Meski terbatas dalam sejumlah hal, remaja disabilitas tetap memiliki kebutuhan biologis. Karena keberadaan mereka sering diabaikan oleh lingkungan, banyak hak mereka tidak terpenuhi, termasuk hak kesehatan reproduksi.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sama seperti remaja pada umumnya, remaja dengan disabilitas juga memiliki naluri seksual. Namun, hak mereka untuk mendapat pengetahuan kesehatan reproduksi masih jauh dari memadai. Situasi itu rentan menjadikan mereka sebagai korban pelecehan seksual maupun memiliki perilaku seksual yang menyimpang.
Padahal, remaja disabilitas adalah populasi paling rentan, baik terhadap diskriminasi, pelecehan, perundungan, maupun pengabaian. ”Mereka punya persoalan ganda, masalah dari dalam diri yang membuat kurang percaya diri maupun masalah dari luar yang menyulitkan saat beradaptasi dengan lingkungan,” kata Kepala Pusat Studi Difabilitas Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta, Munawir Yusuf, Rabu (12/8/2020).
Meski memiliki keterbatasan dalam sejumlah hal, remaja disabilitas tetap memiliki kebutuhan biologis. Namun karena keberadaan mereka sering diabaikan oleh lingkungan, banyak hak mereka sebagai warga negara tidak terpenuhi, termasuk hak kesehatan reproduksi. Karena itu, pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja disabilitas perlu terus diperkuat.
Menurut Munawir dalam webinar ”Bersama Remaja Disabilitas Tingkatkan Program Generasi Berencana pada Adaptasi Kebiasaan Baru” tersebut, remaja disabilitas banyak mendapat informasi dasar tentang kesehatan reproduksi yang tidak tuntas. Hal itu terjadi karena modul-modul yang ada belum disesuaikan dengan cara mereka berkomunikasi atau mendapatkan informasi. Bahan untuk mereka sering disampaikan dengan metode yang digunakan untuk remaja bukan penyandang disabilitas.
Bagi remaja tunanetra, penjelasan tentang haid; cara memakai pembalut; mimpi basah; dan kenapa harus mandi besar tidak bisa disampaikan dengan audio saja. Menjelaskan warna darah haid merah tidak cukup dengan diceritakan karena mereka sulit membayangkan warna merah. Demikian pula munculnya tanda kelamin sekunder, seperti tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan atau membesarnya payudara.
”Mereka butuh boneka karena tidak bisa membayangkan,” katanya. Bagi mereka yang tidak bisa melihat sejak lahir, tentu tidak ada memori tentang warna merah atau bentuk-bentuk kelamin sekunder dalam ingatan mereka.
Penyandang tunanetra umumnya juga lebih sensitif. Saat berjalan dan menabrak atau mengenai tubuh orang lain, mereka sangat khawatir jangan sampai menyentuh bagian tubuh vitalnya karena bisa membuat marah. Kalaupun saat berjalan itu mereka mengenai bagian tubuh sensitif, hal itu terjadi karena mereka memang tidak bisa melihat dan tidak sengaja.
Sama seperti remja nondisabilitas, remaja disabilitas netra juga suka membincangkan hasrat seksual mereka dengan teman sebaya. Namun karena tidak melihat, mereka sering kali tidak mengetahui situasi di sekitarnya yang bisa jadi ada banyak orang.
Berbagai persoalan itu perlu diperhatikan dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada remaja disabilitas. Pola penyampaiannya pun perlu disesuaikan dengan jenis disabilitas mereka, baik itu disabilitas fisik, mental, intelektual, sensorik, maupun disabilitas ganda.
”Remaja disabilitas mental perlu mendapat perhatian khusus dalam pemberian informasi kesehatan reproduksi karena mereka sering salah memahami tentang hubungan seks,” katanya. Selain itu, tidak adanya kontrol diri karena kurangnya proses edukasi rentan membuat mereka terjebak dalam perilaku seks yang tak lazim menurut masyarakat, baik jadi korban maupun pelaku.
Proses edukasi bagi remaja disabilitas itu memang tidak mudah. Pendidikan di sekolah bagi mereka penting, tetapi itu tidak cukup karena 60 persen anak berkebutuhan khusus belum mengenyam bangku sekolah pada 2017. Menyerahkan persoalan pendidikan kesehatan reproduksi kepada orangtua atau lingkungan sekitar rumah juga sulit karena mereka juga kurang memahami perkembangan perilaku seksual anak disablitas.
Karena itu, dalam rangka memperingati Hari Remaja Internasional yang dirayakan setiap 12 Agustus, pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja disabilitas mendesak untuk dilakukan. Terlebih, jumlah mereka juga cukup besar.
Laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2017 memperkirakan 15 persen populasi dunia adalah penyandang disabilitas. Sementara data Kementerian Kesehatan menyebut ada 11,58 juta penyandang disabilitas di Indonesia pada 2017. Masih di tahun yang sama, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut ada 24 juta penyandang disabilitas di Indonesia, termasuk orang lanjut usia yang menggantungkan hidupnya pada orang lain.
Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Nofrijal mengatakan berbagai persoalan kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja, termasuk remaja disabilitas, membuat Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R) di lingkungan sekolah atau kampus perlu terus didorong. Demikian pula keberadaan konselor sebaya di PIK-R.
Hal itu karena Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 menunjukkan, 62 persen remaja putri dan 51 persen remaja putra menjadikan teman sebagai rujukan utama untuk mengetahui segala hal tentang kesehatan reproduksi. Selain itu, untuk remaja putri, rujukan berikutnya adalah ibu (53 persen) dan guru (47 persen). Sementara untuk remaja putra, acuan mereka berikutnya adalah guru (42 persen) dan tidak punya rujukan (28 persen).
Sementara itu, mahasiswa tunarungu di Institut Teknologi Rochester, New York, Amerika Serikat, Surya Sahetapy, mengatakan pentingnya lingkungan yang mendukung dan memahami para penyandang disabilitas. Untuk menciptakan lingkungan yang ramah terhadap disabilitas itu perlu dibangun sistem yang bisa mempertemukan siswa penyandang disabilitas dan yang nondisabilitas.
”Di awal pertemuan biasanya canggung, tapi lama-kelamaan akan terjalin komunikasi yang baik,” katanya yang disampaikan melalui bahasa isyarat. Komunikasi yang baik itu akan memunculkan saling pemahaman dan penghargaan.
Sementara mahasiswa tunarungu di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang juga pengembang aplikasi untuk penyandang disabilitas, Hastu Wijayasri, mengajak penyandang disabilitas yang lain untuk berani menunjukkan kemampuan dan kapasitasnya. Hastu yang pernah diundang dalam acara Google Accessibility at I/O di California, AS, pada 2019 mengatakan, penyandang disabilitas pun bisa berkarya seperti mereka yang nondisabilitas.
”Dengan menunjukkan kemampuan dan kapasitasnya itu, penyandang disabilitas bisa menjadi model bagi yang lain dan tidak lagi didiskriminasikan dalam masyarakat,” ujarnya melalui bahasa isyarat.