Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak karena dianggap mampu mencegah sampai kuat melindungi hak korban di lingkup relasi satuan pendidikan.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan bagaikan fenomena gunung es. Ada atau tidak ada pandemi Covid-19, kasus ini berpotensi terus terjadi dengan aneka bentuk dan medium.
Wakil Kepala SMA Negeri Balung Jember Bidang Kesiswaan Sri Sulistiyani mengatakan, pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena pandemi Covid-19 membuat interaksi fisik minim. Namun, kondisi PJJ tidak lantas menghilangkan kasus kekerasan seksual di lingkup relasi satuan pendidikan.
Dari laporan yang dia terima, terdapat kasus kekerasan seksual berupa pengiriman pesan menjurus pelecehan dan konten tidak wajar siswa dari tenaga pendidik. Menurut Sri, tantangan terbesar pencegahan kasus kekerasan seksual di lingkup satuan pendidikan adalah sosialisasi. Dia kadang harus berjuang sendiri.
Jika kasus melibatkan antarsiswa, mereka umumnya merasa tidak tahu bahwa perbuatan mereka termasuk kekerasan seksual beserta dampaknya jangka panjang.
”Jika kasus melibatkan antarsiswa, mereka umumnya merasa tidak tahu bahwa perbuatan mereka termasuk kekerasan seksual beserta dampaknya jangka panjang. Apabila kasus melibatkan tenaga pendidik, termasuk obrolan menjurus (ke) pelecehan seksual, mereka pun umumnya menganggap obrolan itu sebatas bercanda,” ujarnya saat menghadiri webinar ”Pentingnya Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai Payung Hukum Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Sekolah”, Selasa (11/8/2020), di Jakarta.
Sebelum pandemi Covid-19, dia menceritakan kebiasaannya menyisipkan materi edukasi pencegahan kekerasan seksual saat mengajar meskipun dirinya sebenarnya guru Matematika. Sebagai contoh, dia membawa kliping berita kasus kekerasan seksual di media massa. Selain itu, dia juga membuka konseling, sampai menjadikan rumahnya sebagai tempat penampungan bagi siswa korban kekerasan seksual di sekolah.
Kalau kondisi pandemi Covid-19, dia hanya bisa menyarankan kepada siswa agar berhati-hati menerima pesan, konten media sosial, ataupun perbuatan yang menjurus ke kekerasan seksual.
”Jika ada pacar ataupun guru yang kirim pesan genit, menjurus kekerasan seksual, dan membuat tak nyaman, katakan tegas tidak mau. Apabila susah, mereka bisa cerita ke saya,” katanya.
Fenomena gunung es
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya), Patrick Humbertus, mengatakan, kekerasan seksual di lingkup relasi satuan pendidikan tetap terjadi selama masa PJJ karena pandemi Covid-19. Salah satu kasus terjadi pada sesama siswa di Surabaya. Korban diminta pacarnya mengirimkan foto, video tanpa busana, dan telepon seks. Karena kejadiannya terjadi di rumah, pihak sekolah susah menindaklanjuti dan membantu memperjuangkan hak korban.
Kasus kekerasaan seksual di lingkup relasi satuan pendidikan merupakan fenomena gunung es.
”Kasus kekerasaan seksual di lingkup relasi satuan pendidikan merupakan fenomena gunung es. Ada tidaknya pandemi, kasus terus terjadi,” katanya.
Menurut Patrick, hukum positif yang ada saat ini masih abstrak, belum ada solusi konkret, dan gambaran operasional. Hukum yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, serta Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Hal tersebut berbeda dengan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Patrick menilai, RUU PKS sebagai ius constituendum atau hukum yang akan ditetapkan memiliki cakupan spesifik, konkret, dan jelas. Sebagai gambaran, dalam RUU PKS, kekerasan seksual meliputi, antara lain, pelecehan, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, dan perkosaan.
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2010-2014, sebanyak 42-62 persen dari seluruh data kekerasan terhadap anak merupakan kekerasan seksual dan tempat kejadian terbanyak adalah di rumah dan sekolah.
Data KPAI menyebutkan, sejak 2013 terdapat lebih dari 3.200 kasus kekerasan kepada anak dan 50 persen di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sebagian besar kasus itu terjadi di lingkungan rumah dan sekolah. Sepanjang Januari-Juni 2019 terdapat 13 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan.
Anggota Forum Pengada Layanan Bagi Perempuan Korban Kekerasan, Dian Puspitasari, membenarkan, sebelum pandemi, kasus kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan sudah marak. Sesuai data forum selama Januari 2017-November 2019, sekitar 50 persen dari 1.290 kasus kekerasan seksual yang ditangani menimpa anak dan tidak semuanya terjadi karena relasi di satuan pendidikan. Ada juga terjadi di relasi spiritual, seperti institusi keagamaan.
Menghadapi kasus seperti itu, pihak pengelola satuan pendidikan biasanya meminta jalan damai sampai korban mendapat tambahan kekerasan, seperti ancaman tidak boleh ikut ujian, keluarga ditekan, dan pindah sekolah.
Senada dengan Patrick, Dian memandang, UU No 23/2002 dan Peraturan Mendikbud No 82/2015 dianggap tidak cukup kuat melindungi hak korban, terutama anak. UU No 23/2002 tidak secara tegas menyatakan hak pendidikan kepada korban dan perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
Peraturan Mendikbud No 82/2015 mengatur mekanisme pencegahan, penanggulangan, dan sanksi terhadap tindakan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan yang melibatkan anak, baik sebagai korban maupun pelaku. Sekolah juga mempunyai sejumlah kewajiban pencegahan, seperti wajib menyusun dan menerapkan prosedur operasi standar (POS) pencegahan tindak kekerasan dengan mengacu kepada pedoman yang ditetapkan kementerian. Kenyataannya, kata Dian, hampir tidak ada satuan pendidikan mempunyai POS. Peraturan Mendikbud juga dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum cukup kuat.
”Kami memandang, RUU PKS amat dibutuhkan untuk menekan angka kasus kekerasan seksual di lingkungan relasi satuan pendidikan karena substansi RUU ini secara spesifik menegaskan pengakuan hak pendidikan anak sebagai korban. RUU PKS juga mengatur detail kekerasan seksual, advokasinya, dan hak-hak korban,” ucap Dian.
Dia berharap, guru dan pegiat pendidikan lainnya ikut mengambil peran berupa memberikan masukan terhadap RUU PKS. Mereka pun bisa ambil bagian mendukung perjuangan RUU PKS.