sebagai ekstrakurikuler wajib, siswa diharuskan mengikuti dua sistem pembelajaran, yakni sistem aktualisasi diri dan sistem blok. Sistem aktualisasi diri dilakukan sekali seminggu dengan durasi 2 x 60 menit.
Adapun sistem blok dilakukan di awal tahun ajaran. ”Untuk jenjang penegak, lamanya 36 jam. Bisa dengan pertemuan tanpa kemah selama Senin-Sabtu atau dengan berkemah selama tiga hari dua malam,” katanya.
Harapannya, sistem blok ini dapat membuka hati dan pikiran siswa agar mau menjadi anggota Pramuka secara sukarela. Akan tetapi, dalam kondisi normal saja, katanya, sistem blok ini jarang dilakukan di sekolah. Ini diperparah dengan pandemi Covid-19 yang membuat pertemuan tatap muka langsung dan berkegiatan di alam tak bisa dilakukan.
Menurut Ispri, sistem blok ini harus dibimbing oleh pembina yang berkompeten. Sistem ini tidak bisa hal ini diajarkan oleh guru berseragam Pramuka tanpa latar belakang kepramukaan yang memadai.
Tugas aktual
Di sekolah Ispri saat ini, siswa menjalani kelas Pramuka secara daring selama 1,5 jam sekali dalam satu minggu. Dia juga memberikan tugas aktual kepada anggota Pramuka untuk turut membantu penerapan protokol kesehatan di Madiun.
Dalam proses pembelajaran, Ispri mendapati dua kelompok siswa, yakni Pramuka tulen dan Pramuka yang sekadar memenuhi kewajiban kurikulum. ”Kalau yang Pramuka tulen, kita kasih sesi belajar dua jam, mereka minta tambah. Enak sekali. Tapi kalau yang bukan Pramuka tulen, untuk belajar harus dipaksa dulu,” katanya.
Pembina Pramuka SMK Grafika Mardi Yuana, Bogor, Jawa Barat, Hongky Suteja, menekankan, Gerakan Kepanduan tidak akan berhasil dengan paksaan. Pramuka tidak hanya belajar, tetapi juga belajar sambil ”bermain”. ”Bagi generasi muda sekarang yang akrab dengan dunia digital, nilai-nilai kepramukaan itu bisa diwujudkan dengan menjaga etika dan sopan santun, baik ketika berinteraksi di media sosial maupun dalam bermain gim daring,” ujarnya.
Menurut dia, prinsip dari Gerakan Kepanduan tidak berubah. Namun, metodenya harus disesuaikan dengan zaman. ”Bukan materinya dipaksakan ke siswa, melainkan siswa butuh materi apa. Pendekatan yang menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran menjadi penting,” katanya.
Elly Sumarsih, pembina Pramuka SMP dan SMK Santa Maria, Jakarta Pusat, meminta sekolah fleksibel memaknai aturan pelarangan ekstrakurikuler yang berpotensi memicu kerumunan selama pandemi Covid-19. Siswa harus diberi kesempatan untuk mempelajari materi Pramuka.
”Berikan juga kelonggaran waktu bagi siswa untuk menerapkan nilai kepramukaan. Bagi yang sudah remaja, bisa ikut mendistribusikan bantuan kepada masyarakat. Kalau yang masih kecil, mungkin bisa dengan kegiatan bermain tetapi tetap dengan menekankan pada unsur-unsur kepramukaan. Jangan sampai aktivitas Pramuka menjadi tidak ada sama sekali,” katanya.